Mapasra: Merayakan Perjalanan Puisi



20 Desember 2019, Jumat petang, SunTree Cafe                                                          
Malam beku dan larut ke dalam puisi.

Tempat itu memiliki lampu penerang yang nyalanya temaram, digantung mengikuti panjang kabel di bawah kanopi yang belum jadi. Suasana malam itu membuat percakapan terasa lambat, suara-suara menggema dan setiap gerakan kecil saja menjadi magis.
Tapi baiklah, saya melebih-lebihkan. Tapi... tapi... tapi adakah yang dilebih-lebihkan dari sebuah perayaan sebuah puisi?
Saat saya tiba, acara belum dimulai. Beberapa orang yang lebih dulu datang, duduk berkelompok mengitari meja dan mengisi saung dari bambu. Beberapa di antara mereka saya kenali dan sisanya tidak. Di depan, seseorang lain sedang menyiapkan panggung dan di balik panggung itu, Wahyu Aves memutar-mutar kenop amplifier.
Satu per satu kawan-kawan saya datang, mengisi meja. Anwar, Farhan, Imron, Sopyan, dan seseorang yang tidak penting saya ceritakan di sini--ada tempat khusus di mana segala cerita ialah melulu tentangnya.
Malam itu, Wahyu Aves membuka acara dengan cek sound kemudian menyerahkan kepada Ali Gardy untuk memandu acara sampai selesai. Ali, yang mengenakan hodie hitam dan berkacamata terlihat lain dari biasanya. Nanti, sesekali di tengah acara ia merokok, merayakan kebebasan yang entah apa.
Kali Kedua
Pernah ada malam-malam semacam itu, sekira-kira tujuh tahun lalu. Bagi laki-laki yang sewaktu datang saya lihat bersama Dedy Mordhaniel, berkaos hitam dan bersepatu lars dan celana motif bidak catur dan batik. Agus R Subagyo namanya, yang kemudian lebih dikenal dengan Kang Rego. Malam itu adalah kunjungan kesekian kali dan kali kedua ia ke Situbondo. Malam itu, Situbondo menjadi salah satu tujuan dari beberapa kota yang telah dan sudah ia singgahi. Malam itu, ia membawa sekarung penuh puisi dan kenangan. Ia mengenang saat menciptakan komunitas Rumah Ilalang. Ia, seperti mengajak Wahyu Aves, kawan lama sewaktu keduanya berada di Malang, agar kembali gelisah dan menulis. Ajakan yang ditampik dengan pernyataan bahwa kawan lamanya itu sedang berada dalam fase hiatus panjang. Entah sampai kapan. Tak ada yang tahu.
Kali lain malam itu, sewaktu membacakan salah satu puisi dalam antologi "Situbondo Kota Kecil Penuh Cerita" ia mengenang pengalamannya yang pernah bermalam di Alun-alun Besuki.
"Tempat paling penuh cerita di Situbondo bagi saya, adalah Besuki," katanya.
Sastra, Perjalanan dan Ungkapan Hati
Dalam sesi diskusi, Farhan yang oleh Ali Gardy ditodong untuk memandu, bertanya, "Apa sih, sastra itu?"
Pertanyaan yang menurut Rego lebih cocok disampaikan kepada kalangan akademisi itu, dijawab dengan, "Sastra bagi saya adalah ungkapan hati, perjalanan hidup, yang tertuang dalam teks, dalam aksara-aksara."
Soal apakah sebuah karya sastra indah atau tidak, itu relatif.
Baginya, ada perbedaan antara membuat dan mencipta. Dalam "cipta", ada keunikan yang tidak terdapat dalam "buat". Makanya, kita lebih sering mendengar 'menciptakan puisi' daripada 'membuat puisi'.
Selain itu, ia membeberkan pengalaman-pengalamannya dalam dunia teater. Bagaimana ia menulis naskah drama, yang nyaris dipentaskan mahasiswa di Jogja.
"Kalau boleh tahu, apa judul naskah drama itu?" cecar Farhan.
"Matahari Setengah Mati."
Selesai acara diskusi yang dihabiskan dengan bercerita tentang proses panjang yang ditempuh Rego selama ini, ada kutipan menarik yang pernah dilontarkan seorang kawannya suatu ketika, "sehebat apa pun imajinasi, realita selalu lebih dahsyat.
Parade Puisi
Imron yang duduk tenang, seketika terkejut ketika Ali Gardy menyebut namanya untuk maju dan membacakan puisi. Ia yang mengenakan sarung seperti layaknya seorang santri sekaligus budayawan, membaca puisi di laman takanta.id, Artefak Kesedihan.
Pembacaan puisi berlanjut hingga malam kian larut. Penonton bergantian ditodong oleh Ali Gardy untuk berpuisi. Sebab, sebagaimana yang saya katakan di awal, ini adalah perayaan puisi.
Jika puisi lahir dari keheningan dan kesepian, lantas apakah puisi mampu melahirkan keduanya?
Mari berpuisi.
_______________________
*) Penulis merupakan penyuka kopi, sastra dan matanya yang teduh.




Mapasra: Merayakan Perjalanan Puisi Mapasra: Merayakan Perjalanan Puisi Reviewed by takanta on Desember 21, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar