Lebaran dan Dua Kepergian

pixabay


Suara kembang api meletup di udara. Ia memecah sunyi pasca Magrib. Seketika suasana menjadi ramai. Anak-anak kecil, remaja, dan orang tua melantangkan takbir di surau-surau dan masjid. Sementara di jalan, takbir digaungkan di atas truk dan pickup yang melaju beriringan. Bergantian. Bersalip-salipan. Lebaran telah tiba.
Allahuakbar. Atas kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa saya tiba di lebaran tahun ini. Setelah melewati ramadhan ke-26 saya selama hidup. Dengan keadaan sadar dan sehat. Takdir ini, sepantasnya saya syukuri. Karena tidak sedikit orang selain saya melewati ramadan dengan suasana yang tidak cukup baik: sakit di rumah sakit, berada di tanah rantau, kecelakaan di jalan, sampai kehilangan. Kematian. Sebagaimana orang tua di Palestina yang kehilangan anaknya karena memilih jalan martir untuk bangsanya. Atau yang terdekat, kepergian Ibu Ani Yudhoyono lima hari sebelum lebaran. Alfatihah.   
Perihal kepergian, kita semua sama. Mengalaminya tanpa persiapan yang cukup, karena sering kali tiba dengan tiba-tiba. Dua lebaran terakhir, saya harus kehilangan dua orang yang sangat, dan selalu saya sayangi. Pertama, Kakek kandung saya. Jeritan nenek memecah jam tidur saya dan orang tua saya di sepertiga pagi. Satu setengah jam sebelum subuh. Di hari Jumat. Seketika saya, ibu, bapak, dan adik terperajat dari tempat tidur lalu tergopo-gopo ke rumah nenek yang hanya dibatasi gedung yang sama dengan pintu samping terhubung langsung ke rumah nenek.  Di atas tempat tidur, kakek terbujur kaku. Matanya terpejam, tangannya bersedekap, tubuhnya hangat. Di samping tempat tidur kakek, nenek bersimpuh. Sambil mengelus-ngelus rambut kakek, nenek merapal maaf dengan lirih untuk kakek.
“Eppa’na, tade’ la, Yam. Eppa’na tade’ laaa...”
Bapakmu meninggal, Yam (panggilan ibu saya), Bapakmu meninggal...”,ujar nenek yang pipinya berlinang air mata. Ibu memeluknya. Saya dan bapak membacakannya surat yasin dan doa agar kakek berangkat dengan tenang.

Saya dan keluarga tidak punya firasat apa-apa tentang kepergian kakek. Karena malam Jumat itu, semuanya masih baik-baik saja. Kakek masih sangat bugar. Selesai makan malam yang sangat sederhana, bapak, ibu, nenek ngobrol di ruang tamu. Sementara  Saya, adik, dan kakek nonton bola bareng di SCTV. Saat itu Timnas Indonesia U-23 main melawan Timnas Suriah U-23. Pertandingannya seru. Saling berbalas gol. Tapi skor akhirnya 2-3. Indonesia kalah. Pertandingan selesai, nonton tv-nya selesai. Kakek pergi ke kamarnya lalu tidur dan tidak pernah bangun lagi. Kami melewati ramadhan 1439 Hijriyah dengan perasaan sesak-sedih karena kepergian kakek.    
Kedua, tiga bulan sebelum lebaran tahun ini, saya harus menerima kepergian lagi. Kepergian yang sangat menyesakkan. Dada saya seolah dihantam ombak besar yang seketika itu saya melihat diri saya sendiri terhempas jauh dari perempuan itu. Perempuan yang di beranda rumahnya saya memasang cincin di jari manisnya, lalu diajak penghulu mengucap janji bersetia padanya sehidup dan jelang ajal itu, memilih mengakhiri perjalanan.  Perjalanan yang hanya memakan waktu enam bulan. Singkat. Sangat singkat. Jika itu usia mengandung, maka belum lah siap dilahirkan. Meskipun Anda tidak sabar dan terburu-buru melihat buah hati itu lahir. Ya, seperti angan-angan melihat buah hati lekas lahir itulah segalanya berakhir. Tergesa-gesa. Akhirnya, saya harus mengubur dalam-dalam keinginan mengabiskan ramadan dan lebaran pertama bersamanya.
Saya sangat terpukul. Meratapi kenyataan bahwa saya dan dia harus berpisah. Saya pulang ke rumah orang tua saya. Di kamar saya mengurung diri beberapa jam. Saya mengingat lagi apa saja yang sudah dilewati berdua dalam durasi pernikahan yang singkat itu. Air mata saya jatuh. Tapi saya cepat sadar, tidak ada alasan lagi untuk saya mengeluarkan air mata itu berlaut-larut. Bahwa kesedihan ini memang harus segera diakhiri. Meskipun sangat berat dan panjang. Maklum, perkenalan saya dan dia dimulai dari bangku sekolah menengah pertama. Saat guru bahasa Indonesia tiba-tiba menjadi pak comblang yang ulung. Karena berhasil memasangkan beberapa teman satu sekolah hingga jenjang pernikahan, termasuk saya dan dia.  Karena itu, saya bisa menghitung kisah-kenangan yang harus dipensiunkan itu perlu waktu yang tidak sebentar. Dan saya harus siap.
                                                                       ***
Kepergian seringkali datang tanpa janjian. Orang yang kita sayangi: bapak, ibu, adik, kakak, saudara dan kawan ngopi tiba-tiba pergi dan tiada. Padahal masih terlihat sehat dan bugar. Atau suami, istri memilih berpisah padahal masih saling  mencintai. Kita bisa bersedih, berduka, menyayangkan dan mengutuki kepergian itu. Tapi itu bukan jalan terbaik. Karena hanya berakhir penyesalan juga.
Beruntung manusia punya doa, yang padanya setiap harapan diselipkan dan disampaikan dalam senyap. Ketika semua ikhtiar sudah dikerahkan untuk menahan kepergian, maka mendoakannya adalah jalan terakhir yang paling masuk akal.      
Sebagaimana penggalan puisi yang ditulis Chairil Anwar:
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
...........

Mohammad Farhan, tinggal di Situbondo. Penggiat Literasi Sumberanyar.



Lebaran dan Dua Kepergian Lebaran dan Dua Kepergian Reviewed by Redaksi on Juni 07, 2019 Rating: 5

1 komentar

  1. Biarkanlah cinta tinggal cerita,
    Cobalah tegarkan diri seperti semula.

    Tatap masa depanmu dengan penuh ceria
    Tinggalkan cinta dan kemudian atur langkah.
    Dan yakin setiap uji itu akan membuatmu semakin dewasa. Be strong bradaa

    BalasHapus