Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara
Oleh:
Ali Gardy Rukmana
Album Stilasi [spotify] adalah perjalanan musikal yang menjahit ragam identitas bunyi Nusantara
melalui sebuah proses penyederhanaan bentuk yang menjadi ruh penting dalam seni
batik. Dalam batik, stilasi bukan sekadar mereduksi bentuk alam atau mitos
menjadi simbol, ia adalah laku estetika dan spiritual untuk merawat narasi dan
memori budaya.
Album
ini meminjam semangat itu, menyarikan ragam corak musik tradisi dari Jawa,
Madura, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumatra menjadi sepuluh komposisi
yang kaya lapisan namun lembut dalam penyampaian. Bunyi-bunyi tradisional
seperti denting dawai, napas suling, dan tabuhan ritmis berpadu dengan nuansa
lofi dan bit-bit populer masa kini, menciptakan pengalaman mendengarkan yang
kontemplatif namun tetap dekat dengan pendengar modern. Setiap track
dalam Stilasi merepresentasikan motif-motif batik, ada yang rumit yang
menggambarkan perjuangan, menggambarkan solidaritas, cinta, ada juga yang halus
seperti kawung, simbol keagungan dan keseimbangan. Melalui pendekatan ini,
Stilasi bukan hanya album musik, melainkan lembaran batik sonik, tempat di mana
motif, memori, dan modernitas saling menjalin menjadi satu.
Album
Stilasi akan menjadi menu sajian musikal baru bagi yang menikmatinya, memadukan
kekayaan tekstil Nusantara dan eksplorasi bunyi-bunyian dalam satu medium
dengar yang puitis. Sebuah alih wahana dari prinsip stilasi dalam batik, konsep
menyederhanakan bentuk tanpa menghilangkan makna, album ini meramu 10 komposisi
yang masing-masing merepresentasikan motif, filosofi, dan suasana dari berbagai
daerah di Indonesia. Seperti meracik, menghirup kopi yang diseduh perlahan,
tiap track dalam Stilasi menyuguhkan larutan rasa dan ruang dengar yang
dalam, dan hangat yang memeluk rindu. Stilasi ibarat menyeruput secangkir kopi
artisan di pagi hari yang hening, di mana tiap tetesnya tidak hanya memberi
rasa, tapi juga membawa cerita tentang tanah tempat biji itu tumbuh, tangan
yang menyangrainya, hingga barista yang meraciknya dengan penuh perasaan.
Seperti kopi dengan berbagai metode sedu, tubruk, French press, hingga
espresso. Stilasi menyajikan larutan bunyi dari beragam daerah dengan cara yang
unik, disaring melalui stilasi sebagai teknik penyeduhan rasa musikal.
Setiap
komposisi membawa pendengar pada pengalaman meresapi aroma masa lalu,
pahit-manisnya perjalanan budaya, dan aftertaste dari ritme-ritme lokal
yang telah dikristalisasi menjadi bentuk baru. Perpaduan instrumen tradisi
dengan sentuhan, ambient, lofi dan beat modern memberi ruang bagi fantasi bunyi
untuk tumbuh, tiba-tiba kita merasa berjalan di antara hutan Kalimantan sambil
mendengar gumam air dan suara kayu, lalu menyebrang ke gang-gang kecil di
Madura dengan irama yang seperti dialog rindu antara angin dan tanah. Dampaknya
bukan hanya emosional, tapi juga imajinatif, pendengar diajak membayangkan
dunia lain, dunia di mana tiap suara punya bentuk, warna, dan makna. Stilasi
menjelma menjadi ruang dengar yang mengisi ruang, akrab, menghangatkan, dan dalam
diamnya, mengajak kita merenungi harmoni yang tersembunyi di balik keberagaman.
Album
Stilasi dibuka dengan Sido Asih, sebuah komposisi cinta yang mengalun
seperti pagi yang tenang setelah hujan semalam. Ia adalah tentang perjumpaan
dua hati yang bersandar pada cinta yang tulus, tentang dua insan yang saling
menemukan dalam keteduhan, dan akhirnya berlabuh dalam ikatan pernikahan yang
hangat. Dari sana, perjalanan berlanjut ke Sido Mukti, di mana restu
orang tua memohonkan kesejahteraan, menjadi cahaya yang menyinari langkah.
Nada-nadanya bagaikan genggaman tangan yang lembut tapi kuat, memberi semangat,
keberanian, dan kekuatan untuk mengarungi hidup yang tak selalu tenang.
Masuk
ke Sido Luhur, album ini mulai menyentuh dimensi spiritual dan generasi
yang akan datang. Ini adalah doa yang mengalun di usia tujuh bulan kehamilan,
penuh harap, penuh kasih, dengan irama yang tenang dan sejuk seperti suara ibu
yang menimang kehidupan dalam rahimnya. Komposisi ini menjadi perhentian sunyi
yang penuh makna, di mana masa depan berbisik dalam nada-nada penuh berkah.
Lalu
datang Tasik Malaya dari Madura, membawa kerinduan yang mengombak. piano
dan imajinasi suara laut berpadu menciptakan suasana cinta yang tertahan jarak,
sebuah rindu kekasih yang mengendap dalam dada seperti air laut yang terus
menari di bibir pantai. Ini adalah puisi cinta dalam bentuk bunyi, mengalun
jauh tapi terasa dekat.
Dari
kerinduan yang lembut, kita dibawa pada hentakan agung Singa Barong dari
Bali. Komposisi ini menegaskan keperkasaan dan energi pelindung, dengan
dinamika bunyi yang cepat. Seperti tarian barong yang melambangkan kekuatan
menjaga keseimbangan, komposisi ini memanggil sisi gagah dalam diri manusia
yang berani, yang bertahan, yang melindungi.
Perjalanan
kemudian menyeberang ke timur, menuju Sulawesi Selatan lewat Paraikatte.
Dalam bahasa Bugis, kata ini merujuk pada saudara, kerabat, dan ikatan
solidaritas. Musiknya membawa rasa tekat kebersamaan dan kehangatan pertemuan,
di mana persaudaraan tak dibatasi oleh darah, tetapi oleh cinta dan saling
menjaga.
Dari
manusia ke alam, kita memasuki Batang Haring dari Kalimantan, lambang
pohon kehidupan yang agung dan suci. Nada-nadanya seperti akar yang merambat,
batang yang tumbuh, dan daun yang menari berbicara tentang hubungan manusia
dengan Tuhan, bumi, dan semesta. Ia adalah kontemplasi dan doa, dibisikkan
lewat napas hutan dan detak tanah.
Menapaki
Sumatra, Angsa Duo mengalun sebagai tugas pada tarian dua jiwa yang
saling mencari. Ini adalah komposisi tentang kepasrahan pada petunjuk dan
tuntunan, mengikuti dalam wujud sepasang angsa yang melaju bersama di sungai
sunyi, mencari tempat yang aman, berkah dan penuh kelembutan, tapi mengandung
kekuatan spiritual
Merak
Ngibing dari Parahiangan Jawa Barat menyuntikkan energi
yang saling merajut dan terikat ke dalam perjalanan ini, menari penuh warna,
seperti bulu merak yang dikembangkan dalam musim kawin. Ia adalah selebrasi
kehidupan tentang ekspresi, keindahan yang percaya diri, dan gairah untuk
tampil menjadi diri sendiri.
Sebagai
penutup, Kawung hadir dengan meditasi perenungan kesucian yang dalam.
Motif batik yang melambangkan keseimbangan dan kosmos ini menjadi renungan
akhir, tentang hidup yang terus berputar menuju kesucian, seperti hembusan
angin yang terus menyapa meski tak terlihat.
Dengan
urutan ini, Stilasi menjadi bukan hanya album musik, melainkan siklus hidup
tentang cinta, keluarga, rindu, kekuatan, solidaritas, spiritualitas, hingga
kembali pada keseimbangan. Sebuah perjalanan bunyi yang tak hanya bisa
didengar, tapi juga dirasa dan dikenang. Mendengar Stilasi seperti memasuki
dunia paralel di mana tiap motif batik bukan hanya bisa dilihat, tapi juga bisa
didengar, dihirup, dan dirasakan. Fantasi bunyi yang dibangun melalui
pencampuran instrumen tradisi, ruang ambient, dan lofi beat menjadikan album
ini bukan hanya koleksi musik, tetapi pengalaman spiritual dan imajinatif
tentang Indonesia yang berlapis, halus, dan menakjubkan. []

Tidak ada komentar