Komitmen Literasi untuk SDM Unggul


Buku, Tua, Awan Awan, Pohon, Burung, Bank, Rush
Agak mengejutkan, beberapa waktu lalu novelis Eka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Melalui akun facebook pribadinya, penulis buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan peraih Prince Claus Award 2018 itu memberikan klarifikasi: penolakannya bukan sekadar penolakan, bukan semacam bentuk ‘arogansi’, penolakan Eka adalah satu bentuk kritik; upaya mempertanyakan—atau menagih tepatnya—komitmen pemerintah dalam hal literasi.

Memangnya apa yang salah dengan literasi (di) Indonesia? Jika ditinjau dari tiga bentuk sederhananya: baca, tulis, dan dialektika, maka pokok permasalahan itu bakal ditemukan. Dimulai dari penyitaan, pelarangan, sekaligus penangkapan pembaca ‘buku kiri’; tak ada regulasi yang jelas perihal pembajakan buku, pajak penulis yang ‘mencekik’, dan banyak lagi. Selanjutnya, ada semacam dua hal yang bertentangan: minat membaca masyarakat Indonesia tersungkur pada nomor 60 dari 61 negara (Studi Most Littered Nation in the World) namun di sisi lain, jumlah perpustakaan di Indonesia terbesar ke-2 setelah India, 164.610.
Sebegitu pentingkah komitmen pemerintah dalam pengembangan literasi demi terwujudnya SDM unggul? Hemat penulis, iya, bahkan sangat. Mari kita kembali ke masa 17 tahun sebelum kemerdekaan. Pemuda dari beragam latar belakang daerah, budaya, berkumpul, kemudian berikrar, 28 Oktober lalu kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda; 3 butir ‘puisi kebangsaan’ yang dinarasikan M.Yamin, penyair sekaligus tokoh pergerakan, butir itu antara lain komitmen pada satu tanah air, bangsa, dan bahasa.
Sumpah Pemuda dapat diartikan sebagai satu bentuk awal komitmen pemuda-pemuda dalam pengembangan literasi sebagai penyokong SDM unggul pada masanya, demi menggapai kemerdekaan. Butir ke-3, ‘bahasa’adalah kunci, meski dalam prosesnya aroma literasi pun menguar kuat. Jong Celebes, Jong Madura, Pemuda Betawi, dan lainnya masing-masing memiliki media berupa koran, sebagai ajang adu gagasan dan dialektika. Bahkan perkumpulan pelajar Indonesia di Belanda, dimotori Hatta pun memiliki media koran. Dan Soekarno, dengan Soeloeh Indonesia Muda-nya. Apa hasilnya? 17 tahun kemudian komitmen yang disokong proses-proses literasi yang kuat itu membuahkan cita-cita sejak lama: kemerdekaan.
Muncul pertanyaan kemudian: bagaimana mungkin satu peradaban yang mampu menghasilkan karya agung semacam I La Galigo di Bugis, Babad Tanah Jawi, dan founding father yang mayoritas maniak buku, justru tersungkur anak-cucunya di kemudian hari, di tengah semakin modern dan mudahnya kerja-kerja literasi?
Adalah komitmen dan kesadaran, barangkali, dapat menjadi refleksi bersama. Bahwa rasa-rasanya tidak mungkin mewujudkan fokus SDM Unggul Indonesia Maju tanpa komitmen terhadap literasi dan bangunan kesadaran bersama. Penulis kira belum terlambat, literasi masih menyala, melalui kerja komunitas-komunitas di tingkat bawah. Hanya tinggal menunggu bahan bakar lebih yang diberikan pemerintah, melalui komitmen; regulasi, dan sistem.
Nama Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan sedikit memberi angin sejuk. Pertama, sebab Nadiem menyelesaikan studi di negara dengan lingkungan literer yang kuat. Selanjutnya, Nadiem paham sistem, mengenal ‘masa depan’, dan memiliki kreativitas dan inovasi yang tak perlu diragukan. Apakah literasi akan menjadi basis utama dalam setiap gebrakan Nadiem? Dilihat dari latar belakangnya, kemungkinan besar iya—semoga saja!
Masalah selanjutnya kemudian, orientasi literasi di perguruan tinggi. Mayoritas literasi di perguruan tinggi difokuskan atau bahkan dimaknai sebatas kerja-kerja ilmiah. Apakah keliru? Terang saja tidak. Hanya, ia melompati satu tahap yang belum selesai: menjadikan membaca sebagai kebutuhan. Jujur saja, dengan sifat ‘praktisnya’ generasi milenial, ditambah studi minat membaca masyarakat Indonesia, dan kekakuan kerja-kerja ilmiah, proses literer hanya menghasilkan orientasi jangka pendek. Produk literasi yang dihasilkan pun sekadar kepentingan prosedural, tidak mengakar dan substansial.
Jika mahasiswa sebagai calon intelektual enggan mengisi ruang-ruang diskursif di publik—melalui pertarungan diskursus di media-media, maka jangan salahkan jika hoaks begitu subur tumbuh-berkembang di sana. Mahasiswa diorientasikan dan terkungkung dalam wadah-wadah ilmiah, yang pada ranah wacana, begitu sulit dijangkau dan dipahami masyarakat awam. Rasanya tak mungkin hoaks bisa dibasmi, melalui sistem batasan secanggih apa pun—yang pada titik tertentu justru rawan mencederai kebebasan berpendapat dalam demokrasi. Sebab hoaks adalah penyakit pemikiran, dan pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Hoaks adalah pertarungan diskursus, yang harus dimenangi aktor-aktor intelektual dengan ‘kode etik’ keobjektivitasan dan ‘kebenaran’ dalam konteks melalui prosedur, kerja-kerja, dan penelusuran yang ketat—sikap literer.
Akhirnya, demi terwujudnya SDM Unggul Indonesia Maju dan mengamankan bonus demograsi pada 2045, bangunan literasi mesti didesain ulang dari sekarang. Bukan perkara mana bentuk yang paling dibutuhkan, tapi lebih pada penanaman sikap literer sejak dini. Lingkungan dan kurikulum, tentu memegang peran. Lingkungan terbangun oleh kesadaran individu dan kurikulum, adalah buah sistem dari pusat.
Sejarah mencatat, Indonesia dibangun bukan hanya oleh pemuda, tapi oleh pemuda merangkap petarung-petarung gagasan yang andal, oleh para maniak wacana yang kepadanya, sikap literer benar-benar mengakar. Indonesia Menggungat-nya Soekarno pada 1930, Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Orang Belanda-nya Soewardi Soerjanigrat pada 1913. Demokrasi Kita, Mendayung di Antara Dua Karang-nya Hatta, dan banyak lagi adalah bukti konkrit bagaimana kerja-kerja dan proses literasi memiliki dampak dalam pembetukan SDM Unggul.
Era semakin maju, ruang-ruang diskursif semakin marak dan menunggu direngkuh oleh aktor-aktor intelektual—dengan membawa sikap literernya. 

 __________________
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember Tahun 2016. Email: pakujatuh@gmail.com


Komitmen Literasi untuk SDM Unggul Komitmen Literasi untuk SDM Unggul Reviewed by takanta on November 04, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar