Cerpen: Sebelum Membayar Dendam




Oleh: Toni Kahar

Kamu akan merasa iba kepada ibumu jika tahu bagaimana ceritanya pada saat kamu ada di dalam kandungan. Ibumu, yang bernama Marni itu hidup sendiri menjagamu dalam kandungan. Kamu diklaim terkandung dalam rahimnya setelah dikuburkannya jasad ayahmu yang berdarah-darah, tersebab perkalahian.

Ada yang memberikan kabar, jika Darso, tetangga dekat ayahmu mengganggu Ibumu. Mencak-mencak ayahmu di taniyan*. Ibumu tak bisa menghalanginya. Matanya merah bagai kerasukan jin. Orang-orang yang melihatnya tak berani menghadang ayahmu yang tengah menggenggam celurit itu. Dia pergi ke rumah Darso yang berada di atas bukit. Semua orang menutup pintu dan jendel. Senja yang biasanya nampak di ujung bukit itu tak lagi nampak, hanya mendung dan gelap yang terlihat. Sesekali suara guntur semakin membuat keadaan menjadi mencekam. Ibumu berusaha mengejar ayahmu, tapi dia mengangkat celuritnya dan bilang akan memenggal kepalanya juga jika menghadangnya. Ibumu ketakutan dan pulang sembari menangis. Karena kejadian itulah orang-orang sangat takut untuk menghalau ayahmu pergi.


Apalagi, sebagian besar para lelaki jika ditanya, apa yang akan mereka lakukan jika istrimu diganggu oleh seseorang? Mayoritas mereka akan menjawab, akan kutebas lehernya!

Dia berjalan dengan cepat. Melewati jalan setapak menuju bukit. Sesampai di rumah Darso, Darso sudah tahu jika ayahmu sedang mencarinya. Makanya dia sudah siap dengan celurit di tangan kanannya. Tanganya disembunyikan di belakang. Seakan tak gentar mendapat tantangan dari ayahmu.

Ada seseorang yang memberikan kabar. Entah siapa. Tetiba saja Darso sudah siap dengan celuritnya. Sedangkan ayahmu berdiri dengan geram dengan urat-urat leher yang seperti ingin melepas. Wajah dan matanya memerah.

“Benar-benar bejat orang yang mengganggu istri orang, Taretan!” ucap ayahmu dengan lantang.

Lalu dia melangkah maju.

Sadar ayahmu hendak menyerang, Darso turun dari beranda ke taniyan. Darso lebih dulu memberikan serangan. Ayahmu menghidar ke samping dengan cepat. Kamu tahu? Ayahmu memang jago silat. Orang-orang dari dulu sangat kagum terhadapnya.

Pada saat itu, ayahmu mendapat serangan bertubi-tubi. Tapi dia selalu dengan cerdik menghindari celurit panjang milik Darso.

Sekali ayahmu menyerang, Darso terkena sabet di punggungnnya. Bajunya robek dan terdapat sedikit luka di sana. Darso tak merasa kesakitan. Dia semakin geram. Serangan keduanya pun imbang. Serangan demi serangan dilakukan oleh keduanya. Namun sepertinya, sore yang menjelang petang itu ternyata bukan hari keberuntungan ayahmu. Dia terkena sabetan celurit Darso di bagian paha. Darah bercucuran. Dagingnya robek. Lalu Darso menghempaskan kembali celuritnya dengan cepat ke leher Ayahmu, meski yang terkena adalah bahunya. Bahu ayahmu terbelah. Tulangnya patah. Ayahmu Roboh tak berdaya. Sementara Darso lari dan menghilang ditelan waktu. Entah ke mana.

Ayahmu meninggal malam itu.

Dan pada malam itu juga, ayahmu dikuburkan. Meminimalisir terjadinya cerita yang berbuntut panjang. Namun, namanya juga mulut. Cerita-cerita dengan cepat menyebar. Semua orang akhirnya tahu perihal cerita itu dengan versinya masing-masing.  Ibumu histeris mendengar suaminya telah meninggal di tangan Darso. Dia menyimpan baju ayahmu yang robek dan penuh darah itu. Masih tercium bau anyir. Dia menyimpannya dalam laci. Kelak akan diberikan kepadamu jika kamu sudah mengerti tentang arti kehidupan. Oh, betapa ibumu sangat sedih dan sengsara.
Ibumu semakin sedih ketika dia periksa ke dokter. Perutnya tidak enak dan muntah-muntah. Dan ternyata Ibumu tengah mengandungmu. Ibumu pun menangis di rumah sakit. Dia bertanya kepada yang Maha Kuasa, kenapa kabar itu tidak datang sebelum ayahmu meninggal? Paling tidak dia sempat bahagia mendengar buah cintanya sedang terkandung dalam perut ibumu.  

Selama sembilan bulan dia mengandungmu. Menjagamu dengan ikhlas. Meski rasa sedih selalu melandanya. Ketika melihat celurit di dinding kamarnya, selalu saja dia ingin membayar dendam itu sendiri. Ketika rindu sedang membeludak dalam hatinya, dia lihat kaos yang berbercak merah darah itu, dan dendam itu pun muncul.

Obatnya, adalah kamu. Dia bergantung kepadamu. Makanya, ibumu merawatmu dengan sekuat tenaga. Dia tidak lupa istirahat, makan-makanan yang sehat, serta mengecek kesehatanmu dalam perut. Itu adalah janjinya kepada diri sendiri untuk membesarkanmu. Dia percaya jika janin dalam perutnya adalah laki-laki yang perkasa, seperti ayahmu.

Kamu akan melihat betapa menderitanya ibumu ketika kamu berusia tujuh bulan dalam kandungannya. Sebentar kemudian adalah upacara pelet kandung* untuk doa keselamatan kandungan menjelang melahirkan. Agar kamu selamat dan melihat dunia ini. Dia mencoba untuk tabah. Upacara pelet kandung adalah upacara hikmat sekaligus kebahagiaan seorang pasangan suami-istri. Namun, berbeda dengan ibumu. Dia sendiri. Kursi di samping ibumu seharusnya tidak kosong. Harusnya ada ayahmu di sana. Harusnya mereka saling bahagia ketika guyuran air kembang menyentuh tubuh mereka, harusnya semua orang terharu saat melihat ayah dan ibumu itu bahagia. Namun nyatanya ibumu sendiri. Bukan senyum muncul. Tapi suara isak ketika air kembang itu mengguyur tubuhnya. Orang-orang mengiba. Upacara memandikan air kembang itu dipercepat agar ibumu tak berlarut-larut dalam kesedihan.

Tapi ibumu menjadi kuat kembali ketika duduk sendiri di kamarnya dan mengelus-elus perutnya yang buncit. Saat itu dia ingat janjinya kembali untuk menjagamu demi ayahmu. Sembilan bulan kemudian, tepat pada tanggal 10 Desember, kamu lahir. Dia terharu dan bahagia. Akhirnya dia mampu melahirkanmu. Tentu sangatlah lama menunggumu berusia dewasa. Tapi ibumu tak mempermasalahkan. Sebulan sebelum kamu lahir, istri Darso melahirkan juga. Anaknya laki-laki. Nasib anak Darso sama denganmu. Tak punya ayah.
Ibumu tersenyum. Artinya, anak Darso ketika dewasa, kamu juga dewasa. Tapi telak penderitaan melanda dirimu. Ibumu meninggal sehari setelah kamu lahir. Betapa malangnya hidupmu tidak bisa melihat wajah kedua orangtuamu. Tak bisa merasakan hangat pelukan mereka.

Kamu sekarang sendiri, tak ada siapa pun dari kerabatmu kecuali Mak Salimah yang mengasuhmu dan tak ada ikatan darah dengannmu. Karena siapa itu nasibmu semua? Itu karena Darso, si pengganggu ibumu itu. Ayahmu tak akan mati jika dia tak berlaku bejat.

***

Waktu pun terasa cepat. Kamu sudah dewasa. Di tanganmu yang dingin, nampak jelas bercak-bercak merah dari darah ayahmu dulu. Kaos yang dipakai ayahmu ketika dulu beradu celurit dengan Darso. Kamu marah ketika mendengar cerita itu, matamu memerah. Urat lehermu hendak putus saking nafsunya untuk membunuh anak Darso. Kamu terlena dengan cerita-cerita itu.

Beberapa hari, kamu menajamkan celurit. Dendam kesumatmu semakin hari semakin menjadi-jadi.

Mak Salima yang bercerita kepadamu itu sebenarnya hanya ingin mengungkapkan peristiwa sebenarnya tentang kedua orangtuamu. Tapi cerita itu menjadi petaka kala dendamu semakin menjadi.

Setelah dendam semua terkumpul, kamu pun begitu bergairah hendak menebas anak Darso itu. Kamu mengambil celurit yang menggantung dengan posisi sungsang di dinding. Kamu mencium sejenak kaos yang pernah dipakai ayahmu.
“Sekarang saatnya aku membalas dendammu,” katamu sembari mencium kembali kaos ayahmu itu. Tanganmu sudah tidak sabar. Kakimu melangkah keluar dari kamar.

Namun, Mak Salima datang tiba-tiba. Membawa sepiring makanan untukmu. Mak Salima menanyakan hendak ke mana kamu dengan celurit. Kamu tidak menjawab. Mak Salima pun memelukmu dengan erat. Kamu diam. Terpaku sejenak. Padahal matamu sudah memerah.

“Hendak apa kamu membawa celurit ayahmu?” Mak Salima masih memelukmu dengan erat.

“Aku akan membayar dendam ayah, Bi!” katamu dengan tegas. 

“Dendam tak baik dipelihara. Ayahmu pasti senang jika tak ada simbah darah lagi pada keturunannya.”

“Tapi, sebab Darso, Aku tak punya kerabat lagi.”

Mak Salima melepas pelukannya. “Kamu tidak menganggap bibimu yang mengasuhmu sejak kecil ini adalah kerabatmu?” Mak Salima menitikkan air mata.

“Bukan seperti itu, Bi. Aku hanya ingin membalaskan dendam!” Kamu masih ngotot.

“Anggaplah aku seperti ibumu, walaupun kita tak punya ikatan darah,” jawab Mak Salima dengan tulus. “Sekarang, letakkan celurit itu ke tempatnya. Celurit itu dipakai untuk mempertahankan diri. Bukan untuk membalas dendam atau menyerang seseorang,” lanjut Mak Salima.

Kamu merasa Mak Salima benar-benar seperti ibumu sendiri. Kamu menaruh kembali celurit itu, menggantung sungsang di dinding. Setelah itu Mak Salima memberikan sepiring nasi untukmu. Sore itu, Mak Salima telah mengusir segala dendam kesumat. Kamu bisa bernapas legas sembari merasakan kasih sayang seorang ibu, yaitu Mak Salima. (*)

2019

*Taniyan: Bahasa Madura yang bermakna halaman
*Pelet Kandung: Sebuah ritual selamatan di Madura ketika janin dalam perut perempuan berumur tujuh bulan.

Toni Kahar, Kelahiran Sumenep 03 Desember 1996. Saat ini sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Rembang. Aktif di Komunitas Sastra ATAP dan SAKA Sarang Rembang, beberapa karyanya pernah diterbitkan di buku antologi bersama, media online dan majalah. Serta buku kumpulan cerpen perdananya yang telah terbit berujudul “Ketapel dan Burung-Burung di Pohon Asam” (FAM, 2019). Bisa dihubungi lewat Email: ahmadfatoni.kelana@yahoo.com, FB: Ahmad Fatoni, dan Twitter: @tonikahar.
Cerpen: Sebelum Membayar Dendam Cerpen: Sebelum Membayar Dendam Reviewed by takanta on Januari 19, 2020 Rating: 5

2 komentar

  1. Selamat berkarya nanda Toni Kohar
    Ending yg bagus mendidik, dendam hanyalah membawa petaka baru,sy oreng dr madura, siiip

    BalasHapus
  2. Ini adalah hal baru. Sudut pandang "kamu" biasanya digunakan untuk sesi curhat.

    Bukankah lebih baik,kalau dirubah ke sudut pandang "dia"? Jadi kesannya penulis bercerita pada orang lain.

    yang jadi aktor adalah "kamu" maka harusnya "kamu" dalam cerita itu lebih tau dari penulis.

    BalasHapus