Cerpen : Lapas dan Malam



Cerpen Ruly R
Malam itu, Bashe duduk bersila di trotoar timur alun-alun kota. Matanya menatap para pengunjung yang lalu lalang.
Bashe masih terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia masih ingin menghabiskan lebih lama sisa hidupnya di tempat yang selama ini dianggap rumahnya dan ingin sibuk menikmati segala kisah dengan kawannya di tempat yang dia tinggalkan siang tadi.
Masih teringat apa yang dikatakan seorang petugas yang mengantarnya keluar dari tempat itu siang tadi.
“Sekarang kau bebas. Berbuatlah baik di masyarakat dan jauhi segala yang buruk supaya kau tidak masuk ke tempat ini lagi.” Sembari tangan petugas menepuk pundak Bashe berkali-kali.
“Ya tentu saja,” jawab Bashe. Tapi dalam batinnya dia sangat merasa nyaman di tempat itu.
Tempat itu adalah Lembaga Pemasyarakatan Karang Bangun.
***
Awal mula Bashe masuk Lapas Karang Bangun karena ia membunuh lawannya di kerusuhan dua kelompok suporter yang sebenarnya mendukung satu klub sepak bola yang sama.
Bentrok antara dua kelompok suporter yang konon mempunyai idealismenya masing-masing dalam mendukung satu klub yang sama bukan hal yang mengherankan, karena hal itu sering terjadi. Dan hal itulah yang dibela mati-matian oleh Bashe dulu, idealisme kelompoknya. Berkelahi atau membunuh menjadi kewajaran untuk mempertahankan idealisme mendukung klub, untuk tidak disebut sebagai pecundang.
15 tahun, Bashe harus berada di balik jeruji besi. Meski awalnya bukan sesuatu yang menyenangkan, namun lama kelamaan Bashe bisa nyaman juga mendekam di tempat itu. 
 Di sana juga menjadi permulaan Bashe bertemu kawan sejatinya.
Kawan itu masuk penjara tidak lama setelah Bashe. Mungkin hanya selang beberapa hari setelah Bashe, yang mengalami penyiksaan fisik dan batin sebagaimana narapidana baru lainnya, digembleng dengan peraturan yang sudah ditetapkan secara tidak langsung oleh narapidana lama.
Kawan itu sama pendiamnya dengan Bashe. Jika Bashe tak mengajak bicara, dia pun akan melakukan hal yang sama.
Seiring berjalannya waktu Bashe pun akrab dengan kawannya itu. Dan hal yang jelas mengakrabkan mereka adalah malam. Saat narapidana lain tertidur pulas, Bashe dan kawannya justru terjaga. Asyik bicara dan saling tukar cerita tentang apa yang dilakukan hari ini atau tentang impian-impian kecil setelah bebas dari Lapas. Malam memberi ruang pada  Bashe dan kawannya untuk saling memahami satu sama lain. Begitulah malam-malam yang sama hingga 15 tahun di Lapas, Bashe selalu akrab dengan kawannya tanpa terlewatkan satu malam pun. Tapi ada satu hal juga yang tidak pernah dia bicarakan dengan kawannya adalah tentang masa lalu masing-masing.
Bashe bukannya tak menaruh bangga tentang apa yang dia punya di masa lalu, tapi untuk apa masa lalu jika hanya menambah pedih kenangan tentang dirinya yang membunuh lawan. Dan alasan kenapa kawan itu juga tak pernah bercerita tentang masa lalunya, mungkin kawan itu juga tidak ingin mengenang segala kepahitan yang telah dilakukan di lampau hingga akhirnya dia harus sampai ke sini, ke Lapas ini.
Ada desas-desus yang mengatakan bahwa kawan Bashe masuk Lapas karena membunuh istrinya yang ketahuan selingkuh. Kabar burung lain mengatakan bahwa dia merampok bank dan membunuh security bank. Tapi untuk kebenaran semua desas-desus dan kabar burung itu Bashe tak pernah menanyakan secara langsung pada kawannya. Dia sungkan untuk menanyakan hal yang mungkin membuka luka masa lalu kawannya. Satu kejelasan yang pasti, kawan itu pernah bercerita membunuh seseorang karena mempertahankan idealismenya. Sama dengan alasan Bashe. Pembunuhan dilakukan karena sama-sama mempertahankan idealisme masing-masing.
***
Malam setelah menyandang status bebas dan cap mantan narapidana, Bashe masih duduk bersila. Udara malam di alun-alun kota rakus ia hirup.
Malam semakin malam. Pedagang yang memenuhi alun-alun mulai berangsur pulang. Bashe masih terdiam. Sesekali ia memegang perutnya, mencoba menahan lapar yang dirasa semakin mendesak.
Dalam pikirnya ia ingin ada makanan yang bisa sebentar saja berkompromi dengan perut dan rasa laparnya. Tapi bagaimana mau mendapatkan sedikit makanan jika tak ada lagi uang di sakunya, uang sisa yang diberikan narapidana lain siang tadi sudah ia habiskan untuk membeli sebungkus rokok dan es teh sore tadi.
Masih sisa beberapa batang rokok. Ia keluarkan korek miliknya dan segera menyulut rokoknya. Asap rokok mengepul, putih hilang di tiup angin malam. 
“Tak apa lapar, asal ada rokok.”, gumamnya sendiri disusul keluh yang keluar dari mulutnya, “Andai ada kawanku, pasti aku bisa berbagi lapar dan rokok ini dengannya.”
Ketika dia mengatakan dengan tidak sengaja tentang kawannya, dia juga teringat bagaimana kalau dia curi saja makanan dari angkringan di alun-alun kota. Malah dengan Bashe mencuri, bukan hanya dia mendapat makanan tapi juga mendapat hadiah pertemuan dengan kawannya. 
Tapi bimbang jelas menyerang dalam pikir dan batinnya. Masih memperkirakan tentang teknik mencuri dan tentu risiko yang akan dihadapinya. Bujukan baik dan buruk seperti mendengung di telinganya. “Bagaimana ini ?” ucap Bashe pendek.
Bashe benar-benar bingung. Jika ketika dia tertangkap, dia akan dibawa ke Lapas dan bertemu kawannya itu adalah hal yang membahagiakannya. Namun, jika hanya akan dikejar oleh warga sembari diteriaki maling dan tertangkap diberi bogem mentah bertubi-tubi lalu ditinggalkan warga di tepi jalan begitu saja tanpa dibawa ke Lapas, bukankah itu justru menjadi akhir yang menyakitkan?
***
“Dalam hidup memang semua kepalang tanggung, dan bila tak dilakukan sama sekali maka tidak akan pernah ada yang disebut gagal atau berhasil bukan?” yakin Bashe dalam hati. Akhirnya ia putuskan datang ke angkringan bertenda biru di alun-alun kota yang sudah ditatap berulang kali sebelumnya.
“Mau pesan apa, Mas?” sambut ibu tua pemilik angkringan dengan ramah.
Bashe diam lantas duduk. Dalam duduknya, pikirannya sudah kacau sampai ke mana-mana dan tangan kanannya mengambil dua tempe lalu dibawanya lari sekencang mungkin.
Pemilik angkringan menggeleng dan bibirnya mengeluarkan suara,“ckckckck.”
***
Begitu sedikit jauh dari angkringan. Bashe melihat ke belakang dan tak ada yang mengejarnya.
Bashe justru bingung kenapa tak ada orang yang mengejarnya, bahkan tidak ada teriakan “pencuri” dari si pemilik warung.
Bashe berjalan pelan sembari tangan kanannya menggengam dua tempe yang dicurinya tadi. Tak lama setelah berjalan lambat ia putuskan untuk berhenti, melempar 2 tempe yang dicurinya ke tanah.
Ia duduk, kembali bingung, merenungkan kenapa mencuri bisa menjadi pemakluman. “Apa memang semua hal buruk setelah 15 tahun hukumannya berubah menjadi pemakluman umum?” tanyanya dalam hati.
Wajah setelah lelah karena berlari dan jalan, sekarang tampak murung. Wajah itu dihadapkannya pada langit yang hitam tanpa bintang. Sesekali ia pandang dua tempe yang dibuangnya tadi dan kembali menatap langit. Pandangan itu kembali mengarah pada dua tempe yang dibuang, sekejap ia ambil tempe itu dengan tangan kirinya. Ia bersihkan tempe itu dengan bagian bawah kaosnya sembari berkata, “Belum lima menit, tidak masalah.
Tempe itu ia makan dengan lahapnya. Habis satu tempe.
Tempe kedua dia ambil, dibersihkan, lalu dilahapnya. Kali ini tanpa mengucap “belum lima menit.”
Dua tempe kotor yang dibersihkan dan dimakannya sudah habis. Bashe kembali terdiam dan berpikir. Apa yang dimakan kawannya saat ini. Ingin sekali ia berbagi tempe itu dengan kawannya.
***
Malam ini akan berbeda. Untuk pertama kalinya setelah 15 tahun yang terlewati di dalam Lapas, tidak akan ada lagi malam bersama kawannya.
Bashe masih gusar meski kantuk semakin menebal. Dalam hatinya ia bertanya, “Apakah dia juga gusar melewati malam ini, seperti dirinya yang harus melewati malam tanpa kawan?”
***
“Bangun, bangun. Dasar gelandangan. Pemalas. Ini sudah siang, Bangun.”
Ternyata si empunya suara adalah pemilik toko yang emperannya dijadikan tempat  Bashe tidur.
Bashe terkaget lalu segera berdiri. Ia mulai berjalan entah hendak ke mana dengan tenaga yang belum terkumpul benar.
Dalam keadaan setengah sadar, Bashe melihat kawannya berjalan di depannya. Bashe mengucek matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat memang kawannya. Bashe baru kali ini sadar ternyata kawannya selama ini tidak terpenjara. Dia bisa mengikuti Bashe ke mana pun dan akhirnya Bashe tak perlu risau. Rasa lega tumpah begitu saja karena Bashe dan kawannya bisa selamanya bersama. Tak ada lagi batas alasan untuk mereka selalu bersama.


Biodata Penulis
Ruly R, tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Litersi Kemuning. Kumcernya yang baru saja terbit berjudul Cakrawala Gelap dan Novel pertamanya yang akan segera terbit berjudul Tidak Ada Kartu Merah. Surat menyurat: riantiarnoruly@gmail.com

Cerpen : Lapas dan Malam Cerpen : Lapas dan Malam Reviewed by takanta on Juli 08, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar