Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital

Tim Roh, Kohesi, Bersama Sama, Generasi, Keluarga, Tim



Percakapan pada abad ke 21, baik antara pakar dan orang awam, maupun di antara semua orang lain, kadang terasa melelahkan dan sering kali menjengkelkan, ~Tom Nichols, The Death of Expertise. 

Oleh: Nurul Fatta*

Apa yang menjadi kegelisahan saya, sebagai generasi yang hidup di era digital, merasa terwakilkan dengan ungkapan kalimat di atas. Tampaknya kecanggihan teknologi yang menyediakan keranjang informasi, ikut mendorong lahirnya percakapan yang melelahkan dan menjengkelkan itu.
Generasi di abad ini dan generasi yang akan lahir di abad-abad mendatang, tentu akan semakin tenggelam di lautan teknologi. Di mana setiap orang akan bergantung pada teknologi dan digitalisasi. Setiap orang akan melampiaskan emosi, kemarahan dan ketidaksukaannya terhadap sesama, yang mengarahkan pada hilangkannya nilai-nilai kemanusian bangsa ini.
Wearesosial Hootsuit pada Januari 2019 merilis hasil risetnya yang menyebutkan bahwa, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Sedangkan pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi. Itu artinya, terbentuknya peradaban bangsa ini ke depan, akan dipengaruhi oleh lingkungan media sosial (teknologi). Sehingga bukan tidak mungkin jika media sosial terus dipenuhi dengan percakapan-percakapan yang melelahkan tadi. Seperti ujaran kebencian, propaganda, hoaks dan semacamnya, akan berdampak negatif terhadap moral dan etika generasi bangsa ini (digital generation).
Hidup pada era post-fact yang diiringi dengan perkembangan teknologi—yang tidak semuanya berdampak positif, sangat berbahaya bagi peradaban bangsa ini. Sebab, kita akan sering menemukan percakapan dan perdebatan yang hanya mengedepankan emosi dan kemarahan.
Sejak era digital, percakapan yang penuh emosi dan kemarahan, bukan sesuatu yang asing lagi kita temui di media sosial. Mulai dari Facebook, Tweeter, Instagram, YouTube, WhatsApp dan lainnya, terdapat percakapan yang kurang memanusiakan manusia, toleransi antar sesama, minimnya sikap saling menghormati. Justru pengguna media sosial cenderung mudah terpancing oleh akun-akun yang tidak jelas identitasnya, sehingga percakapan diwarnai dengan penghinaan, menjatuhkan karakter orang lain, mencaci maki dan semacamnya.
Etika Kemanusiaan
Bagi saya, fenomena di atas sudah tidak sesuai dengan perikemanusian sebagai mana dicita-citakan bangsa ini. Satu sisi, perkembangan teknologi membawa kemajuan bagi bangsa ini. Di sisi lain, adalah bentuk kemunduran mental dan etika kemanusiaan.
Selaras dengan apa yang dikatakan filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benyamin (Sindhunata, 2019), bahwa pengertian kemajuan itu dasar dan titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus berjalan maju adalah petaka itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang, tapi apa yang terjadi sekarang.
Perkembangan teknologi di sini merupakan petaka atas kemunduran mental dan etika kemanusiaan. Sehingga tugas kita dan generasi selanjutnya adalah memperjuangkan kesamaan kemanusiaan, sebagaimana negara ini didirikan atas dasar kesetaraan dan persaudaraan. Artinya, sebagai manusia digital, kita punya tugas mempertahankan cita-cita kemanusiaan yang berbudaya dan beradab ini.
Di dalam diri kita, sesungguhnya sudah dibekali nilai-nilai kemanusian, hanya saja tinggal pengamalan nilai-nilai itu sendiri yang perlu didorong lagi. Dalam bermedia sosial, harusnya nilai-nilai tersebut kita praktekkan. Sebagai manusia generasi digital, kita tidak bisa meninggalkan sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama. Misal ketika kita menemukan percakapan yang menebar kebencian, anggap saja itu tindakan robot, yang tidak dibekali moral dan etika. Sehingga kita tidak perlu menanggapinya.
Selanjutnya, karena pengguna sosial juga tidak hanya didominasi oleh kalangan milenial, akan tetapi juga semua orang, termasuk sosok publik figur di negeri ini. Di sini saya ingin mengingatkan kepada mereka untuk tidak menyampaikan pernyataan-pernyataan yang kontroversial, yang menimbulkan perpecahan, atau mengundang kebencian publik.
Publik figur ini harus mampu menempatkan diri dan bicara hati-hati. Misal ketika berbicara di depan media massa atau berdebat di acara televisi, saya harap tidak ada lagi yang mengedepankan emosi dan marah-marah. Contoh tidak baik diperlihatkan oleh salah satu anggota DPR DRI beberapa bulan lalu, ketika berbicara dengan seorang profesor—tidak perlu saya sebut namanya. Dia menunjukkan etika yang kurang layak dipertontonkan saat itu. Seolah-olah dia lebih hebat dari professor tersebut. Saya berharap hal itu tidak diperlihatkan lagi.
Kami berharap perkembangan teknologi ini tidak merusak cita-cita kemanusiaan yang menjadi jiwa kemerdekaan, sebagaimana dirumuskan dalam sila kedua. Oleh karena itu, penting bagi generasi digital untuk mempraktekkan nilai etis dari sila kedua tersebut, agar tidak hanya menjadi doktrin atau obrolan kosong (Pancasila), yang kemudian membawa kita pada mimpi utopia Pancasila.
Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna menyebutkan bahwa hal di atas senapas dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Pemikiran mereka kebanyakan menukik ke dalam panggilan kemanusiaan. Pada diri Soekarno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotong-royongan. Pada sosok Muhammad Hatta, terjelma personifikasi cita-cita kedaulatan rakyat dan egalitarianisme. Pada diri Tan Malaka, tampak sosok ideal Indonesia yang bebas. Pada diri Sjahrir, terjelma cita-cita Indonesia yang humanis. Pada diri Natsir, terpancar ideal sosok Indonesia yang religious. Begitupun perdebatan mereka pada awal kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang cinta damai sekaligus cinta kemerdekaan.
Maka dari itu, nilai-nilai kemanusian yang terdapat dalam diri kita, penting untuk kita praktikkan dalam hidup berbangsa dan bernegara, yang sudah dilengkapi dengan perkembangan teknologi ini. Sehingga generasi kita (digital generation) ini, tidak terjangkit virus kemunduran etika di era yang terus berkembang ini[].
_________________
*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.


Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital Reviewed by takanta on November 28, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar