Cerpen : Tarian Hujan

unsplash

Aku ingin melihat hujan. Aku ingin menari ketika hujan turun. Sudihkah Tuhan menurunkan hujan hari ini untukku! Batinku menggerutu berharap  hujan akan turun dan aku bisa menari di bawah guyuran air hujan.
Kalau kalian tanya, kenapa aku suka hujan? Entahlah, aku juga bingung untuk menjawabnya. Namun, ketika hujan itu turun ada getaran halus tentang ingatan akan masa lalu, masa kecil ketika hujan turun, tentang tarian-tarian hujan yang sering ibu ajarkan padaku. Lalu aku tarikan bersama teman-teman kecilku.
Aku teringat akan sebuah tarian hujan yang diajarkan oleh ibuku ketika waktu kecil dulu. Ketika  duduk di kelas 3 SD.  Ibuku pernah menjadi bagian penari hujan. Aku melihat begitu rumit persiapan yang harus dilakukan ibu sebelum menarikan tarian hujan.  Ketika ibu menari harus menggunakan sebuah mahkota yang dihiasi setangkai kecil daun beringin, setangkai padi dan bunga sanggar sejenis tanaman perdu.  Tiga hari sebelum hari pelaksanaan, ibu tidak diperkenankan untuk memakan makanan yang diolah hanya memakan buah-buahan. Ibu menari sesuai irama, mata terpejam, kaki melayang dan berputar. Semua orang yang ikut menari khusuk dalam doa-doa yang dipanjatkan.  Sampai suatu ketika ibuku pernah mengatakan aku tidak akan pernah berhenti menari sebelum hujannya turun. Kalimat ini selalu teringat di benakku. Ibu begitu gigih, pantang menyerah, terus berusaha sampai berhasil.
Namun hidup ini bukanlah sebuah ilustrasi yang sederhana, hidup ini sangat kompleks dengan beragam variasi masalah dan pilihan.  Hal inilah yang belum di pahami oleh ibu. Akhirnya, hujan pun tidak turun. Ibu tetap bersikukuh menari dan menari. Tubuhnya terus berputar dan raganya pun ikut melayang. Tak pernah kembali.
Semenjak kejadian itu hari-hariku tidak seceria dulu. Aku hanya melamun dan membayangkan andaikan ibu tidak bersikukuh untuk menari hujan pasti saat ini dia masih bersamaku. Menemani hari-hariku dan mengajari menari. Kejadian itu sungguh membuat aku enggan untuk menari hujan kembali. Bahkan ada keinginan untuk menggantikan posisi ibu sebagai penari hujan. Tetapi, Ayah melarangku.  
***

Aku bersama gadis remaja kampung menunggu di pelataran. Berharap hujan akan segera mengguyur tanah kami yang sudah kering. Setitik harapan muncul kemudian, hembusan angin begitu kencang, langit mulai berwarna kelabu pekat dan gelap pertanda  hujan akan turun. Aku melihat tanah basah sedikit demi sedikit. Aku lari ke halaman depan rumah.  Berlari-lari kecil, berputar-putar, mengucapkan selamat datang hujan.
“Siramilah tubuh ini, siramilah tanah ini,” kataku. Angin semakin kencang. Suara petir pun bergemuruh dari langit-langit. Aku bahagia hujan turun di desaku. Kebahagiaan ini diikuti oleh teman-temanku. Mereka berlarian menyusulku di halaman.  Kami berdansa sambil menari berputar-putar menikmati hujan turun. Tidak ada yang istimewa dengan tarian hujan, gerakan bebas menyambut hujan merupakan keceriaan kami yang begitu bergembiranya bermain di bawah guyuran hujan, mandi lumpur, berlari kesana-kemari. Hujan dulu dengan sekarang masih sama, masih memberikan aroma tanah yang terkadang aku rindukan.
Sekelebat terbayang wajah ibu. Diam-diam aku berkhayal  menarikan tarian hujan bersama ibu.  Bergerak mengikuti gerakan badan ibu di bawah hujan sambil memejamkan mata. Tanganku di pegang lalu diajak berputar-putar. Kemudian aku memeluk erat badan ibu yang masih terasa hangat.  Suara petir menyadarkan lamanunku. Ternyata ada rindu yang berserakan  untuk ibu yang masih tersimpan di dada kemudian meluap begitu saja, hingga kemudian hatiku bisa sedikit terhibur. Tapi, lagi-lagi air mataku deras mengalir seiring hujan reda. Begitulah aku yang selalu membayangkan ibu jika menari di bawah hujan.
Apakah aku harus menari hujan kembali? Ah tidak mungkin. Aku tidak ingin mengulanginya lagi. Biarkanlah hujan turun dengan sendirinya. Kalau yang Kuasa berkehendak pastilah hujan turun.
Ayah selalu mengajarkan padaku untuk meminta hujan dengan sebuah doa-doa yang ditujukan padaNya.  Jangan sampai kejadian yang dialami ibu akan aku ulang kembali. Ayah tidak menginginkan aku menjadi penari hujan seperti ibu dulu. Biarkan semua menjadi pelajaran untukku.
Aku menghentikan tarianku.
***
Aku berdiri tegak, wajahku memandang awan yang sudah mulai membiru.
Apakah aku harus menari hujan kembali? Ah tidak mungkin. Aku tidak ingin mengulanginya lagi. Biarkanlah hujan turun dengan sendirinya. Kalau yang Kuasa berkehendak pastilah hujan turun.

Biodata Penulis
Agus Yulians nama pena dari Agus Yulianto. Suka menulis cerpen, cernak, puisi dan esai. Tulisan-tulisanya terhimpun dalam sebuah antologi. Buku antologi puisi terbarunya perjamuan kopi di kamar kata (2018), Prosa Pendek Pengkhianatan (2018), kumpulan esai Pendidikan Abad 21 Program Pascasarjana UPI (2018), Buku terbarunya kumpulan esai Gagasan Guru Konyol Gado-gado Pendidikan, Oleh Natural Media (2018),  Cerita Pendek, Cerita Anak, Puisi, dan beberapa esainya pernah dimuat di koran Harian Umum Solopos, Harian Umum Joglosemar, Majlah On Line Simalaba, Nusantara News, Flores Sastra, Majalah Hadila, dan lain sebagainya. Penulis Tinggal di Dusun Ngemplak RT 02/02, Suruh, Tasikmadu Karanganyar Jawa Tengah. Alamat email: yuliagusyulianto@gmail.com. Aktif di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan FLP Jawa Tengah.

Cerpen : Tarian Hujan Cerpen : Tarian Hujan Reviewed by Redaksi on Juni 16, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar