Puisi: Rutinitas Berkenalan dengan Diri Sendiri


Optimisme Dua Remaja

25 april, listrik padam di malioboro
seorang perempuan, hijau, jadi bayang
hitam, duduk di dekat tiang. “tuhan,”
lirihnya. dan kalimat selanjutnya
tak terdengar.

tapi laki-laki yang ia sebut namanya
 dua tahun kemudian, di tempat lain,
pada malam yang lain: dapat mendengar!
dengan baik, sebaik mimpi menyimak
sekarung gabah membaca sajak
di lubang lamunan bapak.

harga besan di garis timbangan
harga diri menepi kepada diam

dalam jarak, dalam sesak, perjumpaan
 yang kadang berulang: tak disertai lagi
bertukar kabar, atau sekadar, basabasi.
nyali pun jadi pucat, dan kata-kata
selalu tertinggal di bawah bantal.

tapi perempuan itu tetap merawat
harapannya dengan puisi, laki-laki itu
tetap merawat kesetiaannya juga dengan
puisi, dan puisi merawat cinta mereka
sebagaimana cara tuhan menjaga
iman manusia kepada, doa-doa
yang tak dikabulkan.



Rutinitas Berkenalan Dengan Diri Sendiri

(Petunjuk pembacaan: bukan Rendra bukan Tardji, Mbak Google boss!)
                                             
Sebulan lalu media sosial memberiku empatbelas jenis kesibukan, tapi mulai pagi inisebab keterbatasan finansial dan akses sinyal aku hanya akan membagi diri menjadi tujuh. Perkenalkan:

1.       Aku yang setiap malam menguatkan tekad tidak chat duluan.
2.       Aku yang istiqomah menyembunyikan status-status cinta dari akun ibu.
3.       Aku yang tak jarang butuh waktu nyaris setengah jam hanya untuk menulis stori whatsapp atau instagram tentang hubungan kita yang seolah-olah sempat ada.
4.       Aku yang pada malam minggu kerap didera bosan sebab kamu hampir selalu tak muncul di media sosial sementara di kamar cuma ada bacaan yang sejak sampul depan sampai sampul belakang tak menyinggung sedikit pun tentang bagaimana, sebaiknya, sebuah kemurnian perasaan menjinakkan rindu sekaligus menghindar dari tafsir-tafsir off-side atau godaan-godaan untuk menyetujui fikih oplosan.
5.       Aku yang sudah berbilang bulan berupaya setia membaca ini-itu demi kelayakan menaruh pendapat di kolom komentar postingan akun-akun pintar yang anehnya bukan dari mereka kudapat simpulan ajaib bahwa untuk membuat kegunaan otak meningkat cuma tersedia dua cara yang murah: terbuka atau terluka.
6.       Aku yang kadang merasa, tanpa kesedihan, hidup jadi sedangkal gibah tetangga.
7.       Aku yang ketika kuota hampir sekarat menjadi ragu, semua yang kukira adalah aku ternyata tak hanya rapuh, tapi juga palsu.



Caps Lock 404

TAPI CINTA TAK PERNAH LEBIH LEMAH DARI LUKA!



Insomnia No. 9

Kesepian, rindu yang rutin, kegagalan yang berulang, mungkin bikin kita capek. Atau bosan? Semua seakan tidak pada tempatnya. Memandangi kolam ikan, dan melihat, yang tak ada di sana. Menuang dua liter bensin, pada tangki, untuk merasa tidak akan sampai ke mana-mana. Jalan jadi garis, malam serupa ruang tunggu. Ada yang berdetak menghitungi lampu-lampu, tapi tidak pernah tahu berapa jumlahnya. Mesin mati, roda henti, sebatang rokok nyala, seperti angan yang jatuh ke dalam kunyahan api. Asap terlepas serupa doa, yang di dalamnya, tak ada permintaan apa-apa. “Tabah dan tumbuh seperti rumput. Tulus dan liar seperti hutan.” Ada yang mendengarnya, meskipun tak ada yang mengucapkannya.



Kebisuan yang Berteriak
                                
kau menatap lantai dua

sebingkai jendela yang begadang
dan seorang tidur yang mungkin, tiba-tiba
terjaga. mengintip purnama dan tak sengaja
menemukan dua perindu yang beradu
saling menunggu: siapa? yang mengalah
atau bernyali lebih, untuk berkata-kata.
tapi seandainya ada, yang dengan tiba-tiba
terjaga. ia tak akan tahu, ada bau anggur
menghangati kebisuan di mulut kita.

dan aku menatapmu

sedekap genggam rekat dan kuyup
sebab keringat cemas, dingin sekecup
bibir terjatuh kepada selubang celana
yang robek — subuh pun mengecil
dan bulan mendekat, degup paru-paru
kian sakral memompa airmata

tapi ucap tak bertambah

hanya keluh lembut seumpama
amarah tom waits yang memberat
dan putus asa, penuh namun habis
tenaga. merayapi mata tengadah
yang telah serupa sisa: alkohol
dalam gelas pecah!

kubaringkan tangis di lehermu

seolah meletakkan lilin terakhir
di altar kamar, saat hujan kian lebat
dan listrik masih padam, sementara
di jantungku yang subuh: namamu
menjelma sebuah doa yang piatu.
                                      
napasmu mengemban resah ombak
jarimu memapah sepi di bilah pipi
dan kau tuliskan ucap yang gagal

— sebisik titah, yang dengan terluka
telah bisa kita terka dan terima, meski
(pada penghabisan dini hari itu) selalu
sebuah pelukan yang lekas lebih nyaring
membuatnya seketika jadi tak terdengar
jika pun tetap kita teriakkan:

“sendiri atau berdua, cinta
adalah sebuah cara yang indah
untuk menjadi manusia”


Biodata Penulis:
Halim Bahriz tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Penghujung 2019, terpilih sebagai pemenang penulisan esai seni rupa Kemendikbud. Buku puisinya yang sudah terbit: Igauan Seismograf (Rua Aksara, 2018).

Puisi: Rutinitas Berkenalan dengan Diri Sendiri Puisi: Rutinitas Berkenalan dengan Diri Sendiri Reviewed by takanta on Juli 12, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar