Puisi: Tamadun Semu


Tamaddun Semu

Dunia menjelma kubus kubus besar serupa permainan teka teki raksasa.
tidak ada musim
cuma ada prasangka dan kerlap kerlip lampu kota
sesaat naik ke atas, mengambang, lalu mencair
Cuaca telah membuat berpasang mata saling curiga.
Hujan yang kemarau
Kemarau yang huja
n
Terjadi saling tuduh, kiranya bayangan siapa menanamkan bencana.

1)
Aku tetap dan akan terus yakin di dunia yang nyaris tak nyata ini,
orang orang pulang pada-Nya membawa diri dengan berjalan bungkuk
memikul kepala berisi padat,
keringat siap menenggelamkan -kaku penyesalan.

2)
Di dalam diriku,
aku menciptkan ribuan pasang mata waspada:
sebelum sunyi paling ramai menyesap senyap dalam kesedihan
tangis dahulu pecah seusai tawa.

Aku bertanya pada diriku sendiri
Mengapa masjid sepi? zikir rodat para kiai telah usai barangkali,
Sementara pastor berhambur keluar dari gereja
do
a biksu menyisakan bisu
Vihara kehilangan aroma wangi kembang tujuh rupa
semua padam terbentur angin kemarau panjang

3)
Aku menyengajakan diri terpejam,
mimpi terbuat dari berjuta kelahiran bayi sejak purba.
Barangkali, aku satu satunya yang membenci diri sendiri
dan sering menangisi caci maki.
Tamadun, lekaslah punah dan diganti dengan perumpamaan baru
agar Tuhan tidak lagi diadu

Malang, 2019



Di Rumahku, Tuhan Datang Membawa Rindu.

Rin,
aku di rumah
bila kau juga sama sedang di rumah
aku tahu apa yang kamu kerjakan; membantu ibu, masak, bersih bersih, dan pasti kau tengah merindukanku

Rin,
semenjak korona menyerang
kita bergantung pada jarak atau kematian
sebab tiada yang bisa ditukar oleh nyawa
meski nyatanya jarak amat menyebalkan

Rin
kau tahu
jalan sepi
kios tutup
kampus sunyi
kota telah mati
meski rinduku masih abadi

Rin,
jaga diri
kita sedang berperang
melawan virus
kamu harus betah dalam rumah
dan melawan rindu
aku betah bersamayan dalam ingatan
saat sepatah kata belum sempat kuucap
sementara kau telah terburu buru minggat dari percakapan

Rin,
hanya pada pipi bulatmu
aku berani berkata:
Tuhan! aku tahu Engkau tak jahat, kau datang hari ini membawakan sepotong rindu
Untuk apa Tuhan?
tolong jika kau memang baik segera usaikan saja virus ini

ya benar Rin, aku tidak khawatir pada kesehatanmu
aku tahu kamu pandai meruwat diri
aku hanya takut hatimu telah menerima virus selain corona.

Dani Alifian, 2020.



Schuztassafel

aku hanya tak ingin melihat Hitler menangis lewat mimpi, semenjak kapitalis melenggang jauh, komunis melempem begitu saja


hidup hanya menunda takdir
menuju kematian
berjumpa Hitler.
Saatnya nanti,
aku berjumpa Hitler
di alam barzah
aku ingin menjadi garda terdepan
yang memekkikkan "revolusi" ,
agar Tuhan tahu di balik kematian Hitler,
ada peradaban yang lapuk
di makan usia.

Malang, 2020



Selena
:
di sana
Tuhan menanya Neil
Kapan kamu tiba Neil?
ia tidak menjawab
atau mungkin
ia tidak benar benar tiba

Tuhan lalu pergi
melihat Neil yang diam saja
- di dalam Kamar
- dalam latar fiktif

Neil pergi ke depan laptop
membuka aplikasi editing foto
ia ingin memotret Tuhan
yang dijumpainya saat berada di bulan
- di dalam Kamar
- dalam latar fiktif

Neil memberitahu kan pada dunia
ia telah sampai di bulan
bertemu Tuhan
tapi, Tuhan buru buru pergi
saat Neil baru akan menjawabnya
- di dalam Kamar
- dalam latar fiktif

seluruh dunia pun percaya
dan lebih percaya pada Neil
dari pada Tuhan

Malang, 2020



Moksa

Saat diriku terlampau kembara,
mencari dari yang kian jauh diri,
Perhitungan kian tak jelas;
seberapa berat pahala dan dosa dalam sehari semalam,
sebab antara petang dan sinar sulit dibedakan
Linglung dan sadar sulit dinarasikan
Adalah kerinduan pada
Mu,
di penghujung tahun yang semu.

ini adalah minggu terakhir
sebelum Tuhan tutup usia,
mengelupaskan dirinya menjadi sesuatu yang baru.

Beberapa jeda mendatang
bumi yang angker memekakkan dirinya pada ku.
Apakah yang telah kau lakukan selama 2434 hari itu.

Malang, 2020



Biodata Penulis:

Dani Alifian, lahir di Situbondo 7 Desember 1999. Seorang penulis dan pembaca yang gemar mencorat corat notes di gawai. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswa semester 4 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang.
Aktif sebagai pelapak buku lapak baca gerilya literasi. Buku pertama kumpulan puisi berjudul “Harta, Tahta, Wanita (2019)”, buku kedua kumpulan cerpen bersama dua orang teman berjudul “Jangan Ambil Jari Manisku (2019)”, buku ketiga kumpulan esai berjudul “Idealisme Telur Setengah Matang (2020)”. Menjadi partisipan di beberapa organisasi. Di IMABSII sebagai department sosial yang tidak sosialis. Menulis dibeberapa media cetak dan daring berskala lokal. Dan sering celoteh pada blog pribadi: bacotsam.wordpress.com. Dapat dihubungi melalui Instagram @dani_alifian, Twitter: @danialifian, dan Facebook danialifian.




Puisi: Tamadun Semu Puisi: Tamadun Semu Reviewed by takanta on Juli 19, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar