Melihat Pemkab Situbondo Bela Non-ASN yang Dirumahkan

Penulis: Nurul Fatta*


Beberapa hari lalu, seorang teman mengirim pesan pendek, menanyakan lowongan kerja, Mas Dani namanya. Sekaligus memberi kabar bahwa ia termasuk tenaga non-ASN yang dirumahkan Pemkab Situbondo. Ia bilang, "tak apalah, Mas. Mungkin nanti ada pekerjaan lain.” Saya membaca pesannya dengan rasa campur aduk—antara sedih, prihatin, sekaligus hormat atas sikap legawanya.

 

Namun, tidak semua merespon hal ini dengan tenang seperti Mas Dani. Tepat tanggal 3 Mei, saya membaca tulisan seorang kawan lain asal Situbondo yang suaranya jauh berbeda. Nada tulisannya keras, dimuat salah satu media yang bernaung di Jogja. Ia mengkritik solusi yang ditawarkan Bupati Situbondo soal pemutusan tenaga non-ASN, yaitu sistem outsourcing, dan bantuan modal usaha sebagai solusi yang rapuh, kasarnya asal-asalan lah. Kritiknya personal, dan jujur saja—sedikit terburu-buru.

 

Saya tidak hendak membela siapa pun. Tapi izinkan saya menawarkan cara pandang lain atau meluruskan peta persoalan agar kritik kita tidak tersesat di jalan dan tetap relevan dengan konteks yang sebenarnya.

 

Saya memahami kekecewaan kawan saya itu. Tapi sayangnya, sebagian kritik yang ia lontarkan terasa terlalu personal. Ia menuduh bahwa pelatihan inkubator bisnis yang digagas oleh Bupati Situbondo—sebut saja Mas Rio—sebelum menjabat hanyalah pencitraan, dan materinya bisa ditemukan di internet.

 

Kritik seperti ini tentu sah-sah saja. Tapi pendekatan yang terlalu fokus pada sosok alih-alih subtansi kebijakan, justru berisiko melemahkan pesan itu sendiri. Ketika program langsung disimpulkan tak berguna hanya karena digagas oleh figur tertentu, kita menjadi abai pada kesempatan untuk menilai dampaknya secara objektif. Lebih dari itu, cara seperti ini bisa menutup ruang diskusi yang sehat, padahal kritik yang tajam justru lahir dari pembacaan yang adil terhadap konteks.

 

Sebelumnya, Pemkab Situbondo terpaksa merumahkan sekitar 600 tenaga non-ASN, dan langkah ini langsung memantik berbagai respon. Padahal, pemutusan hubungan kerja non-ASN bukan hanya terjadi di Situbondo. Kabupaten tetangga seperti Jember dan Lumajang pun mengalami hal yang sama. Jadi bukan soal ‘hanya di Situbondo’. Pertanyaannya justru lebih mendasar, kenapa mereka harus dirumahkan?

 

Mari kita lihat kerangka aturannya, sebab, penting untuk dipahami bahwa keputusan pemerintah daerah merumahkan tenaga non-ASN bukanlah langkah sepihak, apalagi semata-mata kehendak bupati. Ada dasar hukum yang jelas. Sejak UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK diberlakukan, negara hanya mengakui dua jenis pegawai di lingkungan instansi pemerintah, apa itu? ASN dan PPPK. Di luar itu, khususnya tenaga honorer, tak lagi memiliki payung hukum. Bahkan jika seorang bupati ingin mempertahankan mereka, ia justru berisiko melanggar aturan dengan sanksi yang berlaku.

 

Karena itu, seluruh tenaga non-ASN wajib didata ke BKN sebelum Oktober 2022, dengan sejumlah syarat ketat, seperti harus masih aktif bekerja, diangkat minimal oleh pimpinan unit, dibayar  atau digaji dari APBN /APBD, dan sudah bekerja minimal satu tahun per akhir 2021.

 

Bagi yang memenuhi syarat, dapat mengikuti seleksi PPPK. Di Situbondo sendiri, seleksi PPK berlangsung dalam dua gelombang yaitu 5-8 Desember 2024 dan 7-10 Mei 2025. Mereka yang lulus akan diangkat sebagai ASN berstatus PPPK. Tapi bagi yang tidak terdata atau tidak ikut seleksi, tak ada lagi ruang hukum untuk dipekerjakan.

 

Jika aturan ini sudah berlaku, mestinya memang tak ada lagi pengangkatan honorer sejak batas akhir pendataan non-ASN ke dalam database BKN pada bulan Oktober tahun 2022, atau sejak berlakunya PP 49/2018 yang jatuh pada tanggal 28 September 2023 yang mewajibkan kepegawaian hanya terdiri dari dua jenis, yaitu ASN dan PPPK.  Tapi tak semua daerah langsung patuh, termasuk pemerintah Situbondo—entah karena tekanan kebutuhan birokrasi atau peninggalan “kesewenang-wenangan” pemimpin sebelumnya. Dan kini, konsekuensinya harus dihadapi oleh kepemimpinan pemerintah Situbondo yang baru.

 

Lalu muncul kritik dari tulisan kawan saya tadi, kira-kira begini, kenapa solusinya harus outsourcing? Bukankah lebih manusiawi kalau tetap honorer?

 

Saya justru bertanya-tanya, apakah logika ini tidak terbalik? Dalam tulisan kawan saya itu, gaji honorer dianggap lebih pasti, struktur pekerjaan lebih jelas. Tapi bukankah selama ini justru banyak honorer yang menerima gaji tidak jelas, di bawah UMK, tanpa kepastian waktu bahkan berbulan-bulan tidak digaji, itupun tanpa perlindungan hukum. Sehingga reformasi birokrasi hadir bersama UU ASN dan PP 49 2018 beserta turunannya itu, tujuannya untuk menyelesaikan praktik non-ASN yang menyimpan banyak masalah tersebut.

 

Mereka kadang bertahan bukan karena sistemnya baik, tapi karena tidak ada pilihan lain. Kadang perekrutan pun sering tidak berbasis kompetensi, melainkan karena kedekatan dengan elite politik, tim pendukung kepala daerah terpilih atau “kenal sana-sini.” Ini bukan sistem yang sehat. Pemerintah mencoba keluar dari ini lewat outsourcing—yang meskipun bukan solusi ideal, setidaknya menjamin gaji dan struktur kerja yang lebih jelas.

 

Kemudian soal bantuan modal usaha Pemkab Situbondo. Apakah berwirausaha solusi terbaik bagi semua? Tidak juga. Tapi mengapa langsung ditolak sebelum dicoba? Memang tak semua orang cocok berwirausaha, tapi tak berarti semuanya gagal. Shifting mindset memang tidak mudah jika sejak awal sudah pesimis, dan apalagi percaya bahwa satu-satunya jalan hidup layak adalah jadi ASN. Padahal, hari ini, Pemerintah Situbondo mengusung semangat "naik kelas", yang justru mengajak kita untuk keluar dari pola pikir lama seperti itu.

 

Kita tidak sedang bicara soal pekerjaan semata. Kita sedang bicara tentang mindset. Tentang keberanian mengambil risiko. Tentang usaha untuk tidak menggantungkan seluruh masa depan pada selembar surat pengangkatan.

 

Selama ini, pemerintah dianggap sebagai penyedia kerja utama. Seolah-olah seluruh beban hidup harus ditanggung negara. Padahal, dalam relasi sosial modern, hubungan antara pemerintah dan warga sipil bersifat legal—bukan paternalistik. Pemerintah membuka akses dan menciptakan ekosistem. Tapi warga juga harus berjalan sendiri.

 

Mendorong masyarakat untuk berwirausaha bukan berarti lepas tangan. Justru itu bagian dari upaya membangun jaringan sosial dan ekonomi yang lebih dinamis. Semakin banyak warga membuka usaha, semakin besar peluang tumbuhnya pasar, dan dengan sendirinya, investasi akan ikut datang. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara negara, warga dan sektor swasta.

 

Apakah semua ini mudah? Tentu tidak. Tapi kalau kita terus menerus menolak semua perubahan karena takut gagal, kapan kita akan bergerak? Bukankah hidup ini memang rangkaian dari jatuh dan bangkit? Kadang gagal usaha, kadang gagal daftar CPNS. Tapi bukankah kita manusia, bukan mesin yang hanya kenal satu jalan?

 

Saya tidak sedang membela pemerintah sepenuhnya. Kritik tetap penting. Tapi mari arahkan kritik kita pada struktur kebijakan, bukan sekadar pada figur pemimpin. Kita bisa tidak sepakat, tapi tetap menjaga cara berpendapat. Sebab tantangan terbesar kita hari ini bukan hanya soal status kerja, tapi bagaimana kita bersama-sama naik kelas—secara ekonomi, mentalitas, dan keberanian mengambil peluang baru.

Saya percaya, kritik itu penting. Tapi yang lebih penting lagi, bagaimana menjadikannya sebagai sumbu perubahan, bukan sekadar pelampiasan.

__

Penulis merupakan konsultan politik nasional. Asli Situbondo, tinggal sementara di Jakarta.


Melihat Pemkab Situbondo Bela Non-ASN yang Dirumahkan Melihat Pemkab Situbondo Bela Non-ASN yang Dirumahkan Reviewed by takanta on Mei 07, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar