Sebuah Perjalanan : Tentang Kayumas Bersastra



Oleh : Ahmad Zaidi
Catatan Seorang Pemalas
Sewaktu kanak, bapak pernah mengajak saya mengunjungi salah seorang temannya yang tinggal di salah satu desa di lereng Ijen. Di dekat rumah teman bapak terhampar berhektar-hektar kebun kopi. Udara di sana dingin. Sejak saat itu saya menyukai tempat-tempat yang berada di ketinggian. Saya menyukai udara dingin dan wangi bunga kopi. Tetapi malam itu saya tidak berada di desa yang pernah saya kunjungi bersama bapak. Saya berada di Kayumas, desa yang berada di bagian utara lereng pegunungan Ijen. Itu terjadi di hari kedua perayaan Kayumas Bersastra yang dihelat oleh komunitas yang saya tidak terlalu aktif di dalamnya: Gerakan Situbondo Membaca.
Malam hari sebelumnya, Farhan menghubungi saya dan bertanya kapan kami akan berangkat. Kami berencana berangkat malam itu, namun pekerjaan dan kondisi tubuh saya yang belum sepenuhnya membaik membatalkan rencana tersebut. Kami menunda untuk berangkat pagi. Besoknya, kami menunda lagi jam berangkat menjadi pukul satu siang dan tambahan salah satu orang teman lain, Mas Imron.
Jadilah siang itu, saya menjemput Mas Imron di rumahnya, selama perjalanan menuju Kayumas ia tak henti-hentinya menyebut ompreng sebagai kendaraan ajaib hasil kreatifitas manusia Indonesia. Setiap berpapasan dengan motor yang di bagian belakangnya disambung dengan benda ajaib itu, Mas Imron tertawa tanpa saya tahu sebabnya.
“Nanti saya mau bikin Festival Ompreng,” katanya suatu waktu pada saya.
Kami tiba di congapan Arjasa, pertigaan menuju Kayumas, menjelang asar. Seorang laki-laki mengenakan jaket biru tengah duduk di atas motor di depan sebuah warung tutup. Ia adalah Farhan yang tiba lebih awal dari saya dan Mas Imron. Dari pertigaan itu kami masih harus melewati tiga desa sebelum tiba di Kayumas. Kami menjumpai sawah yang ditanami tembakau, rumah-rumah, proyek pembangunan gorong-gorong, hutan jati, bebukitan, daun-daun hijau.
Senja dan udara segar menyambut kami, tak lama setelah melewati gapura. Kami berhenti dan bertanya lokasi acara pada seorang bapak di kebun kopi di belakang rumahnya. Katanya, kami hampir sampai.

Bertemu Empat Orang Penulis Kawakan
Dari jalan desa yang kami lalui sebelumnya, di dekat plang berisi tulisan SMPN 3 Arjasa, kami masuk ke gang yang menurun memasuki halaman sekolah. Di salah satu bangunan sekolah itulah selama dua hari Kayumas Bersastra dihelat. Tembok-tembok sekolah dihias mural. Hampir di setiap sudut sekolah saya melihat beragam jenis tanaman yang tumbuh subur. Mangga, sengon, pete, gamelina, aneka rupa bebungaan dan kopi yang biji buahnya mulai memerah di kebun belakang sekolah.
Dari halaman parkir, saya melihat Sopyan berdiri diapit dua laki-laki. Mereka tampak membicarakan sesuatu yang menarik. Saya hanya tersenyum sambil mendekat ke arah mereka, bersalaman dan langsung masuk ruangan. Kemudian saya tahu laki-laki berambut gondrong, mengenakan kaos hitam dan jaket jins, adalah Wayan Jengki. Lelaki satunya lebih sepuh, berambut putih, mengenakan kemeja abu-abu dengan motif garis vertikal adalah Martin Aleida. Mereka adalah dua dari empat narasumber. Dua narasumber lainnya, saya jumpai di dalam ruangan. Sigit Susanto, yang mengenakan kaos putih dengan tulisan Lombok dan laki-laki berkacamata mengenakan celana jins, kaos hitam yang belakangan saya tahu adalah F. Rahardi yang sewaktu baru masuk tadi langsung saya salami. Selain mereka saya juga bertemu dengan Marlutfi Yoandinas, Ateng dan teman-teman yang lain.
Matahari semakin jatuh ketika Martin Aleida membacakan salah satu cerpennya di hadapan siswa yang juga menjadi peserta juga guru SMPN 3 Arjasa. Cerpen yang menceritakan sepasang kekasih di Pulau Samosir. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh tiga orang siswa. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh F. Rahardi. Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Wayan Jengki. Acara masih terasa sangat formal dan kemudian Sigit Susanto menggenapinya dengan mengajak siswa bermain kuis.
“Siapa yang bisa menyebutkan sepuluh binatang buas di lingkungan sekitar sini, saya kasih buku,” ujarnya.
Salah seorang siswa perempuan maju kemudian voila! ia berhasil menyebutkan sepuluh binatang buas.
“….anjing, anjing hutan…” kalimat itu diulangi oleh Sigit Susanto yang membuat seisi ruangan tergelak.
Acara dilanjutkan dengan sesi buka bersama. Di atas daun pisang yang dihamparkan memanjang, semua peserta makan dengan lahap, tak terkecuali saya. Empat orang narasumber mengaku sangat terkesan dengan cara makan semacam itu. Sigit Susanto mengambil foto dengan gawainya. Mengetahui itu saya membatin, betapa hari ini hal-hal sederhana seperti itu mulai hilang dan ditinggalkan.
Saya sempat keluar bersama Lutfi dan satu peserta lain mencari toko untuk membeli rokok. Letak toko yang kami datangi cukup jauh dari lokasi acara. Di tengah perjalanan itu, saya menemukan kesenangan lain, melihat lampu-lampu kota di sebuah tikungan. Dari sana, lampu-lampu di kejauhan itu hanya berupa bintik-bintik cahaya. Saya jadi teringat Rembangan, seorang perempuan, dan merindukan waktu-waktu bersamanya. Kamu apa kabar, Yim?
Belajar dari Sejarah dan Perjalanan
Sekembali dari membeli rokok, saya melihat beberapa teman sedang asyik mengobrol dan menikmati kopi. Udara malam itu kian membuat saya menggigil. Tak lama setelahnya kami masuk ke ruangan. Di dekat layar, Sopyan menjadi operator menampilkan slide foto hasil perjalanan Sigit Susanto di beberapa negara. Perjalanan yang menyenangkan. Perjalanan tidak melulu tentang keindahan tempat-tempat wisata, melainkan lebih dari itu. Salah satu yang mebuat saya berdecak adalah apa yang dilakukan Sigit Susanto di kampung halamannya di Kendal. Sebagai penggemar berat Franz Kafka, ia memberi nama gang dengan penggubah Gregor Samsa itu.
Di lain kesempatan malam itu, Sigit Susanto Mengatakan kepada saya yang bertanya bagaimana cara menulis catatan perjalanan agar menarik. Ia menekankan tiga hal, membuat tulisan dengan cara yang baru, mengungkapkan hal-hal yang belum jamak dibahas, kontradiktif namun nyata.
Mengenakan jaket dan kupluk, laki-laki itu bercerita bahwa pernah ada masa-masa kelam, di mana seseorang bisa kehilangan segala hal yang berarti dalam hidupnya dalam sekejap. Kebahagiaan yang tiba-tiba lenyap. Keadilan menjadi benda asing yang membubung tinggi di langit, apalagi kemanusiaan. Ia adalah Martin Aleida. Ia salah satu saksi yang merasa dan tahu betul pahitnya masa-masa kelam. Bagaimana politik bisa menjadi senjata yang demikian mematikan. Negara yang seharusnya berpihak, diam dan bisu sampai hari ini. Generasi saya mungkin saja beranggapan bahwa masa-masa seperti itu hanya ada dalam buku-buku. Tapi hal itu benar-benar terjadi.
Melihat tatapan Martin, saya menangkap sesuatu yang ganjil. Tatapan yang membuat saya ingin berlama-lama mendengarkannya bercerita.
Selanjutnya, F. Rahardi mengulas perkembangan kesusastraan di Indonesia dari satu periode ke periode setelahnya. Bagaimana tokoh-tokoh seperti Chairil, Sutardji dan nama-nama besar lain memberi warna baru bagi kesusastraan. Ada banyak nama-nama dari generasi muda yang memberi warna baru dalam prosa, tapi untuk puisi, belum ada yang mampu disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar yang saya sebut di awal.
Menjelang sahur, Wayan Jengki banyak bercerita tentang kondisi perpuisian di Bali. Selain itu, sebagai salah satu orang yang dekat dengan Umbu, ia juga sedikit banyak bercerita bagaimana seorang Umbu dari dekat. Dengan alasan tertentu, tak banyak yang bisa saya ceritakan di sini.
Saat hampir subuh, selepas menyantap sahur, saat satu per satu dari kami tidur, saya mengingat-ingat perkataan Wayan Jengki. Nanti, kalau ada salah satu dari kami ada yang menjadi sastrawan besar, jangan pernah gengsi bertemu dengan adik-adik yang masih tergolong baru mengenal dunia sastra dibanding mereka.
Sigit Susanto menempuh perjalanan jauh dari Swiss, Martin Aleida dari Jakarta, F. Rahardi dari Depok, Wayan Jengki berjam-jam di dalam bus kemudian kapal menyeberangi selat Bali. Mereka datang ke Kayumas menemui saya, teman-teman saya, dalam acara sederhana bertajuk Kayumas Bersastra. Kepada mereka, saya mengucapkan terimakasih banyak.

Situbondo, 31 Mei 2019

Sebuah Perjalanan : Tentang Kayumas Bersastra  Sebuah Perjalanan : Tentang Kayumas Bersastra Reviewed by Redaksi on Juni 01, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar