Resensi: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar



Membaca Logika dengan Logika

Oleh: Febrie G. Setiaputra*

Data Buku

Judul: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar

Pengarang: Soe Tjen Marching

Penerbit: Manado, Globalindo Publisher

Cetakan: I, Maret 2021

Ukuran: 13 × 19 cm

Tebal: iii + 238 hlm.

ISBN: 978-623-96116-0-6

 

Logika banyak orang yang percaya kabar bohong disoal oleh Soe Tjen Marching di seminar daring tentang pemerkosaan perempuan “Tionghoa” pada 1965. Dosen di SOAS University of London itu menyebutkan contohnya: percaya narasi Orde Baru bahwa ada perwira-perwira militer disayat kelaminnya dan dicungkil matanya di Lubang Buaya pada 30 September 1965. Padahal, foto dan kesaksian mengingkarinya.

Soe Tjen mungkin ada benarnya. Setidaknya, dalam How Did The Generals Die?, Ben Anderson pernah menulis hal itu.

Maka, Soe Tjen berpendapat bahwa orang perlu belajar logika dan rajin mengecek fakta. Belajar logika itu bermanfaat. Di antaranya, orang insaf “bagaimana politikus ngibul,” tulisanya.

Untuk mengenalkan logika itulah, buku Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar dia tulis. Buku dianjurkan dibaca oleh:

Siswa-siswi SMA, mahasiswa, ataupun guru dan dosen yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang logika. Bahkan anak SD dan kakek-nenek yang tertarik membaca buku ini pun, tidak akan dilarang.” (Hlm. 8-9)

Buku diandaikan ampuh mengobati miskin nalar kaum pelajar. Mereka yang sedang atau pernah makan bangku sekolah. Kombinasi sudah apik: kemudaan dan kecendekiaan dinilai kurang elok tanpa akal di kepala.

 Penulis lekas ingat Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika). Buku ditulis oleh Tan Malaka pada 1942-1943. Buku itu adikarya. Penulis mula-mula membaca Madilog berkover hitam kepunyaan seorang kawan. Buku terbitan Pusat Data Indikator, 1999. Ada gambar Tan Malaka di kiri dan gambar otak di kanan. Madilog itu Tan Malaka. Madilog itu otak.

Madilog lalu diterbitkan Teplok pada 2000. Di sampul, Tan Malaka berjas dan berdasi. Muda dan cendekia. Tersenyum dan mantap menatap ke depan. Logika menjanjikan masa depan?

Penulis tak punya Madilog terbitan Pusat Data Indikator dan Teplok. Namun, penulis punya Madilog terbitan Widjaya (1951) meski sampul kalah menarik. Penulis terhibur pepatah menganjurkan menilai buku dari isi.

Kata Tan Malaka dalam terbitan pertama, 1946:

Madilog sekarang memperkenalkan dirinja kepada mereka jang sudi menerimanja. Mereka jang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan seksama serta achirnja berkemauan keras buat memahamkannja.” (Hlm. 8)

Itulah intinya: Belajar logika itu butuh kesudian dan kemauan. Latihan otak dus berpikir bukan otoritas kaum pelajar, melainkan mereka yang mau menggunakan otaknya. Orang makan bangku sekolah dalam arti denotatif malah bukan saja kurang (pe)kerjaan, melainkan juga kurang akal.

Yang menarik, kata Tan Malaka, memahamkan logika tak hanya butuh otak, melainkan hati yang lapang. Di buku, Soe Tjen bilang, “Berpikir dengan logika juga memerlukan kerendahan hati.” (Hlm. 8)

Logika manusia terbatas. Kepercayaan manusia bisa salah.

Fakhrudin Faiz di Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika menerangkan sama. “Kekuatan berpikir yang sering kita bangga-banggakan itu memiliki kelamahan-kelemahan, mudah tertipu, dan mudah teralihkan dari kebenaran,” tulisnya. (Hlm. vi)

Dengan asumsi “Berpikir itu asal tidak salah, berarti benar”, maka di bukunya, Fakhrudin menjelaskan 33 bias dan 12 kesalahan dalam berpikir secara sederhana. Mungkin maksudnya, dari kesalahan bernalar, pembaca menjadi dewasa dalam berlogika.

Sebenarnya yang ditempuhnya bukan jalan baru. Pada 1999, di Dasar-Dasar Logika, Eugenius Sumaryono melakukan yang sama. Setelah menjelaskan fenomena sesat pikir, barulah ia menguraikan term, proposisi, silogisme, dan sebagainya.

Soe Tjen berbeda. Di Logika, dia berangkat dari definisi logika menurutnya, lalu bergerak ke perbedaan ethos-pathos-logos, metode induktif-deduktif, kesalahan logika, sejarah filsafat, dan berakhir di paradoks logika. Masing-masing dibincang secara singkat dan sederhana. Pembelajar mula logika tak akan menemu asas logika seperti di buku Sumaryono, Jan Hendrik Rapar, Alex Lanur, dan lain-lain.

Berharap di Logika Soe Tjen mengurai sejarah filsafat seperti Sejarah Filsafat Yunani atau Sejarah Filsafat Kontemporer tulisan K. Bertens, Sejarah Filsafat karya Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, atau Sejarah Filsafat Barat karangan Bertrand Russel, tentu hanya mengantarkan pada kekecewaan.

Oh, penulis beristigfar hampir melupakan Alam Pikiran Yunani susunan Mohammad Hatta. Buku tak boleh ditinggal. Itu bahan kursus filsafat dari Bung Hatta untuk sesama tahanan di Boven Digul. Di buku, Bung Hatta menerangkan alam pikir filsuf sebelum Sokrates hingga Plotinos.

Kembali ke buku Logika Soe Tjen, rasanya ia mengurai terlalu banyak hal. Di sejarah filsafat saja, ia membahas filsafat India, filsafat Tiongkok, filsafat Timur Tengah, filsafat Abad Pertengahan, teisme dan ateisme, hingga feminisme. Uraian jadi serbatanggung. Tokoh dipilih dan dibincang serbasedikit.

Filsafat nusantara, misalnya, luput di pembahasan. Padahal, nusantara punya beberapa tokoh berpemikiran menarik dan relevan dengan tema yang sedang Soe Tjen bahas.

Saat membahas ateisme, Soe Tjen menyebut Paul Henry Thiry, Jonathan Miller, George Smith, Richard Dawkins, dan Sam Harris. Tokoh tak ada di buku Louis Leahy, Aliran-Aliran Besar Ateisme, terbitan Kanisius pada 1985. Tokoh baru menarik diceritakan genealogi pemikirannya. Luput.

Penulis berspekulasi, tema beragam “harus” dikisahkan oleh Soe Tjen karena, pertama, Soe Tjen merumuskan logika sebagai “Cara berpikir atau memecahkan masalah secara tepat.” (Hlm. 6) Melalui definisi itu, hampir semua orang dia yakini pernah berlogika. Semua hal punya logikanya sendiri. Misalnya, cara bertahan hidup di situasi PPKM Darurat.

Kedua, Soe Tjen berambisi untuk menjelaskan bahwa gagasan mengalami perubahan seturut waktu. Terbuka kemungkinan dialektika. Dua hal itu dapat menjerumuskan orang melampaui tema pokoknya—logika dalam hal ini—dan masuk ke kajian selainnya, misalnya metafisika, etika, dan estetika.

Akhirnya, penulis membayangkan membaca Logika seperti berbincang di warung nasi. Perbincangan segera selesai ketika nasi di piring dan kopi di cangkir tandas. Orang mungkin menyalakan rokok. Tentu sembari beramah-tamah menyudahi obrolan, lalu membayar, dan bergegas pergi. Perbincangan bermutu dan perlu, tetapi (sayangnya) terburu-buru.

Meskipun demikian, penulis mencatat tiga kelebihan di buku. Pertama, Soe Tjen mengajukan contoh-contoh yang lekat di keseharian pembaca. Misalnya, tokoh politik Ahok, Anies Baswedan, dan Jokowi serta peristiwa pandemi Covid-19.

Kedua, Soe Tjen menyajikan ringkasan dan latihan di beberapa bab. Pembaca dapat menguji pengetahuan yang baru dipelajarinya.

Ketiga, menyajikan kritik atas logika dan menawarkan alternatif solusi. Memang, tak semua problem filsafat menemu solusi yang terang. Contoh, ambiguitas. Itu problem di ranah lingustik. (Hlm. 74) Problem tak bersolusi. Padahal, secara lingustik, gabungan kata ambigu dapat diberi tanda hubung untuk menegaskan keterhubungan. Contoh, ibu bapak-kami berarti ibu dari bapak kami, sedangkan ibu-bapak kami berarti ibu dan bapak kami.

Tahun-tahun terakhir ini, pembaca dibombardir berita—termasuk yang dangkal dan yang bohong, provokasi, hingga caci maki. Tanpa bekal cukup, kesehatan intelektual, mental, dan spiritual pembaca mudah ambruk.

Di tengah PPKM Darurat, membaca Logika mungkin lebih bermanfaat daripada menonton sinetron. Sebab, ia dapat memicu pembaca mendalami kenyataan melalui jalan filsafat. Terkhusus filsafat logika. Kira-kira begitu•fgs

 

 

*Pengulas adalah pegiat sosial alumnus Ilmu Sejarah, Universitas Jember.

Ia dapat ditemui di akun Instagram-nya: @febriegs.


Resensi: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar Resensi: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar Reviewed by Redaksi on September 09, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar