Puisi: Sebatas Kenangan



Dialog Akhir Tahun

Selalu ada di sela-sela gerimis yang datang. Kubuka sedikit jendela kamarku ada setangkup  pesan di situ. Kuraih dan kudekap di dadaku, agar mudah untuk kuulangi membacanya. Biasanya aku baca menjelang senja tiba sampai dengan semburatnya musnah. Berganti pekatnya malam. Itulah sebabnya rinai gerimis telah menjeratku pada rindu yang dalam.
Jika gerimis telah menjelma menjadi rinai hujan, aku bersyukur. Itu artinya dia telah berhasil mengaburkan isak tangis dari kamarku ini. Sampai letih dan aku tertidur karenanya. Biasanya rinai hujan akan turun lebih lama dibanding aku menumpahkan airmata.
“Airmata takkan pernah membuatmu bosan,” begitu bunyi salah satu pesan. “Jadi bacalah ulang kapanpun kau ingin.”
“Keluarkan aku dari sekap ini!” kukirim pesan balasan untukmu. Namun bukan jawaban yang kuterima, melainkan hanya topik baru yang aku bahkan tak mampu mengejanya. Hanya kau yang tahu arah dan maksudnya.
“Kemana kau mau? Ke ujung jalan menuju pulang ke rumahmu? Yang pendar cahayanya terang tapi tak menyilaukan? Atau kau mau aku yang menjemputmu lewat cahaya itu?”
Balasan pesanmu membuat isakku menghebat. Menggigil, kuredam tangis. Marahku menjulang setara dengan kesepian mendalam.
“Kau akan lalui di mana malam tahun barumu?”
“Bukan urusanmu! Tapi perlu kau tahu,akan kurobek semua pesan-pesanmu sampai tak berbentuk lagi dan akan sulit bagimu dan bagiku untuk mengingatnya. Aku akan selesaikan puisi yang sempat terbengkalai karena sibuk menterjemahkan  pesanmu selama ini”.
“Kalau begitu selesaikanlah”
Hening…, aku enggan menjawabnya.
Aku marah padamu, terlebih pada diriku.

31 Desember 2019



Kenangan di Majma Malik Fahdli Thibaah
Mushaf Syarif
Madinah Al Mukarommah

Aku memiliki cara yang berbeda dalam menterjemahkan perasaan setelah aku menikmatinya.
Aku percaya cinta selalu menawarkan pemandangan yang indah, bagi mereka yang mampu melihatnya tanpa kacamata hitam.
Dan filosofinya selalu berbisik syahdu kepada mereka yang mampu mendengarnya tanpa menghiraukan nada-nada sumbang yang berseliweran.

Aku tak hanya menyimbolkan cinta dengan memandang lekat dan segala keintiman berlatar belakang area persembahan dan biasan fenomenal semata.
Dimana letupan-letupan itu hanya muncul ketika masih dimabuk asmara.
Menumpahkan seluruhnya di permukaan.
Dan ketika cinta itu telah habis dituang, maka selesailah sudah.
Aku hanya ingin tenggelam dengan filosofinya

Penghujung Oktober 2019



Sebatas Kenangan

Isyarat malam menuntunku untuk segera terlelap.
Tapi bagaimana denganmu?
Bolehkah aku menemuimu sebentar?
Hanya untuk memastikan, ada hangat yang menjagamu di sana.

Dingin yang kau rasakan bisa sengaja datang untuk mengingatkanmu satu hal
bahwa ada aku disini,
yang telah menyiapkan ribuan dekap paling benar,
agar disana kau tidak larut dalam pelukan yang salah.
Tapi akhh, aku lupa, untukmu aku siapa?

Istirahatlah! Aku tau kamu juga lelah.
Mendefinisikan kata "bahagia" cukup banyak menghabiskan airmatamu.
Seperti malam-malam sesak yang kau ceritakan  dulu.
Dan aku diam,
membiarkan airmataku untuk menemani suara serakmu.
Nasibku hanya mampu menjadi cermin bagi segala yang kau rasakan.

Benar, aku tak pernah meminta lebih.
Tapi tak bisakah engkau menghadirkan senyum walau hanya sekedar?
Agar aku tenang berdiam di pojok halamanmu, tanpa harus berpikir bahwa Tuhan menciptakan kita sama.
Ahh.... Sudahlah! Aku memang tak pernah bisa menjadi pantas bagi keindahanmu.
Cukuplah doa mewakili segala perasaan.

Dan sisanya, kuserahkan pada kebaikan Tuhan.
Entah menyatukan,
atau malah melukismu hanya sebatas kenangan

                                                                        27 Oktober 2018



Persekongkolan Angka

di kalenderku
di jam dindingku
di protaku
di promesku
di rppku
di daftar nilaiku
di daftar hadirku
di nota belanjaku
bahkan di slip gajiku
ah…mereka mencurangiku
atau
aku yang mencuranginya
siapa yang tahu
mungkin saja begitu

                                                                        9 Januari 2020



Menunggu bisu

Jika bisa
aku ingin memintamu
untuk ikut mengembara
menjelajah ruang-ruang lukaku
tempatku menyemai benih airmata.

Tapi semua selalu terhenti
kau lebih memilih menyaksikan airmata yang mewakili
mengapa kau suka itu?

Aku juga heran
mengapa aku sanggup menahan
menunggu jawabmu
padahal..
aku telah liar bercerita
di setiap terpaan senja kala

Aku bahkan merasa
telah banyak berbisik di sisa rembulan
tapi kau lebih memilih terpelanting dalam diam
rasanya …
seperti merajah pelangi di pekat malam

10 Januari 2020



Membakar Belenggu

Suatu saat aku ingat
aku pernah membuang waktu
dengan berlari di tempat
Bahkan aku pernah mematahkannya
dengan menyimpan bongkahan api di dada
menjadikanku  menghapus sebagian kesadaran
karena panas teriknya membakar dan membuatku banyak kehilangan
Hampir tak tersisa
kecuali sekelumit desahan
untuk kemudian berlutut
di haru birunya masa yang tidak membebaskan
seperti ungkapan
cinta itu tirani
ketulusanpun terasa berduri
dan membebani jiwa
dia berani membelenggu siapapun yang mencoba melawannya
seperti sedang menggiring menuju lorong pengorbanan yang tak berkesudahan
tapi kali ini aku justru menggilainya

14 Januari 2020


BIODATA PENULIS
Sugi Darmayanti, adalah guru di SMAN 2 Situbondo,sekaligus penyuka puisi .Sesungguhnya hobi menulis puisi telah dimulai sejak lama,tetapi baru tahun 2011 diasah dengan mengikuti blog Kompasiana dengan nama pena Ratna Hermawati. Tiga buku antalogi telah diterbitkan berupa Kumpulan Puisi Cinta (2012),Kumpulan Cerpen Valentin (2013),dan antalogi cerpen yang berjudul Pelangi di Sudut Montana(2019).

Puisi: Sebatas Kenangan Puisi: Sebatas Kenangan Reviewed by takanta on Februari 15, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar