Cerpen - Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima



Perempuan berusia delapan puluh tahun itu tergeletak lemah tak berdaya. Semua itu bermula ketika ia menginap di rumah anak pertamanya yang bernama Arjuna. Dimana perempuan dengan 20 cucu dan 8 cicit itu jatuh dari kamar mandi. Anehnya, dia baru memberi tahu tiga hari setelahnya.

“Mak, telat memberi tahu. Akibatnya ada beberapa masalah di persediannya.” Menantunya yang tukang pijat mendiagnosis.
Perempuan itu hanya memejamkan mata. Bingung berkata apa. Sesaat kemudian, ia mengeluarkan berak dan kencing di balik sampir yang dibelikan anak ketiganya.
“Duh, Mak, kenapa nggak bilang kalau mau kencing. Kan bisa aku antarkan ke ke kamar mandi.” Menantunya sedikit mengomel.
Akhirnya dengan sedikit terpaksa menantunya membawa perempuan itu ke kamar mandi. Lebih tepatnya pakeben istilah orang Madura. Ia siram dan ia bersihkan berak yang menempel di balik bokong ibu mertuanya.
Malamnya, perempuan bernama Kunti itu tidak bisa ngapa-ngapain. Matanya yang sedikit biru karena katarak tidak bisa dipincingkan, sementara tubuhnya yang sedikit bongsor tidak bisa digerakkkan. Cucu kesayangannya dari anak pertamanya itu langsung siaga membelikan pampers ukuran dewasa di toko swalayan berjaringan.
“Terima kasih. Selamat datang kembali.” Sapa penjaga kasir, setelah cucunya membayar lima puluh enam ribu.
Sesampainya di rumah, dengan telatan cucu kesayangnya itu memakaikan pampers. Melawan rasa jijik dan muntahan. Meskipun ia puasa Ramadhan.
“Semua demi, Mak.” Katanya dalam batin.
Waktu terus berdentang. Keadaan Mak Kunti semakin tidak baik. Sementara itu, cucu kesayangannya yang bernama Abimanyu itu harus pergi karena ada acara launching buku di Perpustakaan Kota.
Bisik-bisik tetangga membuat Abimanyu sedikit gugup untuk melangkah menjauh dari rumah.
“Eh, bukannya si Abimanyu itu kan cucu kesayangan ya. Kenapa menginggalkan Mak Kunti disaat sakit seperti ini?”
“Iya, apalagai jika mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Ketika Abimanyu kena muntaber. Duh, Mak Kunti itu dengan telaten membersihkan setiap beraknya.” Seorang tetangga yang lain memberi komentar.
“Sstt. Abimanyu ada di belakang.” Tetangga yang lain menunjuk lelaki yang telah menjadi mahasiswa di sebuah perguan tinggi ternama.
Abimanyu bukannya tak mendengar kata-kata itu, tapi ia sedikit bingung juga. Harus menjawab apa. Semua yang dikatakan tetangganya benar. Seharusnya ia merawat Mak, nenek terkasihnya yang terbaring lemah. Bukan pergi ke acara di Perpustakaan Kota.
Ia bukan tipe lelaki yang narsis bin eksis, ingin dikenal banyak orang. Wajahnya terpampang di koran-koran. Bukan. Bukan itu yang dicari, tapi ia punya tanggung jawab. Tidak mungkin, ia tak menghadiri acara peluncuran bukunya yang telah lama terkonsep. Dan lagian Mak Kunti memiliki lima anak lelaki, lima menantu perempuan, dua puluh cucu dan cicit. Bukankah banyak yang akan merawatnya.
Banyak? Duh, lelaki itu kemudian sadar. Memang banyak anak, cucu, dan cicitnya. Tapi tak semua bisa merawat dan mengasihi Mak Kunti. Bahkan, rasa ketidak-ikhlasan sering timbul. Selain itu, anaknya yang bernama Arjuna, Yudistira, dan Nakula pernah beradu mulut hebat hingga membuat Mak Kunti kelagapan harus memilih yang mana.
Meskipun Mak Kunti tak memiliki banyak harta, sawah, ataupun hal lainnya. Tapi, perilaku lima anaknya yang kemudian ia juluki Pandawa Lima sangatlah berbeda, anak pertamanya yang benama Arjuna yang tak lain adalah orang tua Abimannyu itu tak terlampau kaya, namun cukup memiliki uang untuk menghidupi kebutuhan. Anak kedua bernama Yudistira memiliki karakteristik iri hati, bahkan ia juga dikenal memiliki ilmu hitam. Hal tersebut terbukti dari beberapa kali ia mencoba merusak kehidupan Arjuna dan Nakula. Misalnya, memberi patok kuburan di rumah Arjuna atau kembang di mobil pick-up milik menantu Arjuna. Bukan cuma itu, diam-diam Yudistira telah menyuruh dukun untuk merusak perekonomian Arjuna.
Memang ini bukan cerita tentang Pandawa Lima dari India yang memiliki karakter berbeda. Jika mereka melawan Kurawa, tapi Pandawa Lima yang berasal dari belahan bumi lainnya yang harus melawan keluarganya sendiri.
Kembali ke fokus, anak ketiga bernama Bima. Bima memiliki istri seorang tukang pijat, ia tak banyak cakap. Tapi juga bersifat iri hati. Terutama pada Abimanyu―cucu kesayangan Mak Kunti. Hal ini, terlihat ketika Abimanyu yang dirawat Mak Kunti, sementara ketika anak Bima sakit. Mak Kunti selalu mengeluh sakit juga. Tak pernah terlihat dari kacamatanya.
Anak keempat bernama Sakula memiliki bisnis yang sama dengan Arjuna. Kekayaannya lumayan. Hal inilah yang membuat Yudistira memiliki sifat iri padanya. Dan yang terakhir bernama Sadewa. Sudah menjadi rahasisa umum, jika anak bontot atau ragil akan menjadi kesayangan orangtuanya. Tapi, di balik rasa sayang tersebut. Sadewa memiliki sifat yang tak baik. Hal tersebut dilihat ketika ia mencoba menggoda keponakan Arjuna. Sontak Arjuna bereaksi, memaki, dan mengumpat.
Arjuna tak rela jika keponakannya yang telah menjadi sebatang kara itu dinodahi oleh siapapun termasuk adik bungsunya sendiri. Dan selain rasa sakit karena jatuh dari kamar mandi. Mak Kunti juga memiliki beban psikis, mengingat ia mendengar umpatan Arjuna kepada Sadewa.
Duh, hidup begitu pelik dengan banyak hal yang tak diketahui dan diharapkan. Orang-orang begitu mudah memasang muka ikhlas, meskipun di baliknya ia menggerutu.
Pikiran Abimanyu kini mulai bingung. Kakinya memang telah tiba di halaman parkir Perpustakaan Kota. Tapi, wajahnya tak cerah. Sebagai penulis yang baru naik daun, dia memang selalu begitu. Lebih tepatnya untuk membuat ekspresi tokoh masuk dalam kehidupannya. Tapi, kali ini berbeda. Ini bukan soal naskah. Tapi soal masalah rumah yang tak tahu kapan menemukan jalannya.
“Itu Abimanyu sudah datang.” Sambut temannya yang telah menunggu.
Sejurus kemudian, Abimanyu mengganti baju yang sama dengan beberapa teman komuntiasnya itu. Kini, pikirannya tak lagi buntu. Ia pun serius dengan acaranya, diskusi interaktif pun berlangsung sukses. Bukunya yang berjudul Pledoi Pandawa Lima itu langsung banyak dipesan oleh beberapa peserta diskusi.
*
Maghrib tiba. Pikiran Abimayu kembali buntu. Entah, mengapa ia seperti merasakan sesuatu telah terjadi. Wajah Mak Kunti yang kesakitan membekas dalam pikiran. Ada apa ini? Ia mulai bingung.
Dan dengan tanpa ba-bi-bu, ia pun langsung minta diri kepada beberapa temannya untuk pulang terlebih dahulu. Dan memang benar adanya, Mak Kunti kini begitu lemah. Infus baru dipasang oleh sepupu Abimanyu yang telah menjadi perawat.
Duh, Robbi. Lebih baik aku yang menanggung sakit. Ketimbang melihat Mak. Katanya dalam batin. Beberapa bulir air mata hadir dalam wajah tirusnya.
Tes! Tes! Lelaki tak boleh cengeng, motivasinya dalam hati.
*
Pagi yang sama Mak Kunti bertambah tak berdaya. Apalagi hanya infus yang menjadi makanannya selama semalam. Kondisinya bertambah payah. Abimanyu yang tidur di dekatnya pun segera menelpon kakak iparnya untuk membawa Mak Kunti ke rumah sakit terdekat. Dan benar saja, setelah dua hari di rumah sakit. Mak Kunti bertambah baik, meskipun ia harus tetap membuang berak dengan menggunakan pampres.
Sementara itu, di rumah istri dari Yudistira berontak.
“Coba Mak ditaruh di sini. Akan aku rawat.” Ia mulai menyobangkan diri.
Sayang, yang ada di dekat rumah Yudistira adalah Abimanyu, semua orang di rumahnya telah di rumah sakit. Bergantian menjaga Mak Kunti. Abimanyu ingin menyela perkataan Buklik dari Yudistira. Tapi, ia masih menjaga tata krama yang telah lama diajarakan keluarga. Tak baik beradu mulut dengan orang tua.
Ah. Padahal tak selamanya orangtua itu benar ada waktunya mendengarkan perkataan anaknya.
Abimanyu hanya diam dan merekam setiap umpatan dari Buklik Yudistira. Seandainya, aku perempuan dan banyak cakap sudah kusumbat mulut perempuan itu.  Kata Yudistira dalam hati.
Duh!
Gila!
Hanya bisa berkata tanpa diiringi bukti dan tindakan!
Abimanyu mengumpat-ngumpat di balik kamar mandi. Umpatan yang sama dengan nada tinggi juga dilakukan oleh Buklik Yudistira.
Hawa semakin panas. Akhirnya, Abimanyu mengeksperiskan kekesalannya pada sebuah shower di dalam kamar mandi. Ia pun memendam masalah itu, tapi ketika bertemu ibunya ia segera menumpahkan kekesalannya.
Ibu Abimayu yang tak lain istri Arjuna pun bereaksi. Ia langsung memaki istri Yudistira. Tak ada sedikit pun sanggahan.
Istri Yudistira kalah telak. Suasana panas langsung terjadi di sekitar rumah Mak Kunti.
*
Hari ketiga di rumah sakit, Mak Kunti telah keluar. Dan ia pun ingin tinggal di rumah Nakula. Di rumah Nakula ia dirawat dengan sabar oleh istri Nakula. Namun keadaannya tidak membaik, dan lebih jauh itu.
Anaknya yang bernama Bima tiba-tiba berontak.
“Makanya Mak, cucumu banyak. Kok cuma Abimanyu yang disayang.” Suara Bima menggelegar bak petir di temaram malam.
“Gimana Mak? Enak rasanya sakit tapi tak semua anaknya merawat. Makanya, jangan pilih kasih.” Yudistira menambahi.
Sejurus kemudian, anak dan istri dari Yudistira serta Bima berkumpul di depan rumah Nakula mereka pun berontak kepada Mak Kunti yang baru keluar  dari rumah sakit. Pertarungan kata-kata dan longlongan seegera teraih. Dan kini Mak Kunti memiliki beban yang teramat pedih.
Sudah sakit tertimpa umpatan anak pula.
Nakula dan istrinya pun langsung menjawab umpatan kedua kakaknya itu. Selain itu, Arjuna, istrinya, dan para anaknya juga hadir membantu Nakula. Mak Kunti mencoba berjalan menghentikan peperangan mulut ini.
Namun, sayang. Ia kembali terjatuh setelah tubuhnya menyenggol salah satunya cucu dari Nakula. Mak Kunti pingsan. Dan kakinya yang kembali sakit.
Abimanyu yang baru tiba di tempat kejadian perkara kebingungan. Ia berteriak histeris. “Puas kalian, dasar anak-anak Jahanam!” umpatnya.
Entah bagaimana selanjutnya kabar dari Mak Kunti. Saya sebagai penulis tak tahu. Karena ending-nya tak menghadarikan suprise.
Situbondo, 13 Februari 2018 Jam 11:34 lewat beberapa detik.

Biodata Penulis
GustiTrisno. Aktif menulis cerpen, puisi, novel, dan resensi. Penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo ini lahir di Situbondo pada tanggal 26 Desember 1994. Setelah menyelesaikan pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jember, kini ia menjadi guru Bahasa Indonesia di Yayasan Pendidikan Ponpes Nurul Islam Jember. Ia pernah menjadi juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016. Bukunya yang telah terbit Museum Ibu (Kumpulan Cerpen, Ae Publishing) dan Ajari Aku, Bu (Kumpulan Puisi, Penerbit FPPS), serta tulisan lainnya  dalam bentuk cerpen dan essay yang dimuat di beberapa media. Ia bisa dihubungi di Facebook: Gusti Trisno, E-mail: gusti.trisno@gmail.com atau telepon: 085330199752.


Cerpen - Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima Cerpen - Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima Reviewed by Redaksi on April 22, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar