Cerpen: Fragmen Ingatan



Tentang Bola dan Rumah Tua
Usiaku masih enam tahun ketika dulu aku berlari ke arah rumah tua di depan rumahku. Aku berlari karena bola yang kutendang melayang ke atas dan masuk ke rumah tua itu. Namun langkahku terhenti, teriakan mamaku sangat keras.
“Nikolas, jangan main ke sana. Berbahaya!”
“Ayo pulang!”
“Tapi, Ma. Bolaku di sana.”
“Sudah, nanti Papa pasti belikan yang baru.”
“Tapi, Ma....”
Belum sempat menyudahi ucapanku, mamaku sudah ada di dekatku. Kemudian menyeret lenganku.
“Sudah, ayo pulang! Hampir malam!”
Rumah tua itu terlihat sangat menyeramkan. Apalagi saat malam dan di luar sedang hujan. Di kamarku ada jendela. Jendela itu menghadap tepat ke rumah itu. Karena dulu aku masih menginginkan bolaku dan yang aku pikirkan adalah bagaimana cara untuk mendapatkannya kembali, maka malam itu aku memberanikan diri untuk menyingkap gorden dan melihat ke luar. Tatapanku tertuju ke rumah itu. Sangat menyeramkan. Seakan-akan ada sesuatu di dalamnya. Seakan-akan ada yang bergerak. Padahal rumah itu sudah kosong sebelum aku dilahirkan. Dan benar saja, sesaat setelah mataku mulai terasa lelah karena terus memerhatikan rumah itu, tiba-tiba bolaku terlempar sendiri. Memantul-mantul di tanah yang basah. Tentu saja aku kaget dan ketakutan. Dengan cepat aku menutup gorden. Aku melompat ke kasur. Memeluk guling dan menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku. Dan aku tertidur.
Saat aku terbangun, tubuhku berkeringat. Karena masih penasaran, aku kembali melihat ke luar jendela. Namun sejauh mata memandang, aku tak menemukan apa yang sedang aku cari.
Kereta, Bola, dan Obat-obatan
Usiaku delapan tahun ketika Papa tewas tertabrak kereta. Aku menangis. Mama menangis. Semua orang datang ke rumah. Rumah mendadak ramai, seperti tempat wisata. Pada saat itu aku tak berpikir kenapa bisa papaku itu tertabrak kereta. Yang ada dalam pikiranku dulu hanyalah janji Papa yang akan membelikanku bola baru.
Seminggu kemudian, kutemukan Mamaku terkapar di kamar mandi dengan mulut berbusa. Setelah itu, aku seperti hilang kesadaran dan jatuh ke lantai. Dan semuanya menjadi gelap.
Cita-cita
Usiaku sepuluh tahun ketika aku pindah rumah ke daerah selatan yang dingin. Di sana aku tinggal bersama Nenek, ibu dari mamaku. Aku ingin berhenti sekolah, tapi aku dipaksa untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Kata Nenek, biar jadi pintar. Sebenarnya aku ingin jadi bodoh saja. Aku tak ingin sekolah. Aku hanya ingin menjadi pemain sepak bola.
Setidaknya, dulu aku mempunyai cita-cita.
Keputusan
Saat usiaku dua puluh lima tahun, aku berpikir bahwa cita-citaku adalah ingin mempunyai cita-cita. Karena rokok dan minuman-minuman keras, aku gagal menjadi pemain sepak bola. Memang pada saat itu aku sudah menyelesaikan kuliahku. Tapi aku tak ingin bekerja di kantor. Atau bekerja kepada seseorang. Atau bekerja kepada seseorang dan seseorang itu juga bekerja kepada seseorang yang lain. Aku tak ingin hidupku menjadi rumit. Cukup pola pikirku saja yang rumit. Jadi pada saat itu aku memutuskan untuk menulis.
“Carilah pekerjaan, menulis bukan pekerjaan. Menulis itu kutukan!” kata seorang teman.
Tetapi aku hanya diam. Dan, tersenyum.
Pernikahan
Saat usiaku sudah menginjak kepala tiga, Nenek berkata, “Cepatlah menikah, punya anak, dan hidup bahagia.”
Seminggu setelah Nenek mengatakan itu, beliau meninggal. Bukan karena penyakit. Tetapi karena sudah waktunya. Aku menyatakan berduka pada sebuah meja bar dan menghabiskan beberapa botol Vodka.
Karena pada saat itu aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mendekati seorang wanita yang terlihat duduk sendirian di sudut bar. Kulihat wajahnya pucat, dan sepasang matanya seakan menjelaskan bahwa ia telah lama hidup dalam penderitaan. Rambutnya hitam seperti malam. Ketika aku duduk tepat di hadapannya, aroma samponya menyeruak. Aku suka jenis harum samponya.
“Maukah kau menikah denganku?”
Permintaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Dan karena wanita itu juga mabuk, ia hanya bisa mengangguk.
Sebulan kemudian, aku dan wanita itu pun menikah. Namanya Sofia. Pada malam itu, lagu Beautiful in White diputar. Dan kami bahagia.
Perbedaan
Setelah menikah aku baru menyadari, ternyata kebahagiaan itu tidak abadi. Selama dua tahun, istriku tak kunjung memberi tanda-tanda kehamilan. Kami tak tahu siapakah di antara kami yang mandul. Seringkali kami bertengkar hanya karena persoalan tersebut. Pernah terlintas keinginan untuk mengadopsi anak. Namun selalu saja terhalang oleh perbedaan pola pikir. Perlahan-lahan, aku tak lagi menemukan kecocokan dengannya. Kurasa ia pun merasakan hal yang sama.
Karena cinta kami sepenuhnya telah menghilang, maka kami pun memutuskan untuk bercerai.
Yang Sulit adalah Kebahagiaan
Lima tahun setelah perceraian itu, aku tak punya keinginan untuk menikah lagi. Masalah kebutuhan biologis masih bisa kusalurkan kepada wanita-wanita lain yang juga mengalami kesepian yang sama. Apa saja yang bisa membuatku tenang atau membuat jiwaku terlepas dari kesunyian masih bisa kudapatkan dengan mudah. Namun, yang sulit adalah kebahagiaan. Walau banyak yang bilang bahagia itu sederhana, tetapi tetap saja aku tak bisa sesederhana itu menerapkan teori tersebut.
Depresi
Saat usiaku lima puluh, aku merasa hidupku tak ada gunanya. Aku putus asa. Untuk kesekian kalinya aku merasa kesepian dan tak punya siapa-siapa lagi. Aku telah gagal dalam banyak hal. Aku sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan cara paling tragis yang pernah ada di dunia. Tetapi di sisi lain, aku masih ingin merasakan kebahagiaan sebelum aku mati. Maka aku urungkan niat untuk bunuh diri. Aku masih berharap kebahagiaan akan datang di depan rumah, mengetuk pintu, kemudian masuk dan memeluk tubuhku.
Saat itu, aku memutuskan untuk tinggal di sebuah bukit yang jauh dari kota. Jauh dari keramaian. Hanya ada udara sejuk dari dedauan. Bunyi aliran sungai di belakang rumah. Kicau burung. Atau kabut tipis saat pagi hari, yang dingin dan menyegarkan pikiran. Aku sudah merencanakan semuanya. Rumah itu adalah warisan dari papaku. Aku ingin menghabiskan masa tuaku di sana. Sebab pada satu titik yang berlubang di dalam hatiku, aku percaya bahwa menyendiri adalah sebuah kontemplasi sederhana untuk menetralisir pikiran.
Cermin
Aku baru tahu kalau di rumah ini ada sebuah cermin yang besar. Bentuknya lonjong. Ukurannya melebihi tubuhku. Jika aku berdiri di depannya, aku tak lagi merasa kesepian.
“Kelak, kau pasti akan bahagia,” ucap seseorang di dalam cermin.
Ingatan Terakhir
Ini semua adalah sebuah cerita yang aku tulis saat ini. Saat usiaku sudah tujuh puluh. Saat tubuhku sudah tak sekuat dahulu. Ini adalah sebuah cerita yang terkumpul dari potongan-potangan ingatanku. Aku masih hidup normal. Aku pun masih hidup berkecukupan. Sebab dulu, saat aku masih bayi, orangtuaku sudah mendaftarkan namaku di sebuah perusahaan asuransi. Mungkin hanya jaminan kehidupan inilah yang bisa kusebut: tanda kasih sayang mereka kepadaku.
Sudah  dua puluh tahun aku menetap di sini. Melewati berbagai musim yang sangat melelahkan. Tetapi akhirnya kesepianku semakin berkurang setiap tahunnya. Sebab kawasan perbukitan ini telah berubah menjadi kompleks perumahan yang asri. Rumah-rumah bermunculan dari dalam tanah. Orang-orang berdatangan entah dari mana. Memang terkadang ada sebagian orang yang bertamu ke rumah. Tetapi lebih banyak yang membicarakanku di luar rumah. Mungkin mereka berpikir pendengaranku sudah tidak tajam lagi. Namun aku masih bisa mendengar percakapan-percakapan mereka, walau sepertinya mereka hanya saling berbisik.
“Kasihan Kakek itu, tidak ada yang merawat.”
“Anak-anaknya mungkin sudah melupakannya.”
“Rumahnya juga tidak terawat.”
“Iya. Seperti rumah hantu.”
“Menyedihkan sekali!”
Aku melihat mereka semua dari balik jendela. Pandanganku pun masih jelas. Tidak rabun sama sekali. Ingatanku pun masih tajam. Dan inilah yang akan aku ceritakan selanjutnya.
Peristiwa ini terjadi kemarin sore, ketika aku melihat seorang anak kecil menendang bolanya terlalu kencang, sehingga bola itu terlempar sampai masuk ke halaman rumahku. Kemudian seorang wanita keluar dari rumahnya, ia berteriak kepada bocah itu.
“Navara, menjauhlah dari rumah itu! Berbahaya!”
Pada saat itu juga aku seperti dipulangkan menjadi bocah kecil yang senang bermain bola. Ingatanku berputar dengan cepat. Apakah waktu selalu mengulang kejadian-kejadian lain yang selalu berakhir sama? Teori ini belum pasti. Maka aku akan membuktikannya. Dan aku akan menunggu. Jika empat tahun kemudian bocah itu menjadi yatim piatu, aku akan menghampirinya. Aku akan bercakap-cakap dengannya. Aku akan menceritakan semuanya.
Setelah ia telah larut dalam cerita-cerita, aku akan membunuhnya! Dengan begitu, ia tak perlu merasakan kepedihan-kepedihan lain yang akan datang selanjutnya. Dan ia akan berbahagia, di surga. (*)
ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo. Saat ini sedang mempersiapkan buku ketiganya. Doakan saja, semoga tidak lagi dikutuk oleh ingatan.
Cerpen: Fragmen Ingatan Cerpen: Fragmen Ingatan Reviewed by takanta on November 24, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar