Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri



Barangkali ini  mungkin terasa aneh. Aku adalah seorang santri lama di pondok yang berada di belakang Pabrik Sarung pinggir jurang ini. Namun tak banyak ilmu yang aku tahu hingga kini. Dan masih banyak lagi pikiran-pikiran yang merusak tempurung otakku. Begitu banal dan membuatku semakin kesal.

Aku tidak tahu dari mana pikiran macam ini datang: kesialan selalu datang tanpa disangka-sangka. Siapa tahu, entah karena angin badai atau mendadak tanah di bagian tepi jurang ini ambrol, pada akhirnya aku jatuh dan hancur lebur di bawah sana?
Pikiran-pikiran penyesalan telah memenuhi otakku yang kosong. Pikiran bahwa aku telah tersesat mungkin terdengar lucu. Tapi sungguhlah ini yang terjadi. Aku mungkin telah jauh terjatuh dalam lembah kebebalan yang amat curam. Hingga mataku amat temaram, juga kulitku jika kau lihat tampak begitu legam.
Namaku Darkum, santri tahun kelima di pondok ini di samping menjadi salah seorang siswa di sebuah SMA.  Dahulu sekali sebelum memutuskan untuk berhijrah dari rumah menuju pondok, aku adalah anak yang terkenal pandai di desa. Dan itu adalah sewaktu masih SD di sekolah kecil pinggir desa. Aku sangat menyukai ilmu-ilmu sains. Walaupun jika ditilik, anak seusia itu belum tentu mengerti apa itu sains. Aku pernah bercita-cita menjadi seorang ilmuan yang menemukan barang-barang berharga di masa depan. Tapi mimpi itu tampaknya akan kukubur hidup-hidup bersama otak yang semakin radikal. Waktu memang jahanam dan mimpi-mimpi kelewat kejam. Harap yang dulu pernah tertanam kini gugur satu persatu. Aku sekarang telah menyerah dengan segala gundah yang tak pernah mau untuk mengalah. Ejekan dan tekanan telah mengubah jiwaku, persepsiku, dan tentu saja harapanku. Aku sekarang menjadi semacam remah-remah sepah yang telah hilang arah.
Tekanan dan ejekan telah menggiringku dalam lembah kemalasan. Aku telah menganggap diriku bodoh dan tak ada gunanya untuk belajar.
“Buat apa belajar, kalau ujung-ujungnya tetap sama. Bodoh!” gerutuku dalam bisu.
Senja ini adalah hari di mana para santri dikumpulkan untuk mengaji tentang materi kepenulisan. Pelajaran yang aku anggap sebagai beban dan sebagian dari tekanan. Perlu diketahui bahwa aku anak pemalas tingkat atas, tak mau belajar sama sekali. Dinasehati masuk telinga kanan, direnungkan keluar telinga kiri.
Semua santri telah sibuk menghadap  PC dan Microsoft Word-nya masing-masing. Mereka semua telah memoles tulisannya agar tampak bagus di hadapan Kiai Agus. Cerpen-cerpen karya mereka telah menyibukkan panitia Sayembara Cipta Cerpen. Ada sebagian yang sederhana seperti milik Radhitya, dan ada yang tampak sempurna seperti milik Kak Chatrina. Semua terkumpul di laman email panitia.
Sedangkan aku, hanya bisa menatap PC dengan melongo Tak ada ide yang dapat dituangkan sebagai modal membuat tulisan. Aku pasrah, tak tahu lagi jalan untuk memantik kreatifitas dalam otak. Aku tak menulis satu huruf pun, walau aku tahu lomba itu bersifat wajib bagi setiap santri. Dan aku pun tahu bahwa dalam setiap perbuatan pasti memiliki konsekuensi.
Benar saja, seperti dugaanku karena tak mengumpulkan cerpen sendiri aku dipanggil ke kantor untuk menghadap Kiai Agus. Kiai yang sangat berkharisma. Beliau seperti memiliki daya magis tersendiri ketika seseorang menatapnya. Rasa sungkan dalam dada tak dapat lagi untuk ditahankan.
Walaupun aku termasuk santri yang nakal dan pemalas tetapi aku selalu bertanggunng jawab dan memiliki rasa hormat kepada orang lain, utamanya orang yang telah membimbinng duniaku. Karena walau bagaimanapun mereka adalah oranng yang menciptakan indah dunia kita.
Dengan hati dag, dig, dug kuberanikan langkahku menuju kantor pondok. Di sana aku telah ditunggu oleh Kiai Agus yang sedang membaca kitab dengan seksama. Walau dikenal sebagai kiai yang arif dan bijaksana, sebenarnya masih ada  rasa takut dalam hatiku membayangkan ketika bakal dimarahinya.
Setelah aku mengucap salam di  gawangan pintu kantor. Aku langsung dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Di hadapanku Kiai Agus tersenyum dan langsunng menanyai masalahku. Hal ini membuat kecemasanku sedikit reda.
“Kum, apa masalahmu sehinngga benci untuk menulis?”
“Tidak ada sebenarnya, Kiai. Tetapi ada masalah dengan motivasi saya untuk mau belajar. Saya telah sasar dalam dunia yang samar. Saya berpikir tentang apa gunanya belajar. Toh, sekeras apapun saya belajar, saya akan tetap menjadi bodoh.” curhat colonganku.
“Tapi Kum, belajar itu adalah sebuah keawajiban. Belajar menjadi kewajibanmu semenjak kamu dilahirkan hinngga sampai nanti kamu dikuburkan.”
Deg, dhawuh Kiai Agus tersebut telah membuat hatiku bergetar. Lamat-lamat mulai membuka celah otakku untuk berpikir jernih. Aku sadar tentang kewajiban belajar, dan takut menjadi pendosa ketika salah memilih jalan yang sasar.
Nggih, Kiai,” tidak sengaja mulutku bergetar mengucap kalimat itu.
“Tapi bagaimana cara saya agar dapat menulis dengan baik?”
“Menulis itu tidak jauh berbeda dengan berkesenian, semua membutuhkan proses. Di dalamnya harus ada karya, karsa, dan cipta yang melebur agar menciptakan sebuah karya yang baik dan membaur.”
Lagi-lagi pesan Kiai Agus telah membuat mata batinku terkesima.
Setelah beberapa dialog yang menenangkan jiwa usai. Kiai Agus mengahadiahkan sebuah buku  klasik milik pribadinya. Kalau dilihat dari sampulnya, itu adalah Kitab Mu’allaqat. Sebuah kitab syair pra-Islam yang begitu fenomenal di masanya. Aku bingung mengapa aku diberi kitab itu. Padahal aku telah melakukan kesalahan.
“Ini le, kamu bisa belajar tentang bagaimana tulisan yang baik itu. Banyak tulisan yang indah terangkum dalam kitab itu”
Matur nuwun, Kiai,” jawabku dengan penuh keta’dhiman.
Setelah diberi kitab tersebut aku diberbolehkan keluar dari kantor dan langsung menuju kamarku. Di sana kitab itu langsung saja aku buka, sepertinya ada banyak kisah di dalamnya yang membuatku semakin penasaran. Lembar demi lembar kubaca, kurapal satu persatu seperti para pendoa yang mengucap ritus mantra.
Seperti ada desiran dalam hati ketika membaca kitab ini. Aku  jadi tertarik untuk menulis seperti syair-syair yang ada didalamnya. Dan ini petama kalinya ada niatan dalam hatiku untuk merangkai  kata.
Sehabis mengaji malam di serambi masjid. Aku langsung menuju kamarku dan mulai menyalakan laptop pemberian ibuku. Kemudian, aku menuju dapur untuk melakukan sebuah ritual. Ritual kopi aku menamainya. Seperti terdengar berlebihan, tapi inilah kebiasaanku yang aku lakukan ketika belajar. Menyeduh kopi hitam dan menyeruputnnya secara perlahan.
Dengan ditemani kopi aku mulai menulis cerita. Aku mulai  mengetik huruf demi huruf yang muncul begitu saja di otakku. Aku berusaha jujur dalam menuangkan isi otakku. Seperti dhawuh Kiai Agus, bahwa menulis adalah sebuah kejujuran. Karena sekarang ini kejujuran menjadi salah satu nilai moral yang amat mahal, sebuah karakter yang sulit dijaga kelestariannya.
Tetapi ketika aku mulai mendapatkan rasa dari ceritaku.  Tiba-tiba gangguan datang.. Gangguan itu datang dari Kang  Kasanun, santri terpandai di kamarku. Tetapi sifatnya yang sombong itu, yah minta ampun.
“Hei, hei, hei. Darkum menulis, apa kata dunia? Apa benar kau sudah bias nulis, Kum? Yang aku tahu kau ini anak bodoh dan pemalas. Apa aku nggak salah lihat?”
Ejekan Kang Kasanun itu membuat telingaku semakin panas. Susah payah aku berusaha mengubah citra. Eh, malah diejek seenaknya.
“Iya, Kang. Ini aku masih tahap belajar, mohon dukunganya,” jawabku sambil menahan emosi.
Ah, aku berpikir bahwa ejekan dan tekanan orang-orang tak akan mengubah diriku sama sekalii. Dan satu-satunnya entitas yang dapat mengubahku adalah aku sendiri. Aku tak peduli dengan cercaan orang, yang penting aku tetap berusaha menoreh juang. Karena aku adalah aku, makhluk Tuhan yang telah dikaruniai akal sehat guna berpikir untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sampai larut malam aku menulis cerpen yang akan kukirim untuk lomba cerpen ini.  Karena panitia memperpanjang waktu pengiriman naskah hingga malam ini. Kukebut tulisanku dengan berbagai kekurangan yang ada. Dan sampai pada akhirnya tulisanku selesai juga. Dengan buru-buru langsung saja aku kirim karyaku ke alamat email panitia tanpa sempat aku mengoreksinya.
Alhamdulillah, akhirnya aku dapat berkarya walaupun belum seberapa dibanding orang-orang di luar sana. Setidaknya aku telah berhasil mengusir kemalasanku denngan kerja keras yang tanpa batas. Sekarang aku sadar bahwa tak ada usaha yang sia-sia. Sebuah usaha pastinnya akan menumbuhkan kepuasan tersendiri di benak orang yang mau berusaha. Dan lagi, semangat belajarku kini tambah semakin berapi-api.
Mungkin saat ini tulisanku sedang dibaca salah seorang juri. Ini adalah tulisanku yang masih lugu, sebuah opini kejujuran tentang keadaan. Tulisanku mungkin tidak bagus, tapi setidaknya aku sudah menulisnya dengan tulus. Karena seperti diajarkan salah seorang guruku di SMA, bahwa menjadi penuntut ilmu itu harusnya selalu melaksanakan nilai-nilai yang yang terkandung dalam karakter bangsa. Yang aku pernah dengar, di antaranya adalah jujur, sopan, menghormati, kerja keras, dan bertanggung jawab. Setidaknya aku sedikit banyak telah mengamalkannya.
Tetapi, dengan selesainya tulisanku ini. Apa iya aku telah begitu mafhum dengan dunia menulis? Apakah aku telah cukup puas dengan bekal ini? Sepertinya tidak sama sekali. Masih banyak yang harus aku pelajari, masih banyak yang perlu digali. Banyak kekosongan dalam otakku yang perlu diisi. Dan perenungan-perenungan terus bertumbuhan. Menanti harap di masa depan. []

Bioadata penulis
Ahmad Radhitya Alam, Siswa SMA Negeri 1 Talun dan penggiat FLP Blitar.

Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri Reviewed by takanta on April 15, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar