Cerpen Mored: Katarsis



Oleh : Haura Zeeba Karima

Suara gaduh membuat Risa terbangun, keluar kamar namun tidak menemukan siapa pun. Akhirnya dia mendapati halaman rumah banyak sekali motor asing. Kemarin ia baru saja sampai di Situbondo, naik pesawat mendarat di bandara Juanda, Surabaya. Langsung menuju rumah nenek dan istirahat di kamar bekas bundanya.

Risa menoleh kiri, mendapati lapangan ramai dipenuhi massa yang bersorak-sorak dan ia menghampiri dan berusaha menyibak kerumunan. Hingga akhirnya sampai baris depan dan melihat apa yang terjadi: pertandingan voli persahabatan warga dengan desa sebelah. Risa  terpukau melihat kemampuan para pemain yang mungkin sepantarannya.

Ia dengan serius mengamati pertandingan sampai selesai hingga tanpa sadar penonton meninggalkan bangku. Panitia membersihkan tanah dari sampah makanan dan minuman, mencopot spanduk dan peralatan pengeras suara. Tanpa sadar gadis itu melangkah ke tengah lapangan. Tahu-tahu menyentuh bola voli. Langsung ia ambil mencoba meniru pemain yang barusan melakukan servis bawah.

Namun, bola yang hendak ia lambungkan malah berbelok ke belakang. Dugh... terdengar bunyi renyah bola mendarat ke suatu benda. Saat Risa menoleh dan mendapati sepasang mata menatap sinis ke arahnya.

Been mon tak ngerteh main jek bak nyo, bak,” ucap laki laki dengan bahasa Madura.

Sorry i can’t speak madura,” balas Risa.

Nggak usah sok inggris.

“Aku serius, lihat saja nanti kalau aku bisa main voli.menunjuk remaja laki laki tersebut.

Ya sudah buktikan tapi saya nggak mau ngajarin.

Siapa yang mau begitu?!”

Ia meninggalkan lapangan, berlari pulang menuju rumah. Risa langsung mencari nenek ternyata sedang mandi, menunggunya sampai keluar. Pintu terbuka dan mendapati wanita itu sudah rapi dengan daster kesayangan.

“Risa mau belajar voli!”

Satu kalimat yang keluar dari mulutnya berhasil membuat kaget nenek. Saat kecil ia selalu menolak saat mau diajari. Namun, sekarang cucu kesayangannya datang saat rambutnya setengah memutih. Jika ia melompat akan membuat pinggang mengeluarkan bunyi gemeretak. Nenek kemudian berpikir sejenak.  

Besok kalau ada latihan di lapangan Risa ikut, biasanya sore-sore,” ucapnya sambil mengelus rambut Risa.

Risa mengacungkan jempol ke arah nenek lalu kembali ke kamar. Ia mengontak sahabat lamanya mengabari bahwa sudah sampai dengan selamat. Sejujurnya sedih harus berpisah dengan mereka. Namun, ia harus menghibur diri guna menyembuhkan luka-lukanya. Jika ditanya mengapa memutuskan tinggal di rumah nenek? Sebab banyak pepohonan hijau dan pemandangan yang indah.

Keesokan harinya, ia mencoba servis bawah. Hal yang sama kembali terjadi. Kejadian itu sontak mengundang gelak tawa seisi lapangan, tapi tanpa disadari ada satu orang diam tanpa ekspresi. Di hari pertama Risa tidak dapat melakukan passing bawah, servis bawah, dan servis atas. Dia masih bisa melakukan spike dan passing atas. Menurutnya passing atas sama seperti yang diajarkan guru SMP saat mengikuti eskul basket, seperti memukul seseorang. Menurut orang-orang di sana yang dilakukan Risa terbilang bagus untuk ukuran pemula. Bahkan jarang ada yang bisa dari tim perempuan sampai mepet dengan net.

Latihan hari itu selesai saat azan magrib terdengar, Risa kembali ke rumah disambut teriakan nenek menyuruh mandi. Dengan tangan terayun ia berlari menuju belakang rumah, ruangan dekat dengan dapur. Selesai mandi ia keluar sudah rapi dengan baju tidur one piece dan rambut dibungkus handuk.

Saat menuju ruang depan mendapati dua tamu laki-laki, yang satu tidak asing, satunya tampak sudah memiliki anak. Cowok yang tidak asing di matanya itu, dia sangat yakin adalah cowok kemarin. Buru-buru Risa menutup wajah dan berjalan perlahan mendekati kamar. Saat baru saja membuka pintu, suara khas nenek memanggil namanya terdengar mengganggu ketenangan merpati aduan. Ia menaruh handuk di gantungan dan menyiapkan hati.

Sesampainya di ruang tamu, pandangan Risa dan cowok tersebut bertemu, ia berusaha tetap terlihat tenang dan pura-pura tidak saling kenal.

“Kenalin  Pak Alam, lalu itu Dek Rado lebih tua setahun darimu.

Risa membungkukkan badan memberi salam hormat.

Nak Rado nanti tolong ajarin Risa yang lumayan bandel ini,” pinta neneknya.

Rado mengiyakan.

Kok dia, Nek?” tanya Risa sewot tidak terima.

Dia mahir, nenek sudah tua.

Mereka lalu berpamitan, nenek mendoakan agar keduanya mendapat juara. Risa penasaran, ia lalu menjelaskan ada turnamen voli di Bungatan. Gadis itu mau ke sana, tapi tidak ada yang bisa mengantar.

***

Keesokan harinya Risa sengaja bangun siang di hari minggu, ingin lebih bersantai. Namun, niatnya musnah seketika saat seseorang masuk kamar, menyuruhnya membuka mata. Bagai disambar petir dan rasa kantuk pun musnah. Risa langsung bangkit dari kasur dan duduk sambil memastikan itu benar-benar Rado.

Ngapain lu di sini?”

Udah cepetan kalau mau diajari.

Ia meninggalkan Rado, saat keluar menemukan neneknya sedang menikmati teh.

Kenapa dia bisa masuk kamarku, Nek?”

Kamu nggak bakalan mau bangun, kalau Nenek begitu.

Mendengar jawaban itu membuatnya rusuh. Dia langsung pergi mencuci muka tak lupa menggosok gigi. Kembali menghampiri Rado yang sedang duduk di ruang tamu sambil mengobrol dengan kakek. Melihat dia bertelanjang kaki, lelaki itu menyuruhnya mencari sepatu. Risa heran lantaran kemarin bisa main voli tanpa sepatu. Kita mau lari, ucap laki-laki itu.  

Dengan sedikit geram ia mengekor di belakang, tak seperti dibayangkan, ternyata sangat menyiksa. Truk lari menuruni lereng gunung, banyak batu menghalangi langkah kaki menuju lapangan. Risa duduk di pinggir, kebetulan matahari tidak terlalu terik, mungkin mau  hujan. Napasnya tersengal berusaha menenangkan diri, tak berselang lama menyadari Rado sudah tidak ada. Ketika ia mengomel, cowok itu menyerahkan sebotol Aqua. Rado berjalan ke tempat penyimpanan. Risa yang melihat itu langsung berdiri dari tempat duduk, memberikan bola.

Bolanya taruh di tangan kiri, badanmu menghadap ke kanan dimiringin terus tangan kanan diarahin ke bola, coba lempar tapi jangan tinggi-tinggi.” Rado memberi intruksi.

Risa pun langsung melakukan apa yang disuruh namun masih terlalu tinggi. Rado menyuruhnya melempar bola dengan tangan kanan mengayun secara bersamaan. Namun, bola tidak sampai melewati net. Ia kembali mengambil bola yang dilempar dan terus mencoba sementara cowok itu mengambil bola yang gagal melewati net. Hal itu terus diulang sampai percobaan ke-35 bola melewati net. Teriak gadis itu girang sampai melompat-lompat menggapai udara layaknya kelinci.   

Tetes hujan perlahan turun dari angkasa sekarang berubah menjadi guyuran bertubi-tubi. Risa menarik tangan Rado ke tengah lapangan tapi ia menarik balik dan berjalan ke halaman rumah. Gadis itu hanya ikut sambil memanyunkan bibir.

Kalau di lapangan takut kesamber petir,” ucap Rado.

Banyak hal yang mereka lakukan sebelum hujan berakhir. Bermain petak umpet atau menyusun batu membentuk nama mereka dan tidur-tiduran di tengah derasnya hujan. Sampai mendung hitam lenyap, dibungkus terang langit biru. Rado mematung di belakang diam membisu. Dia seperti tidak bisa menjelaskan siapa dirinya, jantung tiba-tiba berdebar. Ia berpamitan meninggalkan cowok itu berdiri tercenung sebelum pulang.

Sore pun tiba, lapangan yang sebelumnya penuh pasir diusir hujan tadi pagi. Rado adalah orang pertama yang datang. Dia segera melakukan pemanasan, perlahan satu persatu  pemain memasuki lapangan. Tapi, orang yang sedari tadi Rado tunggu tidak kunjung tiba.

Nyari sapa been?”

Tang cewe,” jawab Rado singkat.

Sapa pacar been? Dari bileh ndik cewe?”

Rado langsung berjalan meninggalkan Febri menuju rumah Risa yang ada di sebelah lapangan. Pintu rumah terbuka, sepi tidak ada orang mungkin neneknya menyabit rumput di sawah. Kakek Risa sudah pasti memandikan sapi-sapinya. Ia langsung menuju kamar gadis itu yang ternyata dikunci. Langsung keluar dan pergi ke sebelah kiri rumah ada lorong kecil pembatas dengan rumah tetangga. Di sana ada jendela kamar yang terbuka, Rado langsung memasukkan kepala ke jendela dan melihat Risa sedang tertidur pulas. Ia memanggil setengah berbisik dan dijawab dengan gumam. Rado mengajak latihan.

Sontak ia keluar kamar berlari menuju lapangan meninggalkan cowok itu yang masih di jendela. Ia hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuannya. Risa latihan seperti biasa dan berhasil mempraktekan hasil latihan kemarin. Sesampainya di lapangan dia celingak-celinguk mencari seseorang. Risa membalikan badan dan mendapati Rado, satu sentilan mendarat di kening. Ia langsung mengaduh, mengelus kulit kepala. Tanpa berkata-kata cowok itu berlalu. Latihan berlanjut, sekarang passing bawah Risa sudah mendingan, tidak kacau seperti dulu. Setidaknya lebih terarah meski masih suka ke sana-ke mari.

Latihan berakhir mau masuk waktu magrib, Risa pulang duluan mengeluh kepalanya pusing. Rado yang memperhatikan sedari tadi tidak semangat mulai khawatir. Apalagi saat tahu kondisinya, cowok itu mulai tidak fokus. Selesai latihan ia langsung pulang, bukan ke rumahnya tapi ke rumah Risa. Sekarang pintu depan dikunci. Rado pun mengetok-ngetok, Febri yang dari tadi menyadari ada yang salah dengannya, langsung menghampiri. Ia bertanya kenapa, namun tak dijawab. Febri bilang, mukamu lecek, semua orang di rumah ke dokter ada yang pingsan.

Setelah isya, Rado mau menjenguk, pakaian yang ia kenakan rapi bahkan baunya wangi. Baru saja masuk halaman ternyata Risa berada di teras dan bertanya mau apa?

Jenguk kamu, tadi katanya pingsan,” jawab Rado.

Bukan aku, tapi tante.

Ia lalu mengajaknya jalan-jalan namun Risa mengeluh gatal dan ingat kemarin habis makan sosis. Risa menjulurkan tangan sudah banyak bentol-bentol kemerahan.

Kamu alergi.

“Palingan bisa hilang dengan minyak kayu putih.” ia meringis ketika cairan itu menyentuh kulit.

Rado menarik tangan Risa, ia pamit pada neneknya, menyusuri lereng gunung. Ada sebuah klinik bercat putih, lampunya masih menyala. Rado menggandeng tangan lentik itu masuk ruangan dokter. Setelah diperiksa ternyata dia punya alergi dingin. Mereka pulang dengan perasaan lega.

Hari-hari berlalu. Mereka semakin dekat. Hati Risa pun mulai terbuka. Namun, belum sepenuhnya. Dia takut sakit hati. Setelah latihan Risa buru-buru mandi. Karena ada satu hal yang membuatnya semangat. Ia memanggil Risa yang sedang duduk di pinggir lapangan, mengajaknya ikut. Alisnya bertemu mendengar ajakan itu.

Kamu mau lihat turnamen?”

Risa mengangguk cepat.

“Izin dulu ke Nenek.”

“Tenang saja sudah dapat.”

***

Di depan kaca Risa menyocokkan baju yang akan dia pakai, meski cuma menonton pertandingan voli. Salam terdengar dari luar halaman, sangat familiar di telinga. Ia langsung keluar kamar dan benar dugaan ternyata Pak Alam dan Rado. Lelaki itu mengajaknya pergi duluan dan pamit. Risa mengekor di belakang, truk sudah dipenuhi pemain voli beserta pendukung. Ia naik ditolong cowok itu karena lumayan tinggi bak kendaraan. Mereka duduk bersebelahan.

“Ini pertama kalinya Risa naik truk,” bisik Risa. Dan dijawab dengan o bulat.

Tak berapa lama kemudian Pak Alam datang, mobil akhirnya berangkat. Di tengah perjalanan gadis itu mabuk mau muntah. Hana mengajaknya berdiri, menikmati angin malam yang menyembuhkan mual. Ia dibantu Rado turun dari belakang truk dan berjalan beriringan. Risa memilih tempat duduk paling depan, diam-diam menyiapkan minum dan handuk.

Pertandingan tim kampung mereka melawan tim tuan rumah, Bungatan. Set pertama tim Rado unggul 25-18 di tengah istirahat ia menghampiri Risa menampakan kelima jarinya. Gadis itu peka dan langsung menyambar tangan Rado. Ia kembali ke lapangan. Set kedua dimenangkan tuan rumah, 20-25. Risa masih memberi semangat sebagai suntikan energi positif meredam emosi.

Set ketiga kembali unggul tim Rado, sementara set selanjutnya dimenangkan tim tuan rumah. Set kelima, set penentuan di mana masing masing tim sudah membuat skor jadi 23-23. Tim Rado berhasil mencetak score 24-23. Detik-detik yang mendebarkan para suporter sudah perang suara. Sampai saat setter tim Rado akan mengumpan bola. Mereka seketika diam fokus memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Di tengah suasana ada suara cempreng memecah keheningan.

“Rado semangat, Risa padamuuu!!” teriakan Risa membuat Rado semakin berada di posisi puncak. Hingga bola yang di-spike Rado mencetak skor membuat tim menang.

Setelah pertandingan selesai, Risa mau menghampiri Rado. Namun, keduluan  perempuan asing lain. Perempuan itu memberikan handuk dan sebotol air. Tak lupa mereka berdua foto bersama. Dengan pose yang menurut Risa terlalu dekat. Dia punya pacar? Tanya Risa lirih dengan suara sangat pelan. Entah mengapa hatinya terasa sakit. Akhirnya ia memilih duluan pergi ke parkiran truk. Di sana bertemu Chandra yang melihatnya tidak bersemangat seperti biasanya.

Risa dibantu cowok itu tapi memilih duduk di bagian belakang. Tak lama mulai ramai lagi tim dan suporter naik truk. Ia melihat Rado melompat, mata mereka bertemu. Namun, kali ini ia tidak mengajak gadis itu duduk di sampingnya. Akhirnya kendaraan bergerak menuju kampung, mereka duduk berjauhan. Saat perjalanan pulang Risa hanya bengong tidak menjawab panggilan teman-teman. Hana khawatir ia kesambet dan bertanya ada apa, tapi dijawab tidak apa-apa.

Hana kembali duduk di tempatnya. Tak terasa truk sudah kembali ke desa. Saat sampai Risa langsung berlari menuju rumah. Dia masuk dan langsung mengunci kamar. Hari itu dia menangis sepuasnya dan melepaskan rasa sakit. Nenek langsung membuat lemon tea kesukaannya. Ia mengetok pintu kamar, Risa muncul membawa bantal basah dan mengambil minuman.

Kamu kenapa?”

Kangen ayah,” jawab Risa singkat.

Kembali masuk kamar, Risa menangis sampai capai dan akhirnya tertidur. Saat  terbangun kamarnya gelap hanya ada secercah cahaya masuk dari ventilasi udara. Namun, ia tidak ada hasrat untuk membuka mata dan kembali tidur. Saat ia bangun ternyata sudah jam sepuluh, untung saja sekolah masih libur. Setelah itu ia menuju dapur masak mi dan telor. Lalu kembali lagi ke kamar.

Sorenya Risa tetap latihan tapi tidak terlalu memperhatikan Rado. Bahkan saat cowok itu mendekat dia menjauh, saat diajak ngobrol hanya menjawab seperlunya saja. Ia pun menyadari bahwa sedang dihindari. Dia memperhatikan gerak-geriknya, Febri melihat Rado yang gelisah mulai mendekat.

Kok Risa kayak ngejauh dari aku ya?”

Been cuek coba lebih perhatian.

Akhirnya Rado mencoba kembali mendekati Risa dan mencoba lebih memberi perhatian. Namun, yang terjadi malah mendapat marah.

“Rado apaan sih lu?” jawabnya sambil menghindar.

Kenapa?” tanya Rado dengan muka tanpa dosa.

Lu kan punya cewek.” sambil memalingkan muka.

Iya punya.

Jederrr. Bagai petir di siang hari membuat hati yang pulih kembali sakit.

Kalau punya jangan deketin cewek lain nanti ada yang sakit hati.” Risa melengos pergi.

Bukan menjauh Rado malah mendekat, Ngapain makin ngedeket?”

Katanya jangan deketin cewek lain disuruh deketin ceweknya sendiri.

Risa mengibaskan tangan sambil sedikit mendorong.

Cewek saya kamu, kenapa ke sana?”

“Terus cewek yang kemaren siapa?”

Biasa fans. Aku cariin kamu sudah berdua sama Chandra di truk.

Terus kenapa nggak ngajak duduk di sebelah kamu.

Aku takut kamu mabuk lagi jadi biar berdiri saja. Yaudah ayo cewekku belajar voli lagi, semangat biar bisa sejajar sama aku,” ucap Rado

Sejak kapan jadi cewekmu,katanya pura pura judes.

Sejak saat ini,” jawab Rado santai.

Emang aku nerima?”

Risa berjalan menuju tengah lapangan.

Cewekku yang semangat ya mainnya.

Seketika seluruh orang melihat ke arah Rado yang melambaikan tangan ke arah gadis  yang wajahnya seperti kepiting rebus. (*)

 

Haura Zeeba Karima, lahir di Tangerang, 18 April 2006. Tercatat sebagai siswi SMA NEGERI 1 SUBOH. Doyan kulineran dan doyan baca buku. Mempunyai kemampuan tidur tidak kenal tempat. Bahkan ia pernah tidur di kursi penonton. Hobi menulis, namun sering putus di tengah jalan. Ia tidak melupakan hobinya yang lain, voli.
Cerpen Mored: Katarsis Cerpen Mored: Katarsis Reviewed by takanta on Desember 04, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar