Cerpen : Suara Nurani

pixabay
Oleh: Imam Khoironi

Malam telah benar-benar merasuk di kepala melalui rambut awut-awutannya, kini lelaki muda berwajah suram itu menggontaikan langkah menuju panggung tempat mimpinya akan menggelar pertunjukan. Harinya tadi hampir saja membuat kening dunia berkerut mempertanyakan apa yang ia lakukan. Betapa besar semesta hingga mau menampung kebodohannya dalam memaknai kata dosa.
Pejamnya menelan seluruh cahaya lampu yang berpendar di luaran kamar. Sedikit demi sedikit detak menitan jam dinding mulai mendekati angka satu. Seluruh suara padam apinya, dan hening berjaya.
Tepat di angka satu, suara kembali menyeruak di kamar. Suara yang selayaknya tergetar dari tenggorokan milik lelaki tinggi besar itu, muncul dari balik pintu. Lelaki itu terbangun dan kebingungan, sebab saat ia berbaring cahaya di kamarnya masih berseri-seri, namun sekarang seluruh mata yang ia buka seakan membuta. Kegelapan menyingkap temaram cahaya lampu itu.
Suara yang memanggil namanya, seiring detak jantung dan detik jam, semakin mengeras memanggil lelaki berambut awut-awutan itu. Tak ada percikan lain yang mampu membangunkan ketakutan dirinya kecuali suara misterius itu. Lelaki itu mencoba mengumpulkan seluruh napas dan jiwanya yang sedari tadi sedang bepergian entah kemana. Untuk membangun keberanian dalam menemukan sumber suara itu.
Berjalan keluar kamar dengan merayapi dinding, membuka pintu, dan suara itu semakin jelas terdengar memanggil-manggil nama lelaki yang matanya bagai ditutup kain hitam itu. Dia  mencoba mencari-cari saklar lampu, tapi ternyata nihil. Tak ada satupun saklar ia temukan. Semakin mencekam suasana malam itu, semakin menggila perasaan takut lelaki itu.
Suara itu tak lagi terdengar memanggil namanya, mulai redam takut lelaki itu. Tetapi baru turun sebentar takutnya, suara itu kembali menggema, kini lebih pekat di telinga. Mengajak bercakap-cakap. Lelaki itu pun memberanikan diri untuk menanyakan siapa sumber pengahapus keheningannya malam ini.
“Siapa lo? Mau apa lo?” tanya laki-laki itu dengan berteriak.
Tak ada jawaban mengemuka dari suara itu, suara itu malah semakin menggema dan kembali memanggil nama lelaki itu, dan kini terdengar lebih jelas. Meminta lelaki itu lebih mendekat, suara itu menuntun langkah lelaki itu.
“Woy, kenapa lo manggil-manggil gue? Siapa lo sebenernya? Mau ngapain lo ke sini? Keluar lo!” itulah kata-kata yang ia teriakkan saat ia melangkah menuju sumber suara itu.
“Tolol! Kau benar-benar tolol.” Suara itu sangat pekat, memaki dan terus menyerukan cacian.

Namun tak ada sedikitpun tanda wujud dari suara itu. Laki-laki itu kini terduduk dan gemetar. Ketakutan menguasai seluruh aliran darahnya. Entah apa-apaan ini, pikirnya. Apakah ia sedang dikerjai atau justru ini hanya mimpi. Ia semakin takut saat melihat ada berkas cahaya kecil memancar menuju matanya.
“Siapa di sana?” seru laki-laki itu dengan peluh yang mulai mengguyur tubuhnya.
“Kau memang tolol, jiwamu sendiri kau tak kenali.” Suara itu kembali menghina laki-laki itu.
“Apa maksudmu, aku tak mengerti. Mengapa kau datang malam ini, mengapa matamu begitu bersinar?”
“Aku adalah dirimu, dirimu yang harusnya kau kenali, kau teduhi, kau jaga.”
Haah? Aku adalah dirimu? Aku tak mengerti! Jangan coba mengarang di sini, atau...”
“Atau apa? Kau mau teriak meminta tolong? Teriaklah! Ayo teriak, kau memang tolol.”
“Hey, aku tak setolol yang kau cemohkan, aku...”
“Aku apa? Kau mau bilang “Aku tahu semua ilmu, segala di dunia ini aku tahu,” begitu?”
Laki-laki itu semakin bingung dan tak mengerti apa maksud suara itu.
“Sebenarnya apa maumu?”
“Mauku? Mauku, kau yang jalani dirimu ini mati, dan aku yang kau acuhkan bisa menggantikannya.”
“Sebenarnya aku yang tolol atau...”
“Atau aku yang tolol, maksudmu itu. Yang tolol bukan aku ataupun kau, tapi kita.”
“Jika kau tolol kenapa kau menasihatiku?”
“Itu bukan nasihat tolol, itu adalah amanat. Itulah bedanya tololku dan tololmu. Aku tahu dan sadar jika aku tolol, sedangkan kau, kau selalu menganggap yang kau pikirkan, yang kau lakukan dan yang kau ucapkan adalah buah kepintaranmu,” tegas suara itu menjelaskan.
“Lalu, apa rencanamu setelah memberiku ceramah itu?” tanya lelaki itu dengan perlahan.
Perasaan takut laki-laki itu sekarang berangsur mereda, berganti perasaan penasaran dan kengototan akan pergulatan cakap ini.
“Aku bukan penyusun rencana. Aku pengikut rencana. Tuhanmu yang bilang, kalau kelak aku akan bisa bercakap denganmu. Jika rencanamu baik, maka kau akan bangun, tapi jika rencanamu nanti masih begitu saja, kau akan selamanya bersamaku.”
“Memang sekarang aku ada di mana?”
“Ini duniaku, dunia gelap, pengap, tapi aku hidup dalam jalan Tuhan, itu kenapa aku tumbuh.”
“Sekarang bawa aku keluar dari sini!”
“Tak semudah itu tolol.” Kata-kata cemoohan itu kembali membuat telinga laki-laki itu sesak akan amarah. “Aku tak punya wewenang untuk mengeluarkanmu dari sini.”
“Lalu siapa?”
“Dirimu sendiri.” Jawaban yang membuat laki-laki itu semakin bingung dan lelah.
“Sudahlah, sekarang beri tahu aku bagaimana cara keluar dari tempatmu ini, aku sudah muak bercakap denganmu.”
“Setelah kau keluar, kau mau apa?”
“Entahlah, yang penting aku bisa keluar dulu. Urusan nanti aku mau apa, bukan urusanmu.”
“Tentu saja bukan urusanku, itu urusanmu. Aku hanya makmum.”
“Makmum? Artinya kaui kut denganku?”
“Tentu saja, aku adalah jiwa barumu. Yang akan kau dapat saat kau bertemu denganku dan kau kuasai setelah kau keluar dari sini.”
“Keparat! Cepat beri tahu aku. Beri tahu aku cara keluar dari sini!”
“Kau bisa keluar dari sini dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Sebelum itu aku mau memberitahumu, kenapa kau ada di tempat ini. Sedangkan pada hakikatnya ragamu masih terlelap di kamar.”
“Baiklah, terserah kau saja.”
“Kau ingat, sore saat kau membeli minuman keras di warung seberang?” suara itu memulai interogasi dan ceritanya. Tentu saja dengan objek laki-laki dengan wajah suram itu.
“Ya, aku ingat. Itu yang selalu kulakukan setiap pulang kerja.”
“Dan setelah itu kau meminumnya di warnet dekat rumahmu.”
“Ya, bagaimana kau tahu itu?” laki-laki itu semakin bingung dengan apa yang diucapkan suara tak berwujud itu.
“Itu tak penting. Lalu kau menonton film porno di sana.”
“Itu kesenanganku, apa urusanmu?”
“Setelah itu kau menggoda wanita penjaga warnet itu,” tegas suara itu dengan sedikit menggentak.
“Ah, itu iseng saja. Namanya juga habis nonton film porno, dan sedang mabuk.” Laki-laki itu menjawab dengan santainya.
“Dan setelah itu kaupergi tanpa membayar ke kasir, dan malah mengancam ke wanita penjaga itu.”
“Mengapa sedetail itu kau menceritakan segala yang kulakukan sore tadi?”
“Kau percaya adanya Tuhan?” topik baru mulai dijunjung oleh suara tak berwujud itu.
“Ya, aku pun beragama. Aku islam.”
“Itulah ketololanmu, kaupercaya Tuhan, kau beragama, kau muslim. Tapi kautak punya malu sedikitpun.”
“Ah, sudahlah. Sekarang segera beri tahu aku syarat agar aku bisa keluar dari tempat ini.” Laki-laki itu semakin kesal.
“Kau harus kubuat buta dulu,” ucap suara pria tak berwujud itu dengan tegas dan membuat laki-laki awut-awutan itu terkejut.
“Apa? Aku harus buta? Tak adakah cara lain?” mengetahui dirinya akan menjadi buta, laki-laki itu bingung bukan kepalang.
“Tak ada. Kau harus buta. Itu satu-satunya cara agar setelah kau keluar dari sini, ketololanmu itu akan mereda, berganti dengan kepatuhan.”
“Baik, baik, aku terima. Aku mau buta, asalkan aku bisa keluar dari sini.”
“Kau harus berjanji dulu, akan patuh terhadap apa yang Tuhanmu perintahkan. Tak mengeluh dan menerima semua ini dengan ikhlas.”
“Iya, aku berjanji.” Laki-laki itu nampak sangat menurut.
“Baik, mendekatlah.”
Aarrghh, matakuuu.”
“Sekarang bangunlah, sudah pagi.” Suara itu menyuruh laki-laki itu bangun.
“Lho, kenapa gelap sekali, tak ada yang bisa kulihat di sini.”
“Tentu saja, kau sudah buta. Dan sekarang aku yang akan menuntunmu.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah yang kau temui dalam mimpimu tadi.”
“Haah, jadi malam tadi hanya mimpi? Tapi kenapa semua terasa nyata sampai saat aku bangun. Lalu buat apa kau mengikutiku?”
“Kau sudah buta, dan aku yang akan menuntun dan memandu setiap yang akan kau kerjakan. Supaya tak melampaui batas.”
“Kalau boleh tahu, siapa namamu, siapa kau sebenarnya?”
“Aku nuranimu, yang sudah lama kau pendam. Dan kini aku ada untukmu, menuntunmu kembali pada Tuhan.”
Air mata luruh dari mata butanya, ia seakan tak percaya. Sebegitu besar dosanya, sebegitu jauh ia melampaui batasan Tuhannya, sehingga harus rela buta sebagai pertanggung -jawaban atas semua itu.
***

Selesai.
Candipuro, 16 Maret 2019


Biodata Penulis
Imam Khoironi. Lahir di desa Cintamulya, Lampung Selatan, pada bulan Februari tahun 2000. Berdomisili di dusun Sindang Ayu, Cintamulya.
Bekerja sebagai editor di Seniman Publisher dan Mandiri Jaya Lampung. Menulis puisi, cerpen dan esai. Beberapa hasil tulisannya tersiar di berbagai media cetak maupun online: Simalaba.com, Apajake.id, Kawaca.com, Radar  Cirebon, Medan Pos, Radar Malang, Kabar Madura. Menjadi kontributor dalam banyak buku Antologi bersama.
Ia bisa ditemukan di Facebook : Imam Imron Khoirooney, WA/Hp : 0858609086924, Youtube channel: Imron Aksa.

Cerpen : Suara Nurani Cerpen : Suara Nurani Reviewed by takanta on Juni 23, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar