Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja



“Ceritakan padaku tentang malam yang dingin, pantai, dan senja,” katamu.
Maka, aku menceritakan ini kepadamu.
Kita sedang duduk berhadap-hadapan. Di depan kita ada sebuah meja dengan dua cangkir dan piring kecil yang diletakkan di atasnya. Di luar gerimis. Kau memesan espreso dan chocolate sponge cake. Aku ingin memesan bir, tapi tentu kau akan ngambek sehingga aku memesan cokelat panas. Dingin menggerogoti udara malam yang semakin tua. Nyala lampu di jalan-jalan, taman, dan perumahan, disamarkan kabut. Apa yang ingin kita bicarakan? Sedang matamu mengatakan lebih banyak dari apa yang mungkin disampaikan kata-kata.
"Aku ingin pergi ke pantai. Melihat ombak bergulung-gulung, kawanan camar, dan langit yang biru," katamu.
"Aku ingin melihat senja."
"Kau terlalu banyak membaca Seno, Sayang. Aku ingin sebuah tenda, di bawah pohon, dengan kompor, lalu kita membuat kopi dan membaca buku."
"Boleh aku membawa bir?"
"Jangan bodoh."
Lalu kita kembali diam. Kau mengamati bianglala yang dari dalam kotak-kotak kecil yang terus berputar. Sesekali ada kilatan cahaya blitz. Sepasang kekasih di dalamnya berciuman. Tapi, aku tidak ingin menciummu. Aih, tapi matamu seperti menarikku ke dalam pusaran yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Dengan pelukan, mungkin. Atau…
"Baiklah."
"Baiklah apa?"
"Baiklah, kita ke pantai. Melihat ombak di kejauhan, langit yang biru, dan kawanan camar yang terbang bebas."
"Tanpa bir!"
"Ya, tanpa bir."
Aku melihat matamu menyipit, dengan senyum yang disembunyikan. Kita saling diam saat tatapanmu kian tajam. Tatapan yang menusuk, menguliti diriku hingga bagian paling dalam. Dua orang, laki-laki dan perempuan baru saja masuk lalu duduk di dekat jendela. Sepertinya mereka sepasang kekasih yang bahagia. Tentu, kita sama bahagianya dari mereka. Namun apakah kebahagiaan kita perlu dipamerkan? Di luar sana, banyak yang menganggap kebahagiaan hanyalah ilusi yang diciptakan perasaan. Tapi, seberapa penting bahagia atau tidaknya sepasang kekasih yang saling melengkapi?
"Sayang...."
"Ya."
"Benarkah kita saling mencintai?" tanyamu.
"Tentu saja."
"Bagaimana jika seandainya aku tidak mencintaimu?"
"Tidak masalah."
Malam kian rapuh. Waktu menelantarkan kita semakin jauh. Dingin menunjukkan bentuknya yang angkuh. Seperti perempuan. Seperti kau yang sulit ditaklukkan. Sepertinya... apakah kita sedang takluk-menaklukkan? Lalu kau menyandarkan kepalamu dan kau memelukku, tanpa suara dan tanpa percakapan. Jemari kita saling menyatu mengatur tempo yang lambat. Pelan sekali denyut nadimu.
"Berjanjilah kepadaku," katamu lagi.
"Apa?"
"Jangan pernah pergi."
"Tidak bisa, sayang."
"Kenapa?"
"Kau tahu, aku tidak bisa berdiam terlalu lama. Aku ingin terus bergerak. Suatu saat nanti aku ingin melakukan perjalanan yang tidak memiliki tujuan dan juga jalan kembali."
"Jahat."
"Apakah kau menginginkan sesuatu yang monoton?"
"Tidak. Tapi aku ingin terus bersamamu."
“Kau tahu, apa yang menakutkan dari kebersamaan?”
“Apa?”
“Kesementaraan.”
Namun akhirnya kita masih bersama-sama pergi ke sebuah pantai, saat langit sedang memoles dirinya dengan warna biru dan kau merasa haru dengan itu, lalu berangsur-angsur memerah. Kau mengamati sekeliling kita yang berupa tebing terjal. Tempat yang indah sekaligus mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan jika seseorang melompat dari atas, tubuhnya menghantam karang, lalu ombak menyeretnya dalam-dalam.
“Kenapa kau memilih tempat ini, Sayang?”
“Tunggu sebentar lagi. Ada hal yang akan menggugurkan pertanyaanmu.”
Aku mengajakmu ke Batu Bengkung, sebab konon ia memiiki senja yang ajaib. Kita mendirikan tenda di atas bukit di bawah pohon dan untuk sampai kemari, kita harus melalui jalan yang terjal. Lihatlah gugusan batu itu, bukankah seperti perempuan?
Lalu aku teringat pada obrolan seseorang yang memberi tahu tempat ini.
Barangkali, dalam cerita yang tak banyak diingat lagi, pada mulanya batu itu adalah seorang perempuan. Ia terlalu lama menunggu hingga akhirnya menjadi beku di antara waktu. Ia memiliki seorang kekasih yang pergi melaut dan tidak pernah kembali meski untuk sekadar memberi tahu agar tidak menunggu. Barangkali pula, perempuan itu dikutuk setelah menyerah atas kesetiaannya, memilih menikah dengan laki-laki lain yang berpenghasilan tetap, bukan nelayan, dan hidupnya terjamin bahagia dengan laki-laki itu. Tanpa perempuan itu tahu, kekasihnya yang pergi melaut sedang berusaha mencari cara pulang setelah perahunya diseret badai ke sebuah daratan yang asing dan belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekasih yang ditinggalkan itu kembali setelah bertahun-tahun lenyap tanpa jejak. Dan ditemui perempuan yang selalu ia bayangkan sedang menjaga kesetiannya itu, ternyata sedang mengandung dan memiliki suami yang bukan dirinya. Laki-laki itu pun pergi memikul rasa kecewa. Meninggalkan perempuan yang begitu dicintainya. Maka, di pantai inilah, dengan menyesal perempuan itu memohon agar dikutuk menjadi batu.
Aku belum pernah melihatmu sedamai itu. Udara pantai membuatmu lebih segar dari biasanya. Angin memainkan anak-anak rambutmu yang tergerai. Kau biarkan cahaya lembut matahari yang mulai rebah di batas horizon menyapu wajahmu. Dari kejauhan, kita mendengar suara tawa anak kecil yang berlari menghindari kejaran orangtuanya, tak mau difoto. Sepertinya mereka ingin bermain-main tanpa diganggu.
“Lihat, awannya memerah.”
“Pipimu juga.”
“Seperti permen kapas.”
“Seperti mengundang ciuman yang malu-malu dan ragu.”
Kau mendaratkan telapak tanganmu di kedua pipiku. “Ngarep,ucapmu sembari masuk ke dalam tenda. Senja menjulurkan permadani dari cahaya kemerah-merahan di permukaan karang diiringi kesiur angin dan dengus ombak yang patah-patah menghantam batu-batu.
Tiba-tiba kau kembali keluar dengan dua gelas di tanganmu.
“Kau ingin minum kopi?”
“Tentu.”
“Kalau begitu, nyalakan api untukku.”
Aku mengambil parafin dan menuangkan air mineral ke dalam panci kecil yang telah kita persiapkan sebelumnya, untuk dipanaskan. Kau kembali mengamati sekeliling, mellihat laut yang mulai pasang dan kembali menenggelamkan gugusan karang yang memanjang, yang sebelumnya seperti benteng. Ada kolam alami di sana. Yang perlahan lenyap.
“Kau tahu, apa yang ajaib dari senja di sini?” tanyaku.
“Apa?”
Aku mengeluarkan kamera, menggandeng tanganmu menuju sisi paling tepi bukit itu. Matahari menyelam di batas antara langit dan laut, ketika tangganmu menggamit lenganku. Senja tidak lagi berwarna kemerah-merahan. Tapi ungu.
“Kenapa bisa begitu?” tanyamu kesekian.
Sayangnya, aku buru-buru menyudahi cerita ini sebab yang kau pinta di awal cerita hanya tentang malam yang dingin, pantai, dan senja. (*)
Ahmad Zaidi, lelaki yang baru saja kehilangan kesepiannya.
Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja Reviewed by takanta on Desember 01, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar