Dilema PRT : Antara Musim Hajatan Dan Profesionalisme Kerja

 

freepik

Oleh: Raisa Izzhaty

 Bulan besar, yang jatuh pada bulan Juli tahun ini, menurut penganut 'hari baik' adalah saat yang tepat untuk menggelar pesta pernikahan. Tidak heran jika dalam satu minggu ada lebih dari satu undangan pernikahan yang meminta dihadiri. Bulan besar dipercaya akan membawa berkah bagi siapapun yang menggelar pesta pernikahan atau hajatan. Namun, bulan yang baik ini, ternyata membawa dilema besar bagi pengguna jasa pekerja rumah tangga, terutama mereka yang merekrut pekerja perseorangan (tidak menggunakan agen penyalur). Pasalnya, banyak pekerja rumah tangga, yang lebih memilih izin atau bolos bekerja untuk membantu kerabat yang sedang menggelar hajatan. Tidak hanya sehari dua hari , hal itu bisa terjadi seminggu berturut turut. 

 Hal itu terjadi juga pada saya. Saya adalah pengguna jasa pekerja rumah tangga selama 5 tahun belakangan. Sebut saja Mbok Darmi, pekerja rumah tangga saya. Beliau bekerja mulai pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang. Selama bekerja, beliau dan saya tidak pernah terlibat masalah apapun berkaitan dengan loyalitas maupun kualitas pekerjaan. Kecuali saat musim hajatan. Beliau akan berpegang teguh pada tradisi. Sengotot apapun saya melarang, beliau akan tetap teguh pendirian untuk tidak bekerja dan memilih membantu kerabat yang sedang hajatan. Bahkan terakhir, saya sempat melarang dan menegur beliau yang selama dua minggu izin long-nolongè (baca: bantu-bantu), apa yang terjadi? Beliau mengancam mengundurkan diri.

Tidak peduli seberapa susah cari pekerjaan nanti, hajatan akan selalu jadi nomor satu!

Terdepan! Masa depan nomor kesekian. 

 Awalnya saya merasa aneh dan bertanya-tanya: kok sampai sebegitunya, sih? Maksud saya, apakah tuan rumah tidak bisa mengerti bahwa mereka yang membantu juga memiliki pekerjaan lain yang berhubungan dengan profesionalitas?

 Saya bertanya lansung pada Mbok Darmi. ternyata, alasan beliau tetap teguh pergi membantu ke rumah tuan rumah adalah karena ‘balasan’. Ya, Mbok Darmi sudah dua kali menggelar hajatan pernikahan. Si tuan rumah hajatan yang ia hadiri, sudah membantu Mbok Darmi pada dua kali hajatan Mbok Darmi waktu itu. Jadi, sudah sebuah keharusan untuk membalas dengan hal yang sama. Jika tidak? Wah, Mbok Darmi akan menjadi santapan empuk mulut tetangga. Mulai dari dianggap tidak tahu terimakasih hingga pada akhirnya dijauhi dan tidak dilibatkan dalam hubungan sosial bertetangga. Saat membicarakannya pun, bulu kuduk Mbok Darmi berdiri saking ngerinya. 

 Bagaimana jika ada pekerjaan mendesak yang harus dilakukan? Apa terima izin?

 Nampaknya tidak, Bung. Mereka menganggap, majikan bisa menunggu, tapi hajatan kami tidak. Hutang tenaga saat hajatanmu tidak bisa diuangkan. 

Pada akhirnya, pekerja rumah tangga dan pengguna jasa pekerja rumah tangga harus menyepakati beberapa hal berkaitan dengan ‘musim hajatan’ ini. Banyak di antara para pengguna jasa memundurkan jam kerja pekerja mereka. Misalkan, jam masuk kerja yang biasanya pukul 7, dimundurkan menjadi pukul 9 atau pukul 10. Beberapa di antara mereka yang malas bernegosiasi, pada akhirnya memilih meliburkan para pekerjanya selama musim hajatan. Beberapa yang lain, memilih untuk diam dan pasrah, menyerahkan segala kebijakan pada pekerjanya yang suka suka. 

 

Bagaimana dengan saya?

Saya dan Mbok Darmi, terpaksa memutuskan hubungan kerja kami, karena ternyata, rasa sayang yang kami bangun selama 5 tahun, kalah dengan hutang 2 periode hajatan. 

Selamat tinggal, Mbok Darmi! 

 

 

Dilema PRT : Antara Musim Hajatan Dan Profesionalisme Kerja   Dilema PRT : Antara Musim Hajatan Dan Profesionalisme Kerja Reviewed by takanta on Juli 27, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar