Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir



Judul Buku              : Menghardik Gerimis

Pengarang               : Sapardi Djoko Damono

Penerbit                   : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit           : 2019

Jumlah Halaman  : vi + 96 halaman

Peresensi                 : Muhammad Rizal*

 

Buku kumpulan cerpen ini terdiri atas 38 cerita yang merupakan penerawangan kisah hidup yang diterjemahkan oleh sang penulis. Membaca setiap babnya seakan ikut larut dalam setiap cerita yang tersaji. Bapak Sapardi mengambil inspirasi dari sebuah peristiwa kehidupan yang banyak dialami orang di luar sana.

Aku adalah jalan sebuah jalan , jalan lurus namaku. Sesuai dengan namaku, aku harus lurus saja, tidak boleh berbuat lain, sebenarnya aku tak begitu suka terus – menerus lurus, tapi mereka menamaiku demikian. Mereka suka sekali mengulang – ulang namaku yang indah , seolah – olah meyakinkanku bahwa memang sudah sepantasnya aku disebut jalan lurus.

Sebagai jalan, tentu aku tidak begitu suka jika tidak boleh berbuat lain kecuali berusaha untuk tetap lurus, tetapi mau apa lagi – mereka menginginkanku demikian, sesuai dengan namaku. Aku tak tahu kenapa begitu , aku juga tidak tahu apakah nama itu semacam anugrah atau kutukan, tetapi apa pula bedanya bagiku ? aku mungkin telah dianugrahi watak lurus , atau telah dikutuk untuk tulus.

Cerpen Jalan Lurus tersebut merupakan suatu perumpamaan yang lebih berhubungan kepada diri, menyatakan sebuah kegundahan di dalam hatinya mengapa ia diberi nama “jalan lurus , di sini terlihat sekali “jalan lurus“ yang dimaksud adalah suatu kesempurnaan atau suatu tuntutan agar selalu terlihat sempurna sehingga hal sempurna itulah yang membuat dirinya sendiri bertanya “ kenapa ? “

Aku bersahabat dengan sebuah sungai. Sejak muncul dari mata air gunung itu,  ia segera mengenalku dan tampaknya telah jatuh cinta padaku. Ia tidak bertepuk sebelah tangan. Tentu aku tidak tahu mengapa. Pada hakikatnya ia baik , meskipun perangainya suka berubah – ubah – itu menurut penilaian orang. Ia menjalani hidup yang begitu sukar. Begitu muncul dari mata air , ia harus turun mencari jalannya sendiri , meliuk – liuk , terus bergerak agar tetap dianggap sebagai sungai .

Kami selalu bercakap – cakap tentang segala sesuatu yang ditempuhnya . katakanlah , kesukaran hidupnya . Lereng gunung , hutan , daerah yang terjal berbatu – batu , lembah yang tak terbayangkan luasnya – malah di beberapa tempat ia harus terjun beberapa ratus meter tingginya . Dan orang merayakannya .

Kutipan tersebut berasal dari cerpen Sungai, bahwa dibalik sebuah kelebihan  pasti ada kekurangan. Cerpen tersebut juga menyinggung bagaimana akhirnya sebuah perjuangan cinta itu ditafsirkan dengan kata yang puitis. Mengajak kita untuk memahami seperti apa hakikat dan puncak cinta, serta bagaimana wujud terciptanya rasa itu. Mengajarkan kita bagaimana agar lebih bisa memahami sebuah arti kata cinta dengan sebenar – benarnya.  

Buku ini akan sangat menarik untuk dibaca terutama penggemar bahasa yang puitis. Buku ini mengenalkan kita terhadap banyak hal dari berbagai macam sudut pandang dan nilai – nilai moral. Di sisi lain, kumpulan cerpen ini membutuhkan pemahaman yang ekstra dan berulang-ulang dari pembaca agar dapat menangkap makna setiap kalimatnya.

 


 *) Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pembina Ekstrakurikuler Jurnalistik di SMA Muhammadiyah 1 Malang

Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir Reviewed by Redaksi on Desember 01, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar