Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ



Sebulan yang lalu saya berkesempatan menonton sebuah pementasan di Teater Salihara  yang bagi saya menarik untuk dituliskan. Hal yang menggugah saya untuk menulis pengalaman ini adalah bagaimana proses menuju pementesan itu dan apa yang saya rasakan selama pementasan, sangat berkaitan erat degan apa yang saya pelajari sebagai mahasiswa Antropologi.
Adalah pementasan dengan naskah yang diadaptasi dari naskah asli, karangan Serafin dan Joaqun Alvarez Quintero yang berjudul, A Sunny Morning, yang dipentaskan malam itu. Naskah ini kemudian diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, penyair yang saya anggap banyak menginspirasi saya, dengan judul terjemahan Pagi Bening. Naskah ini dibawakan oleh Padepokan Madura yang berasal dari Sumenep.
Adaptasi naskah ini  menceritkan Nyai Misbah dan Kae Maskat yang dulu sebenarnya pernah menjalin asmara. Kae Maskat adalah putra Kiai di Sumenep yang dijodohkan dengan Nyai Misbah, seorang yang berasal dari keluarga biasa. Mereka berdua sudah dijodohkan sejak Nyai Misbah dalam kandungan. Kebetulan mereka memang saling cinta walaupun dijodohkan. Namun, suatu saat Kae Maskat harus berangkat perang melawan agresi Belanda di Suarabaya, bergabung dengan pasukan lain. Jadilah Nyai Misbah menunggu lama kekasihnya yang tak kunjung pulang. Dan akhirnya orang tua Nyai Misbah terpaksa menikahkan putrinya dengan orang lain, karena takut anaknya menjadi perawan tua.
Sore hari sebelum malam pementasan, teman saya yang berasal dari Jember menghubungi dan mengatakan akan ada pementasan di Teater Salihara oleh Padepokan Madura. Awalnya saya menolak. Namun teman itu memaksa dan kebetulan saat itu saya tengah gabut, akhirnya saya mengiyakan ajakan itu. Yang menarik saat saya tanyakan kepadanya, mengapa hanya saya yang dia ajak menonton pertunjukan tersebut, mengapa tidak juga mengajak teman lain untuk menonton, ia menjawab “ye pas engko’ tao sè tampil Padèpokan Madhurè, engko’ langsong ènga’ be’en, polana madhurâ.”
Kami tiba di tempat kira-kira lima belas menit sebelum open gate. Sambil menunggu, saya duduk merokok sejenak. Lalu, tiba-tiba teman saya  berbicara kepada saya dengan Bahasa Madura, dengan nada sedikit keras, seolah-olah saya menangkap kesan, dia ingin suaranya juga didengar oleh orang di sekitar.

“Jhâ’ nying-ranying rapa, jhâ’ engko’ ta’ kopok,” kata saya.
“Dhina, molè rèng laèn tao jhâ’dinna’ Rèng Madhurâ, mi’pola bisa kenalan sesama seniman Madhurâ,” begitu kata dia.
Sepuluh menit kemudian, pintu dibuka. Kami pun masuk ke gedung pertunjukan. Tak lama setelah kami duduk, pembawa acara masuk dan membacakan beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh penonton selama pertunjukan dihelat.
Selamat menikmati, silah pembawa acara setelah membacakan peraturan.
Tak lama kemudian saronen dengan suara sengaunya membelah kuping saya dan seisi ruang yang sesaat sebelumnya masih sunyi. Lalu, hentakan gendang khas Madura dan suara cempreng salah satu pemain yang menyanyikan lagu khas Madura menyusul. Tiba-tiba, seakan ada yang membuncah di dada saya, ada yang sesak di dada saya, ada yang kemudian memaksa memaksa air mata saya melipir di pojokan mata, entah itu apa. Saat itu, saya tidak tahu perasaan macam apa ini?
Dalam adegan awal, Nyai Misbah berdialog dengan salah satu cucunya, yang meminta uang. Dalam pertunjukan ini si cucu tidak berwujud aktor, namun dihadirkan dalam imajinasi. Sehingga Nyai Misbah hanya bermonolog seakan-akan berbicara dengan cucunya.
Ghi’ kèni’ la minta pessè malolo
Apah? Ghebey mellè sapè
Saya pun tersenyum geli mendengar monolog itu. Saya jadi teringat dengan kakek saya di Situbondo yang sejak dulu beternak sapi dan setiap Sabtu pergi menggunakan truk ke sattoan (pasar hewan setiap hari Sabtu).
Kemudian, saya semakin tertawa terpingkal-pingkal mendegar dialog di adegan-adegan berikutnya. Misalkan, saat adegan Kae Maskat menyuruh cucunya, Junaidi, untuk membuat kopi. Adegan itu persis seperti adegan saya dan mbah saya: mbah yang bawel dan cucu yang menggerutu.
Cong kopi cong
èngghi…
Cong ai…
èngghi, engkèn kade’
Cong kopi cong ai mak…(kali ini dengan sedikit membentak)
Beh engghi engkèn kaade' ghi’ è gheluy (kali ini dengan jengkel)
Atau dalam dialog lain saat Kae Maskat menyuruh Junaidi untuk melintingkannya tembakau. Junaidi dengan jengkel menjawab:
Bhuh jhâ’ la toa, ghi’arokok
Hampir di setiap adegan, saya dan teman saya selau tertawa. Padahal ada beberapa kalimat yang tidak lucu setelah saya pikir-pikir. Mungkin, tertawa saya lebih seperti kepada kekaguman atau kebanggan: Kok ada kalimat-kalimat itu atas panggung, di tengah masyarakat Jakarta. Bahkan, saya dan teman saya seakan-akan sengaja tertawa dengan agak keras dan seakan-akan ingin mengumumkan pada publik di situ, ya engko’ rèng madhurâ. Uniknya lagi, dalam kegelapan di tribun penonton, tertawa seakan mempertemukan saya dengan sesama Rèng Madhurâ. Dalam kegelapan itu saya merasa rasa ke-maduraan saya bangkit, walaupun saya tak dapat melihat siapa yang tertawa itu? Duduk di sebelah manakah dia? Perempuan atau laki-laki kah? Tapi yang jelas saya merasa ada rèng madhurâ di sana. Saya menjustifikasi bahwa yang tertawa hanya orang Madura.
Sesaat setelah pertunjukan usai, saya mulai berpikir. Mengapa identitas saya sebagai Orang Madura menguat? Padahal Saya tidak begitu familiar dengan musik tong-tong dan saronen, begitu juga dengan lagu yang dibawakan yang baru kali itu saya dengar. Hanya ler-saaler yang agak familiar dengan saya. Apalagi semenjak kecil, saya dibesarkan di kabupaten Situbondo, Kabupaten yang ada di Pulau Jawa, bukan di Pulau Madura. Kalau kata orang: Madura-nya, madura swasta. Belum lagi, saya bukan dibesarkan di pedesaan Situbondo yang mungkin tradisinya masih kental dan mirip dengan yang ada di Pulau Madura. Sebaliknya, saya dibesarkan di daerah kota yang kadar ke-urbanan-nya lebih tinggi dan terlahir dari ibu Jawa. Tapi, mengapa saya merasakan bahwa itu semua: musik tor-tor dan suara cempreng pemain itu adalah saya: sebagai Orang Madura? Padahal saya tidak familiar dengannya.
Dan mengapa saya dan teman saya menonjolkan identitas kemaduraan saya dengan bangga? Padahal di Situbondo, perasaaan yang muncul tidak semenyeruak itu, kerinduan dan romantisme yang saya rasakan tak se-sensasional saat  itu? Atau rasa kebermilikan saya terhadap Madura tidak sedahsyat itu?
Saya baru tersadar bahwa apa yang saya alami adalah fenomena etnistas yaitu, menguatnya identitas etnik dan pengartikulasiannya. Di situlah saya menemukan bahwa sebenarnya menguatnya identitas etnik menyoal tentang situasi kontak sosial yang di dalamnya terlibat orang dengan kebudayaan yang berbeda. Artinya, menguatnya identitas ke-madura-an saya sangat berkaitan erat dengan siapa saya berinteraksi. Dalam konteks ini, saya tengah menonton pertunjukan di tengah penonton, yang saya asumsikan berasal dari berbagai daerah dengan kebudayaan yang berbeda dari saya.
Saat kita berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen, kita akan menggali jati diri kita. Dengan kata lain, lingkungan yang heterogen itu akan mengkontraskan siapa diri kita sebenarnya. Itu alasannya mengapa etnisitas saya sebagai orang Madura tidak semenguat saat itu di Situbondo, saat berinteraksi dengan sesama Orang Madura.
Akhirnya, dari pengalaman dan refleksi, saya agaknya setuju dengan quotes anak indie yang berbunyi: merantaulah untuk tahu makna pulang. Karena dengan merentau dan pergi ke zona yang sama sekali berbeda, kita akan tahu identitas manakah yang kita anggap sebagai rumah dan oleh karenanya kita harus pulang kepadanya.

*Ahmad Maghroby Rahman adalah Mahasiswa yang tengah mempelajari Antropologi yang berasal dari Cappore (kaporan) Situbondo. Sedang giat menulis apapun, puisi terutama. Jomblo dan jika nanti datang waktunya, akan menjadi suami setia

Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ Reviewed by Redaksi on Mei 15, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar