Cerpen Mored: Hutan Lindung



Aku kayuhkan sepeda gunung untuk menghirup udara segar pagi hari. Di pinggiran alun-alun Kota Situbondo menjadi tempat berkumpul kami untuk menentukan arah goes. Di tempat tersebut sudah ada empat orang temanku.  
“Kita ke mana hari ini?”
“Ke Hutan Lindung, gimana?”
“Ok, kita ke Hutan Lindung,” jawabku.
Di antara pencinta  goes, perempuann yang ikut hari itu hanya aku dan Vike. Dari alun-alun kota Situbondo. Kami berenam melewati Jalan Cendrawasih, kemudian Jalan Cempaka, lalu Pabrik Es Situbondo hingga akhirnya tiba di Hutan Lindung. Hutan Lindung sendiri berada di Desa Paowan Kecamatan Panarukan. Kami perlu melewati pinggiran sungai yang dikelilingi pemandangan persawahan yang menyejukkan mata menuju tempat tersebut. Namun, melihat petani yang memulai aktivitasnya di persawahan ditambah keindahan Gunung Putri Tidur membuat keindahan pagi bertambah. Terlebih keindahan gunung itu terasa seperti seorang putri yang sedang tidur dengan rambutnya yang terurai.


"Ayo, kita sudah memasuki Hutan Lindung," celetuk Edy
Tak terasa kami sudah memasuki kawasan Hutan Lidung. Jalan masuk ke Hutan Lindung melewati saluran iringasi dan pintu air.
“Kita telusuri Hutan Lindung!” teriak Fery.
“Berhenti dulu, aku  capek, mau istirahat dulu.”
“Oke, teman-teman kita istirahat dulu di sini sambil selfi,” jawab Eko.
Akhirnya, sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri Hutan Lindung, kami istirahat sejenak di dekat pohon besar yang tumbang. Kami berenam tak ketinggalan menyempatkan selfi. Bahkan aku dan Vike menaiki pohon besar yang tumbang itu untuk selfi.
“Jangan lama-lama selfinya, kita lanjutkan perjalanan menelusuri hutan ini. Pemandangannya indah dan akses jalannya tidak sulit kita lewati,” Yadi berceloteh.
“Jalan ini tembus ke mana ya?” tanya Dika.
“Ada yang tahu tidak?” tanya Vike.
“Kita sama-sama gak tahu jalan ini tembus ke mana, biar tidak penasaran lebih baik kita telusuri saja jalan ini, mumpung masih pagi,” jawab Yadi.
“Kalau tidak tahu jalan ini tembus ke mana, lebih baik kita selfi- selfi saja d sini, terus kita pulang biar tidak tersesat,” kataku.
“Kita ini pegoes, bukan peselfi, untuk apa kita hanya selfi, kita harus nikmati keindahan hutan ini, tanpa tantangan bukan pegoes namanya,” bantah Eko
“Oke,  kita go sekarang,” ajak Dika.
Akhirnya aku mengikuti mereka, meski perasaan waswas berkecamuk, aku tepiskan saja.
Kami mulai mengayuhkan sepeda gunung kami untuk menelusuri jalan yang ada di Hutan Lindung. Tidak ada satu di antara kami yang pernah melewati jalan itu. Dengan optimis, kami berenam semangat mengayuhkan sepeda.
Di sepanjang jalan dikelilingi pohon asam jawa, jati, sengon, cemara, dan khaya. Hutan ini memiliki 26 jenis pohon yang berasal dari luar negeri. Menurut informasi, pohon-pohon tersebut memang di tanam untuk daerah beriklim kering dan berada di dataran rendah. Sungguh eksotis pemandangan Hutan Lindung ini. Tidak ada orang lain selain kami berenam yang menelusuri jalan setapak menembus rimba. Dengan semangat, kami mengayuh sepeda gunung meski rasa khawatir mulai muncul dalam benakku. Semakin jauh kami menembus rimba, semakin merinding yang aku rasakan. Bulu kuduku berdiri, entah apa yang akan terjadi.
“Berhenti!” teriakku.
“Ada apa?” tanya Dika.
“Semakin lama kita lewati jalan ini, semakin tak menentu kita akan ke mana,” kataku.
“Tidak usah pesimis, Mita,” tegas Yadi.
“Bukan begitu, aku mulai merinding, nih.”
“Betul, apa yang dirasakan Mita juga aku rasakan,” tambah Vike.
“Ah, itu hanya perasaan kalian saja. Perempuan memang begitu. Tapi sudahlah optimis saja,  kita lanjutkan perjalanan,” Dika menyemangati.
“Betul. Mita, ini masih pukul 09.15, mungkin 45 menit lagi kita sudah menemukan jalan keluar dari hutan ini,” tambah Eko.
“Kita lanjutkan saja, Mita. Mungkin benar kata Eko,” kata Vike.
Kami melanjutkan menelusuri Hutan Lindung. Meski rasa cemas tetap berkecamuk, aku berusaha untuk optimis menemukan jalan keluar dari Hutan Lindung ini.
Tak terasa kami berenam mengayuhkan sepeda lebih dari 1,5 jam dari pukul 10.15. Dan, sepertinya, kami tidak menemukan jalan keluar dari Hutan Lindung ini. Kami hanya mendengar kicau burung dan suara angin sepoi-sepoi melambaikan ranting-ranting pohon di sepanjang hutan yang kami lewati.
“Berhenti!” teriak Yadi.
Mendengar teriakan Yadi, kami pun menghentikan sepeda.
“Ada apa, Yadi?” tanya Fery.
“Ini sudah pukul 12 siang, tapi kita tidak menemukan jalan keluar dari hutan ini. Tidak ada satu orang pun yang bisa kita tanya di mana jalan keluar dari hutan ini.”
“Betul kan kataku. Kita salah jalan! Kalau kita lanjutkan, bisa-bisa kita bermalam di hutan ini.”
“Huss... jangan bilang begitu, Mita. Kita berdoa semoga ada jalan keluar dari hutan ini, “ kata Vike.
“Terus, bagaimana ini?” tanya Eko.
“Sebentar,” kata Yadi yang berjalan melihat keadaan sekitar dan mengayuhkan sepedanya ke depan.
Tiba-tiba Yadi berteriak, “ Ke sini cepat, ada pertigaan di sini.”
Kami berlima menghampiri Yadi. Ternyata betul, ada jalan setapak simpang tiga di sini. Tetapi, kami bingung, jalan mana yang akan kami lewati karena dari awal perjalanan kami, baru sekarang kami menemukan persimpangan.
“Kita akan memilih jalan yang mana?” tanya Andika.
“Itulah yang harus kita sepakati lebih dahulu, biar nanti tidak ada yang disalahkan,” kata Yadi.
“Baik, kita sepakati jalan yang akan kita lewati sekarang,” tegas Andika.
“Kalau kita lurus, mungkin akan lebih sulit lagi menemukan jalan keluar. Kalau kita ke kiri, rasanya kurang pas ke hati. Bagaimana kalau kita ke kanan saja? Rasanya lebih pas menurutku, tapi tergantung rekan-rekan yang lain kalau tidak setuju ideku,” kata Fery.
“Kita sepakat saja ke kanan. Bismillahirrohmanirrohim... dengan melewati jalan ini, kita bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini,” tegas Dika.
Akhirnya kami berenam berbelok ke kanan untuk menemukan jalan keluar.  Kami kanyuh sepeda seraya berdoa dalam hati agar kami bisa menemukan jalan keluar dari Hutan Lindung ini. Semakin jauh kami telusuri jalan ini, semakin resah hati kami. Tiba-tiba aku melihat seorang nenek yang memungut ranting-ranting kering tidak jauh dari kami.
“Teman-teman, ada orang di sana!” teriakku.
Kami berenam menghentikan sepeda dan berjalan ke nenek itu.
“Biar aku yang tanya,” tegas Dika
Assalamualaikum, Nek... Maaf  kami mau tanya, mungkin Nenek tahu jalan keluar dari hutan ini. Kami kebingungan mencari jalan keluarnya.”
“Kalian terus lurus saja ikuti jalan setapak itu, nanti kalian akan menemukan jalan keluarnya.”
“Berapa lama lagi kira-kira kami menemukan jalan keluar menelusuri jalan itu?” tanya Andika.
“Aku tak tahu berapa lama, lewati saja sesuai petunjukku.”
“Baiklah, Nek, terima kasih. Maaf jika kami mengganggu.”
Tanpa menjawab, nenek itu berjalan menelusuri semak belukar dan hilang tanpa jejak.
“Lho... ke mana nenek itu? Kok tidak kelihatan lagi, padahal baru saja kita bicara dengannya, tiba-tiba leyap,” kata Yadi.
“Iya, nenek itu tidak tampak lagi, ke mana ya dia berjalan, kok tiba-tiba tidak ada.”
“Jangan-jangan....”
“Jangan-jangan apa, Yadi?”
“Jangan-jangan nenek itu makhluk halus penghuni hutan ini.”
“Ah, kamu ada-ada saja! Sudahlah kita ikuti petunjuk nenek itu.”
 “Sudahlah. Lebih baik kita melanjutkan perjalan. Sudah siang soalnya, “ kata Andika.
“Oke, kita ikuti petunjuk nenek itu,“ sambung Eko.
Namun, sudah lebih sdari satu jam kami mengayuh sepeda, jalan keluar belum tampak juga.
Grubbak!!! Aku terjatuh karena jalan yang tidak rata dan berkelok- kelok.
“Aduh! Sakit,“ rintihku. Vike segera menghampiriku dan teman yang lainnya membopongku ke pinggir.
“Aku sudah sarankan jangan menelusuri jalan yang tidak jelas. Akhirnya begini, aku yang jadi korban, sambil merintih kesakitan karena kakiku terluka.
“Sudahlah. Jangan cerewet! Sini kuobati lukamu.“ Andika mengeluarkan betadine dari tasnya dan mengoleskannya di kakiku. Dika panggilan singkat dari Andika Irawanto. Dia seorang anggota TNI yang penuh perhatian padaku. Entahlah, apa yang aku rasakan sama dengan yang Dika rasakan.
“Terima kasih, Dika. Kamu baik sekali,” pujiku.
“Aku hanya kasihan lihat kamu merintih, karena tidak ada yang sanggup menyeret sepeda kamu, kita semua sudah letih.”
“Yang penting kamu sudah menolongku.”
“Sudahlah, apa kamu bisa melanjutkan perjalanan, Mita?” tanya Fery.
“Ya, aku paksakan biar kita tidak bermalam di sini, “ jawabku.
“Memangnya siapa yang mau bermalam di sini, kalau kamu tidak sanggup melanjutkan perjalanan, kamu saja yang tinggal di hutan ini,” goda Dika.
“Huu... awas kamu Dik! Jangan mentang-mentang ya!”
“Kalian ini seperti kucing dan tikus, lebih baik kita lanjutkam perjalanan kita,” kata Eko.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tak terasa sudah sejam kami mengayuhkan sepeda kami, namun belum juga menemukan jalan keluar.
“Aku capek. Kita belum juga menemukan jalan keluar,” keluh Vike.
“Iya, kita mau ke mana ini, jangan sampai kita tersesat dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Fery
“Aduh... jangan sampai itu terjadi, aku harus pulang,” isak Vike.
“Aku haus! air di botolku sudah habis.”
“Punyaku masih ada, Mita.” Dika memberikan botol air minum itu kepadaku.
“Terima kasih, Dika.”
“Jangan GR dulu. Air itu sudah aku minum loh. Tapi dikit,“ goda Dika.
“Masah bodoh. Yang penting hausku hilang.”
“Oh, ya, ada ludahku juga d air itu,” tambah Dika.
“Biarin, asal bukan ludah kucing.”
“Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita,” ajak Yadi.
“Betul,  daripada kita diam di sini, siapa tahu di sana kita menemukan jalan keluar,” kata Eko.
Bismilahirohmanirohim, ya Allah... berilah petunjuk-Mu, agar kami bisa menemukan jalan keluar,“ pinta Vike sambil menengadah.
Kami pun melanjutkan perjalanan menelusuri Hutan Lindung. Tak jauh, di sela-sela semak belukar, kami melihat sosok manusia berkelabat.
“Kita berhenti. Ada orang di sana.” Dika menunjuk ke arah semak belukar itu.
Kami berhenti dan berharap kepada lelaki itu. Namun, kami sempat pesimis, jangan-jangan lelaki itu sama dengan nenek tadi, petunjuknya tidak jelas lalu lenyap tiba-tiba.
Eko dan Fery menghampiri Bapak itu yang berada tidak jauh dari kami berhenti. Mereka berdua juga berharap agar Bapak itu tidak lenyap begitu saja. Saat Bapak itu sudah mulai dekat, Eko dan Fery sempat terkejut karena Bapak itu tak tampak di depannya.
“Ke mana Bapak itu ya, baru saja ada di depan kita, kok sudah lenyap.”
“Iya, Fer, aku juga melihat Bapak itu baru saja ada di depan kita mengarit rumput. Tapi, sekarang kok tak kelihatan ya?”
Fery melihat kanan kiri di sela-sela semak belukar hutan Lindung tempat Bapak itu sedang mengambil rumput. Saat Fery menolek ke kanan, tampak seorang laki-laki duduk bersandar di bawah pohon jati.
“Itu, kita ke sana!” Fery menunjuk ke arah Bapak itu.
“Betul, Fer, kita hampiri Bapak itu!”
Mereka berdua menghampiri Bapak setengah baya yang sedang menyandarkan diri di bawah pohon jati. Bapak itu asyik mengisap cerutu sambil mengibas-ngibas topinya seakan tampak kelelahan.
Assalamualaikum, Bapak,” sapa Eko.
Walaikumsalam, Nak, ada apa?”
“Maaf, Pak, kami mau bertanya jalan keluar dari Hutan Lindung ini. Kami berenam tersesat dari pagi dan belum menemukan jalan keluar dari hutan ini.”
“Oh, begitu, teman-teman yang lainnya mana?”
“Itu, Pak, di sana lagi istirahat,” jawab Fery.
“Kalau begitu, panggil teman-temanmu ke sini, Bapak antarkan kalian keluar dari Hutan Lindung ini.”
Fery memanggil kami berempat untuk meghampiri Bapak itu. Dan, dengan penuh optimis kami berempat pun menuju Bapak itu. Setelah kami berenam berkumpul dekat Bapak itu, Bapak setengah baya itu berdiri.
“Kalian ikuti jalan setapak ini, lurus dan di sana ada jalan ke kiri, kalian ikut jalan ke kiri itu, nanti kalian akan keluar dari hutan ini.”
“Tapi, Pak, kami takut tersesat lagi, ini sudah hampir petang,” sahutku cemas.
“Baiklah, aku antar kalian sampai tepat di belokan ke kanan nanti. Setelah itu, kalian bisa melanjutkan perjalanan sendiri karena setalah dari belokan itu kalian akan keluar dari hutan ini, tepatnya di saluran air tempat kalian memasuki Hutan Lindung ini tadi.”
“Wah, terima kasih Bapak,” aku tersenyum lega.
Kami kembali mengayuhkan sepeda dengan pelan karena di depan ada Bapak itu yang berjalan mengantar kami keluar dari hutan ini. Setelah sampai di belokan, Bapak itu berhenti.
“Nah, kalian ikuti jalan ini, lurus jangan belok-belok, tak lama kalian akan keluar tepat saat kalian masuk ke Hutan Lindung ini tadi.”
“Terima kasih, Pak.” Yadi menyalami Bapak itu sambil memberikan uang 20 ribu. Bapak itu awalnya menolak, tapi Yadi meyakinkan kalau tidak ada Bapak pasti kami tak bisa pulang. Padahal di rumah,  keluarga kami sudah menunggu. Bapak itu, akhirnya menerima uang 20 ribu pemberian Yadi.
Kami pun melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk arah Bapak tadi. Dan, benar, tak lama kami kayuhkan sepeda kami, kami sudah tiba di pinggiran sungai, tepatnya pintu air saat kami memasuki Hutan Lindung pagi tadi.
Alhamdulillah... kita selamat dan berhasil keluar dari Hutan Lindung ini,” teriak Yadi.
Alhamdulillahirobbilalamin....” Kami sejenak menghentikan sepeda kami seraya mengucap syukur kepada Allah karena kami berenam masih diberi keselamatan dan menemukan jalan keluar.
Ini akan menjadi sebuah kisah bagi kami. Menjelajahi hutan lindung menbawa kesan tersendiri bagi kami, grup goes yang kompak dan Andika yang menyebalkan tapi memberikan kesan spesial bagiku. Entahlah, apa yang ada dalam benakku dan Dika. Biarlah air mengalir seiring waktu. (*)
___________________
*) Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMAN 1 Panarukan Situbondo.
Cerpen Mored: Hutan Lindung Cerpen Mored: Hutan Lindung Reviewed by takanta on November 23, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar