Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh



Saat tengah malam, gempa membangunkan si Pembunuh dan istrinya yang tengah hamil besar. Gempa tersebut berlangsung selama kira-kira lima detik, membuat seluruh dinding rumah si Pembunuh dipenuhi retakan, hingga tampak seperti cangkang telur yang hampir dipecahkan oleh seekor anak ayam dari dalam. Lucunya, langit-langit pun lantai tak terluka sama sekali.
“Biaya renovasinya pasti akan amat mahal,” komentar si Pembunuh.
“Berapa orang yang mesti kau bunuh untuk memenuhi biaya renovasi itu?” tanya sang istri.
“Entah. Akan segera kupikirkan.”
Mereka memutuskan untuk lanjut tidur. Ketika si Pembunuh hampir kembali terlelap, mendadak ia mendengar suara-suara aneh dari seluruh penjuru mata angin, begitu dekat dengan dirinya. Tentu ia segera membuka mata. Dan, si Pembunuh mendapati roh-roh memasuki kamarnya melalui retakan-retakan di dinding; mereka tampak seperti cairan yang bisa melewati celah sekecil apa pun. Ia mengingat wajah seperempat dari roh-roh itu, yang tak lain adalah korban-korbannya terdahulu. Roh-roh lainnya pasti juga para korbanku, hanya saja telah kulupakan.
Sembari sarapan di ruang makan, si Pembunuh menceritakan pada istrinya soal roh-roh yang semalam ia lihat, roh-roh yang sang istri tak lihat karena tidur terlalu nyenyak.
“Tapi, ke mana mereka semua sekarang?” tanya sang istri.
“Entah. Mungkin mereka hanya muncul pada malam hari, seperti di cerita-cerita fiktif.”
“Maksudmu, malam nanti dan malam-malam seterusnya mereka akan muncul lagi?”
“Entah. Tapi toh aku tidak takut pada mereka. Kau juga, pastinya.”
Sang istri tampak menimbang-nimbang sejenak. “Mereka tidak akan melukai kita?”
“Tidak. Karena telah banyak roh yang kulihat, aku jadi bisa membedakan mana yang akan melukai, mana yang sekadar menakut-nakuti dengan menampakkan diri, atau mana yang sekadar lewat. Hantu-hantu yang semalam muncul adalah jenis kedua.”
“Bagaimanapun, sebaiknya kita segera merenovasi dinding-dinding rumah ini, jika memang mereka masuk melalui retakan-retakan itu. Apa kau mau persetubuhan kita disaksikan banyak roh? Tidakkah kau merasa risih, sekalipun tidak takut?”
“Ya. Pasti akan membuat risih.” Si Pembunuh mengembuskan napas berat. Lalu ia mengganti arah pembicaraan, “Lucu sekali kalau dipikir-pikir. Kenapa mereka masuk lewat retakan-retakan di dinding yang baru muncul semalam, alih-alih lewat ventilasi yang telah ada sejak rumah ini dibangun?”
“Mungkin faktor selera?”
Mereka tertawa terbahak-bahak.
***
Siangnya, seorang ahli bangunan berkunjung ke rumah mereka. Setelah mengamati dinding di seluruh ruangan, ia mengucapkan sebuah harga. Si Pembunuh pun berpikir, Setidaknya aku mesti membunuh tiga orang.
Sorenya, si Pembunuh menerima surat pemesanan untuk membunuh seorang gigolo muda. Menjelang malam, ia langsung berangkat menuju lokasi targetnya, dan sukses menyelesaikan tugas dengan tak terlalu sulit pada pukul sembilan malam. Pukul sepuluh malam di hari yang sama, ia berjumpa dengan orang yang memberinya order dan menerima bayaran di tempat. Dua jam kemudian, si Pembunuh memasuki rumahnya dan mendapati roh-roh telah memenuhi ruang depan, beterbangan di udara, umpama ikan-ikan di akuarium. Berdiri di depan pintu kamar, ia mendengar desahan-desahan sang istri. Ia merancap sebab tak sabar menungguku pulang. Begitu membuka pintu, kontan si Pembunuh dan istrinya menjerit kaget. Sang istri menjerit karena melihat si Pembunuh baru pulang; si Pembunuh menjerit karena melihat sang istri sedang bersetubuh dengan diri si Pembunuh yang lain! Diri si Pembunuh yang lain pun serta-merta berubah ke wujud aslinya: roh sang gigolo muda. Itu adalah pembalasan dendam paling menyakitkan yang pernah si Pembunuh terima dari korbannya.
***
Si Pembunuh berbisik pada istrinya, “Aku akan mengucapkan kode begitu aku-yang-asli pulang nanti. Kodenya: pisau jatuh dari langit.”
Sang istri bergumam, mengulang kode tersebut.
“Jika aku tak mengucapkan kode itu,” tambah si Pembunuh, “berarti itu bukan aku.”
Si Pembunuh pun pergi ke lokasi target pembunuhan selanjutnya, di sebuah rumah sakit. Menurut surat pemesanan yang diterimanya pagi tadi, targetnya adalah seorang dokter kandungan. Entah kenapa si Pemesan ingin dokter tersebut mati. Yang jelas, setelah membunuh sang dokter kandungan dan menerima bayaran dari sang pemesan, si Pembunuh langsung pulang dan mendapati sang istri, dikelilingi roh-roh yang berdansa-dansi bahagia, menangis tersedu-sedu di tempat tidur.
Pisau jatuh dari langit. Ada apa? Apa hantu-hantu membuatmu takut?”
Setelah bertanya demikian, tanpa sang istri menjawab, si Pembunuh tersadar bahwa perut wanita itu telah mengempis. Bakal bayi mereka lenyap entah ke mana, dan pembalasan dendam itu lebih menyakitkan ketimbang yang kemarin.
***
Sebelum menuju lokasi target pembunuhan berikutnya, si Pembunuh mengantarkan istrinya ke Penginapan X yang jauh dari rumah—dan tak terkena dampak gempa—yang tiap sisi dindingnya terbebas dari retakan. Tentu itu dilakukannya karena pembalasan dendam yang ditujukan pada orang-lain-yang-dicintai jauh lebih merepotkan ketimbang yang ditujukan pada diri sendiri. Lebih-lebih, ia diberi tahu bahwa target pembunuhannya kali ini adalah pensiunan pembunuh bayaran.
Dan, sesuai dugaan si Pembunuh, terjadi pertempuran sengit antara ia dan targetnya. Di akhir pertarungan, si Pembunuh kehilangan tangan kiri, sedang sang lawan kehilangan nyawa.
Tidak, itu bukan akhir pertarungan. Rupanya, korban si Pembunuh belum benar-benar kalah; sesaat kemudian muncullah rohnya, yang segera memberi serangan bertubi-tubi. Tapi tetap saja roh itu gagal menang, meski si Pembunuh telah benar-benar kelelahan. Bagaimanapun, sebelum roh itu mati, si Pembunuh mesti kehilangan tangan kanannya pula.
***
Para pekerja bangunan sedang menumpas retakan-retakan pada setiap sisi dinding di rumah si Pembunuh. Sementara itu, si Pembunuh diopname di sebuah rumah sakit sederhana—yang, telah ia pastikan, tak memiliki retakan sama sekali pada tiap sisi dindingnya—di dekat Penginapan X.
“Berjanjilah untuk tak membunuh lagi,” kata sang istri, ketika menjenguk suaminya untuk pertama kali, pada suatu pagi.
“Tentu. Aku juga tak akan mendapat surat pemesanan lagi begitu kondisiku diketahui oleh para pelanggan.”
“Kita akan sama-sama memikirkan cara lain untuk mencari uang.”
Seminggu berlalu, akhirnya sepasang suami istri itu sudah bisa beristirahat dengan nyaman di kamar mereka, di rumah yang setiap dindingnya tak dihiasi retakan sekecil apa pun. Tentu saja kemudian mereka bersetubuh untuk “mengembalikan” bakal bayi yang hilang, tanpa disaksikan roh-roh yang mengisi udara malam. Tiba-tiba, gempa bumi. Sekitar lima detik kemudian, mereka yang masih telanjang dan berada pada posisi menyenangkan pun tak lagi melihat dinding-dinding di sekeliling, melainkan roh-roh yang berdansa-dansi bahagia. (*)
 Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku pertamanya adalah antologi cerpen tunggal berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Kumpulan puisi Cara Mencintai Monster (2017) adalah buku keduanya. Buku ketiganya, berupa kumpulan puisi juga, berjudul Mencicipi Kematian (2018). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Bali Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co, dan lain-lain.
Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh Reviewed by takanta on Maret 29, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar