Kabar Duka itu Datang

Oleh : Imam Sofyan
Situbondo kedatangan tamu penting. Setidaknya itu menurut komunitas literasi. Seorang lelaki tinggi berkulit putih yang oleh orang-orang disebut Kepala Suku. Kedatangannya membawa harapan untuk dapat meningkatkan gairah dunia perbukuan di Situbondo.
Kisaran pukul 20.00 WIB, lelaki tersebut datang dengan ditemani dua orang. Mereka dari mobil yang ditumpanginya dari Ketapang dengan memegang punggung langsung nyelosor merebahkan tubuhnya yang agak gemuk di teras rumah, tempat teman-teman komunitas biasa melakukan diskusi buku mingguan. Saya datang dari rumah kontrakan pun dengan membawa harapan untuk mendengarkan kepala suku memberi wejangan terkait literasi. Tapi sekali lagi, lelaki tersebut datang dengan menahan sakit di punggung. Sambil tidur-tiduran, saya menyalami.
Sepurane, Mas. Saya sambil tidur,” ucapnya dengan nada sopan saat saya menyalami.
“Owh ya nggak kenapa, Mas,” jawab saya tak kalah sopan.
Dua orang yang bersamanya juga saya salami. Satu orang saya kenal bernama Nody, satunya lagi saya belum pernah melihatnya. Belakangan saya tahu bahwa lelaki yang tidak saya kenal ini bernama Rizki. Kalian bisa panggil ia kiki atau Rizki. Tapi saya harap jangan memanggilnya Rizki Aditya, dan jangan pula membandingkannya. Jika pun anda memaksa ingin membandingkannya ya boleh lah dengan Rizki Nasar.
Karena di teras rumah, tentu saja tidak ada alas tikar di tempat Kepala Suku tidur-tidur dengan menahan sakit. Teman-teman yang sudah berkumpul di tempat tersebut berinisiatif untuk mengeluarkan karpet sebagai penghangat. Namun oleh kepala suku di tolaknya.
“Nggak usah, Mas, santai ae.”
Karena cuaca dingin tetap saja oleh teman-teman karpet dibentangkan. Kepala Suku tersebut mengalah. Suasana masih sepi saat semuanya duduk di teras rumah baca. Dua orang yang dibawa oleh kepala suku asyik ngebul rokok. Pertanyaan masih seputar perjalanan dari Munduk-Ketapang. Dua wanita datang dengan sumringah saat hendak bertemu Kepala Suku. Semua orang yang berkumpul disalami. Tetap saja, Kepala Suku dengan posisi yang sama: tidur-tiduran.
Obrolan semakin cair saat Marlutfi datang dari sekolah ditambah embah Kutunuk ikut nimbrung. Handphone Kepala Suku berbunyi. Pembicaraan seputar tempat pijat.
“Dek, kamu tau daerah sini kan?” tanya Kepala Suku dengan saya yang berada dua meter dari tempat tidur-tiduran.
“Iya,Mas,” dengan mengangguk.
“Ini ngomong dengannya,” sembari menyerahkan hape-nya saya melihat siapa yang menelepon Kepala Suku. Tertulis Didik (atau Didit, saya lupa). Saya berbicara sebentar dengan Didik. Selanjutnya saya serahkan dengan Mas Lutfi yang lebih paham teritorial Situbondo dan sekitarnya. Yang jelas agenda besok Kepala Suku pijat ke Prajekan- Bondowoso tetangga Situbondo sehabis Zuhur. Kepala Suku meminta Nody membeli obat. Rizki sibuk mengeluarkan pisang goreng dan camilan dari mobil. Termasuk kopi yang dibawa dari Desa Munduk.
Dengan wajah kesakitan Kepala Suku memaksakan untuk duduk sebentar dan berdiri menuju kamar mandi. Wajah yang sama pernah saya lihat saat Cak Rusdi hendak bangun dari tidurnya dengan menahan sakit ketika saya, Zaidi, Imron dan Mas Lutfi pamit pulang dari rumahnya.
Dengan wajah segar sebagaimana orang yang baru mandi Kepala Suku mulai bertanya-tanya seputar sejarah Situbondo dan makanan Khas Situbondo. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Kepala Suku khas lulusan filsafat. Tentu saja Kepala Suku lebih antusias terkait pembahasan kuliner Situbondo sampai pada keputusan disepakati agenda besok pagi memasak ikan geseng, takar dan nasi karak. Mbah Kutunuk sebagai koki.
“Jadi, besok saya bangun tidur langsung makan.”
Kontan saja semua yang mendengarkan Kepala Suku tertawa. Saya yang dari tadi menyimak obrolan Kepala Suku dengan Mbah Kutunuk selain tertawa atas banyolan-banyolan kepala suku mojok ini juga menahan geram menantikan diskusi terkait literasi. Hingga sampai pukul 24.00 WIB sama sekali tidak ada pembahasan literasi. Sadis. Malam itu saya hanya bisa menyimpulkan dua hal terkait Kepala Suku yang sudah menulis 20an buku ini. Pertama sopan. Hal itu saya dapatkan saat saya menyerahkan secangkir kopi dan asbak kepada Kepala Suku. Dengan sopan Kepala Suku berkata “Suwun, Mas.” Kedua, intonasi suaranya menunjukkan dirinya seorang pemimpin. Hampir sama dengan Kepala Adat Mamugu Batas Batu dalam buku Yang Menyublim di Sela Hujan yaitu Daniel Menja. Tidak meyakinkan tetapi saat berbicara semua orang mendengarkan.  
Esok paginya setelah pulang mengajar saya kembali ke Rumah Baca Damar Aksara. Dengan niat yang masih sama, berharap mendengarkan petuahnya terkait literasi. Nahas, Kepala Suku masih tidur. Ngorok. Zaidi, Mbah Kutunuk dan Saleh sibuk di dapur memasak sesuai agenda yang sudah di sepakati.
Tepat sebelum Zuhur masakan siap dihidangkan. Kepala Suku yang sedari tidur sangat antusias hendak merasakan buatan Mbah Kutunuk yang memiliki 191 resep Masakan. Semua makanan yang dihidangkan ditanyakan. Nody pulang ke Jember setelah makan. Tinggal Kepala Suku dan Rizki. Sebagaimana yang sudah disepakati sebelumnya, setelah Azan Zuhur pergi ke tukang pijat di Prajekan. Ada empat orang di dalam mobil, saya, Rizki, kepala suku dan Mas Lutfi. Melewati jalan tembus Kepala Suku membahas Ininnawa dan buku Makasar Nol Kilometer. Saya yang mulai tadi uring-uringan jadi bersemangat berbaik sangka kalau di dalam mobil ini pembahasan yang saya tunggu. Tapi sia-sia. Pembahasan cukup. Sesampai di H. Satakir sembari menunggu Kepala Suku pijat saya ngobrol dengan Rizki seputar Minum Kopi yang dikelolanya di Yogya. Setidaknya pembahasan dengan Redaktur Minum Kopi ini sedikit mengurangi kebosanan saya. Tidak sampai satu jam-jam Kepala Suku dari tempat tukang pijat mengajak untuk mencari warung kopi. Kepala Suku memuji kualitas H. Satakir dalam memijat.
“Besok harus balik lagi ke sana,” kata Kepala Suku.
Lalu kami berangkat mencari warung kopi. Pembahasan seputar kopi hingga mencari warung kopi yang ada caturnya. Tapi sayang tempat orang bermain catur yang ditunjuk Kepala Suku bukan warung kopi, melainkan penjual bakso.
“Masak makan bakso,” ucapnya sambil mobil menuju timur yaitu pusat oleh-oleh Situbondo. Lagi-lagi pusat oleh-oleh Situbondo yang menyediakan Kopi Juara Nasional itu tutup. Dengan mengejek Kepala Suku Berujar
“Meski juara dunia tapi tutup, lebih baik nggak juara tapi buka.”
Sampai pada akhirnya kita menuju kantin tempat biasa manteman ngopi.
Mas Lutfi memesan kopi empat. Saya berdampingan duduk dengan Kepala Suku. Rizki tepat berada di depan saya dan sibuk memainkan gawainya. Saya masih malu ngobrol langsung dengan kepala suku. Saya basa-basi bertanya tentang kunjungan Kepala Suku ke Magetan tempat buku yang digawangi Mbak Sasa. Perbincangan dimulai. Hingga Mas Lutfi melanjutkan pembicaraan bahwa saya yang ngotot berharap untuk Kepala Suku datang ke Situbondo untuk mendengar petuah-petuahnya.
“Loh, sekarang kan saya sudah di sini, ayo mau minta apa?” tanya dengan ketawa.
“Saya nggak minta apa-apa, Mas. Cuma mau minta saran sampean tentang strategi menjalankan literasi di Situbondo,” tapi saya tahan dalam hati.
“Mas, saya dari semalem tahan-tahan menunggu sampean diskusi. Malah yang dibahas kuliner,” jawab saya dengan Kepala Suku. Handphone Kepala Suku berbunyi. Saya tak tahu siapa yang menelepon. Yang saya tahu Kepala Suku menyebut “Ndra-Ndra.”
“Piye, Ndra,” tanya dengan suara di seberang. Sampai pada suatu ketika setelah menyelesaikan pembicaraan dengan orang yang menelepon, Kepala Suku meminta balik ke Rembang karena embahnya meninggal. Mas Lutfi sibuk menghubungi teman-temannya mencari rental mobil. Saya tahu benar, kondisi Kepala Suku setelah mendengar kabar duka tersebut.
“Saya harus balik ke Rembang. Karena orang tua saya juga sakit.”
Lelaki berkulit putih ini benar-benar sedang mengalami sedih yang mendalam. Tangan kanannya memegang kepala layaknya seorang filsuf lagi berpikir sesuatu yang sulit. Suasana sudah mulai tidak nyaman. Awan gelap menyelimuti tempat kita ngopi. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya sampaikan dengan Kepala Suku. Bukan. Bukan tentang literasi.
“Mas, sampean NU apa Muhammadiyah?” saya urungkan untuk bertanya.  Kita kembali ke mobil dengan langkah gontai. Sibuk mencari-cari rental mobil yang bisa ngedrop ke Rembang. Sesampai di Rumah Baca bayangan duka masih menempel ketat.
Saya mengalami kebingungan saat seperti ini. Kabar duka itu bersamaan dengan acara komunitas mengundang Kapolres Situbondo bincang buku Hoegeng malam nanti. Bunyi azan menggema. Belum ada kepastian tentang mobil yang akan di sewa. Bersama Zaidi saya pamit mencari mobil.
“Minta tolong dek, ya,” ucapan Kepala Suku tersebut meneguhkan kesimpulan saya bahwa lelaki yang baru saja di tinggal embahnya ini sopan.
Ada tiga transportasi hasil penjajakan bersama Zaidi. Semua nomer telefon dihubungi tanpa terkecuali informasi dari pemuda Kampung Langai. Di saat bersamaan datang seorang polisi bertanya kegiatan yang akan didatangi Kapolres Situbondo. Saya semakin bingung antara menemani Kepala Suku atau Kapolres. Syukurnya Mas Lutfi menawarkan gagasan agar Kapolres diperlambat datang ke acara yang komunitas laksanakan ini. Makanan yang tadi pagi dibuat dihidangkan. Tak satu kata pun yang keluar dari mulut kepala suku. Entah apa karena meresapi masakan ala Mbah Kutunuk atau kesedihan yang menghinggapinya. Yang pasti makan malam di tempat buku-buku tersebut bernuansa kesedihan. Makan malam penuh duka begitu kira-kira bagi saya.
Satu jam kemudian Kapolres datang dengan jajaran kepolisian. Mobil yang dipesan oleh Kepala Suku belum juga kunjung tiba. Tidak ada kebahagiaan seperti saat mengundang Kapolres di kantornya. Komunitas bersepakat untuk mengirim fatehah kepada embah Kepala Suku saat acara bincang buku dimulai, entah Kepala Suku NU atau Muhammadiyah, atau apa sampai apa tidak doanya kita nggak urus begituan. Fatehah kedua untuk orang tua Kepala Suku dan Cak Rusdi agar diberikan kesembuhan.
Mas Lutfi memaparkan tentang Hoegeng dari buku yang dibaca. Setelah selesai, dilanjut Kapolres. Kepala Suku keluar dari rumah Mas Lutfi saat Kapolres memaparkan materi. Saya yang dari awal duduk bersama Mas Lutfi harus meninggalkannya untuk menemani Kepala Suku menunggu mobil yang akan ditumpangi.
Di depan, saya minta maaf sambil mencium tangan kepala suku layaknya seorang guru dan murid. Ya, meski Kepala Suku tidak pernah mengajarkan saya secara berhadap-hadapan tapi dari hasil buku-buku yang ia tulis dan saya baca Kepala Suku adalah guru saya.
Setengah jam kemudian, mobil datang. Kepala suku pamit ke Rembang. Meskipun tidak ada pelayanan yang berkesan atas kedatangan Kepala Suku saya yakin di hari ini, tempat ini. Situbondo selasa tanggal 19 September 2017 ada kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh Lelaki Rembang bernama Puthut EA. Tentu saja kenangan duka.
Sumber foto : takanta.id

Kabar Duka itu Datang Kabar Duka itu Datang Reviewed by Redaksi on September 22, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar