Menghidupkan Kembali Semangat Ki Hadjar Dewantara
Refleksi
Hari Pendidikan Nasional
Oleh:
Agus Miftahurrahman
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar ritual tahunan untuk mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Lebih dari itu, hari ini adalah momen reflektif: sudahkah semangat pendidikan yang ia perjuangkan benar-benar hidup di tengah-tengah masyarakat kita?
Ki
Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus membebaskan, memerdekakan
pikiran, dan menjadikan manusia mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri. Dalam
semboyannya yang terkenal — Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani — terkandung filosofi mendalam bahwa pendidikan bukan
soal pengajaran satu arah, melainkan pendampingan yang memberdayakan. Namun,
dalam praktiknya hari ini, sistem pendidikan kita masih terlalu sering terjebak
dalam formalitas, angka, dan kurikulum yang kaku.
Beberapa
waktu lalu, Dr. Fakhruddin Faiz, seorang pemikir kontemporer, datang ke
Situbondo. Dalam salah satu sesi ngaji yang dibawakan beliau, terdapat catatan
menarik tentang esensi ilmu dalam kehidupan. Katanya, “Ilmu yang luas itu
membuat kita menjadi semakin luwes. Karena ilmu itu bagaikan senjata—semakin
banyak senjata yang kita punya dan kuasai, semakin siap dengan beragam kondisi
dan dinamika kehidupan yang akan kita hadapi.” Pernyataan ini seolah menegaskan
kembali bahwa pendidikan bukan sekadar alat untuk mencari pekerjaan, tetapi
bekal hidup yang memberi keluwesan berpikir, kemampuan menyesuaikan diri, serta
kekuatan menghadapi kompleksitas zaman.
Namun
sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan masih timpangnya akses dan kualitas
pendidikan. Ketika anak-anak di kota besar disibukkan dengan bimbel dan gadget
canggih, di pelosok negeri masih banyak siswa yang harus menempuh perjalanan
jauh hanya untuk mencapai sekolah. Ironisnya, teknologi yang seharusnya menjadi
jembatan pemerataan, justru memperlebar jurang ketimpangan ketika infrastruktur
digital belum merata.
Lebih
jauh lagi, pendidikan kita juga masih terlalu menekankan pada hafalan dan nilai
ujian. Kreativitas, karakter, dan empati belum benar-benar menjadi poros utama.
Padahal, di era disrupsi ini, anak-anak kita perlu dibekali bukan hanya dengan
pengetahuan, tetapi juga dengan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan
kemauan belajar sepanjang hayat.
Momentum
Hari Pendidikan Nasional ini seharusnya menjadi panggilan bagi semua pihak —
pemerintah, pendidik, orang tua, hingga siswa — untuk menghidupkan kembali
semangat merdeka belajar. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab
sekolah, tapi tanggung jawab kolektif untuk menciptakan generasi yang tidak
hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan berdaya.
Pendidikan
yang membebaskan adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang tahu arah
hidupnya, mampu menghargai perbedaan, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Mari kita renungkan, apakah kita sudah berada di jalan itu? Jika belum, inilah
saatnya untuk memulai kembali — dengan niat yang tulus dan kerja bersama.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip sebuah quote yang begitu dalam dari Dr. Fakhruddin Faiz, sekali lagi, sebuah quote yang diberikan dalam kunjungannya ke Situbondo beberapa waktu yang lalu.
“Jasad
itu tidak berharga, kecuali ada nyawanya (rohnya). Roh itu tidak bernilai
kecuali ada ilmunya. Ilmu itu tidak bernilai kecuali ada amalnya. Amal itu
tidak bernilai kecuali ada ikhlasnya. Dan orang ikhlas itu tantangannya banyak.”
Selamat
hari pendidikan nasional

Tidak ada komentar