Bullying Bukan Budaya Kita

freepik


Oleh: Nur Husna

Kasus bullying di Indonesia mengundang perhatian banyak orang. Pada awal tahun 2023 kita disuguhi oleh kasus bullying seorang anak sekolah dasar hingga mengakibatkan korbannya bunuh diri. Pada awal tahun 2024 kita juga diberikan fakta baru bahwa Indonesia telah mengalami darurat kasus bullying yakni kasus perundungan salah satu siswa di sekolah Binus Serpong yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan diberbagai platform media sosial.

Menurut Wicaksana (2008), bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang, yang dilakukan oleh satu invididu atau kelompok, terhadap seseorang yang tidak mampu melindungi dirinya. Bullying atau perundungan selalu lekat dengan yang namanya tindak kekerasan secara fisik maupun verbal. Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak memberikan definisi bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang akibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Dalam beberapa kasus yang terjadi di lingkungan sekolah sebagian besar para pelaku yang dibawah umur melakukan kekerasan secara fisik yakni dengan memukul korban secara berkelompok hingga korban tidak berdaya. Pada kasus lain korban diserang secara psikologis seperti kasus yang terjadi di Banyuwangi dimana seorang siswa sekolah dasar melakukan bunuh diri yang ternyata setelah diselidiki korban semasa hidupnya sering diolok anak yatim oleh temannya. Dalam hal ini bullying di sekolah dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut Colorasi yakni bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional, dan cyber bullying.

Permasalahan perundungan di lingkungan sekolah khususnya di Indonesia sangat marak terjadi secara berkelanjutan atau turun menurun hingga menjadi budaya yang harus segera dihentikan. Karena kasus perundungan yang terjadi secara berkesinambungan maka diperlukannya suatu tindakan yang serius agar tercipta suatu efek jera bagi pelaku.

Bullying yang termasuk tindak kekerasan terhadap anak diatur dalam pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.” Kemudian pasal tersebut dipertegas kembali dengan pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak:

(1)  Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4)  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.”

Tindak pidana yang sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak sudah cukup jelas untuk membuat efek jera terhadap pelaku bullying. Namun dalam hal ini diperlukan juga dukungan yang sangat masif dari berbagai elemen termasuk dari lingkup sekolah mulai dari para peserta didik hingga tenaga pendidik sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, yakni:

1.     Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan pihak lain.

2.     Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan masyarakat.

Kemudian jika kasus bullying di lingkungan sekolah terjadi melalui media sosial maka hal tersebut merujuk pada Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Jika melanggar pasal tersebut maka pelaku akan dikenai pidana menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 yakni dipidana penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp. 400 juta. Perundungan berbasis media sosial berupa menghina dengan ucapan kata-kata kasar seperti makian, cacian, dan/atau kata-kata tidak pantas juga diatur di dalam KUHP lama yakni Pasal 315 KUHP lama maupun didalam KUHP baru Pasal 436 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Esensinya adalah bahwa ditengah banyaknya kasus bullying yang mengundang perhatian publik khususnya kasus bullying yang salah satu pelakunya merupakan anak dari seorang artis tanah air, membukakan mata kita bahwa Indonesia masih darurat kasus bullying terutama di lingkup sekolah. Dalam hal ini negara telah hadir sepenuhnya dalam kasus bullying yang menerpa anak-anak kita hari ini di sekolah.

Tindakan perundungan tidak dapat dibiarkan begitu saja, tanpa adanya suatu tindakan yang tegas perundungan akan menjadi budaya yang mengakar. Sudah seharusnya lingkungan sekolah memberikan ruang yang nyaman dan aman bagi para peserta didik. Kemudian agar terealisasinya undang-undang perlindungan anak secara penuh maka tidak hanya satu elemen saja yang turut andil yakni negara, tapi juga seluruh elemen dalam lingkungan sekolah mulai dari peserta didik hingga tenaga pendidik bahkan masyarakat. Karena jika tidak begitu Undang-Undang tidak akan terimplementasi secara masif tanpa dukungan penuh dari kita. Dengan turut serta dalam merealisasikan Undang-Undang berarti kita sudah memberikan keadilan dan menyelamatkan masa depan anak-anak kita hari ini dan mengajarkan mereka bahwa bullying bukan budaya kita.

 

 

*Mahasiswi aktif Fakultas Hukum semester 6 Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

Bullying Bukan Budaya Kita Bullying Bukan Budaya Kita Reviewed by Redaksi on Maret 23, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar