Membaca atau Merayakan Kebodohan


Tidak ada penulis yang baik jika tidak diawali dengan pembaca yang baik. Aneh rasanya jika menulis tanpa membaca, begitupun sebaliknya. Dua hal ini adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Kita hanya memerlukan ketersedian waktu untuk melakukan dua hal tersebut.  Dan dua kegiatan intelektual ini yaitu membaca dan menulis adalah tradisi lama yang sudah mulai di tanggalkan dengan manusia zaman now.
Oleh : Imam Sofyan
Pramoedya Ananta Toer adalah contoh penulis beken yang melaksanakan membaca dan menulis. Saat menulis Panggil Aku Kartini, Pramoedya menyewa becak untuk meminjam buku di perpustakaan Jepara. Tentu saja yang berkaitan dengan Ibu Kartini. Hasilnya? Karya-karya Pramoedya bisa kita jamah hingga kini. Lebih dari itu karya Pramoedya banyak diterjemahkan ke bahasa-bahasa asing. Dan masih banyak lagi contoh penulis yang berawal dari pembaca yang baik. Layaknya anda menimba air di sumur, anda tak akan merasakan kesegaran jika air yang anda dapatkan tidak digunakan untuk mandi. 
Membaca buku merupakan kegiatan yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak aneh bin ajaib, setiap kata di dalam buku melompat-lompat kedalam pikiran si pembaca, setiap kata akan berlari dan berjalan ke dalam pikiran. Dan akan memiliki tempat dalam otak si pembaca.  Anda akan dibawa jalan-jalan ke dunia fantasi menapaki lorong-lorong kerlap-kerlipnya lampu oleh sebuah buku jika anda membacanya. Aktifitas membaca akan berdampak hebat terhadap otak pembacanya, karena di saat membaca otak akan aktif berpikir dan berusaha mengingat setiap kata di dalam buku.
Sayangnya banyak pelajar yang lupa bahwa membaca adalah tonggak utama dalam membangun sebuah peradaban. Hal demikian dapat dibuktikan dengan beberapa para pendiri bangsa Indonesia yang tak pernah lepas dari buku. Soekarno, Bung Hatta, Sjahrir dan lain-lain. Di Digul tempat pembuangan orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah tempat yang sarat dengan penyakit malaria, demam berdarah dan sakit jiwa. Untuk kabur sekalipun mustahil. Harus melewati laut beribu-ribu kilo itupun jika sampai daratan ada tentara Belanda yang menanti.  Tetapi itu tak berlaku bagi Bung Hatta yang sibuk dengan membaca buku. Konon, setelah pengadilan memutuskan Bung Hatta dibuang ke Digul ia membawa buku-bukunya dari rumah dua peti. Saat masa pembebasannya pun Bung Hatta masih sibuk dengan urusan buku tersebut.
Lantas bagaimana dengan pelajar masa kini?
Koran harian Jawa Pos Senin 7 Juli 2014 pernah memuat tulisan berkaitan siswa negera lain dengan bangsa Indonesia. Sejak 1998-2008 siswa di Thailand Selatan, Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam wajib membaca bukudalam rentan waktu tiga tahun 5-7 buku. Swiss, Rusia, Kanada, Jepang dan Jerman 12-22 buku. Prancis, Belanda dan Amerikan Serikat 30 buku. Di Indonesia tahun 1929-1942 siswa SMA wajib membaca 25 buku. Tahun 1942-2008 hanya membaca nol buku.
Hasil survey organisasi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) 2010, minat baca orang Indonesia hanya 0,1 buku pertahun. Angka itu sangat rendah di banding minat baca rata-rata Negara ASEAN, 2-3 buku pertahun. Bahkan angka itu masih sangat kecil dibanding negara-negara maju seperti Jepang 10-15 buku, 20-30 pertahun negara Amerika (Kompas, Jum’at 12 September 2014)
Jika sudah demikian, masa depan apa yang akan dibangun oleh pelajar masa kini? Apa yang bisa diharapkan dari pelajar masa kini? Apa lagi yang bisa di harapakan oleh pelajar yang jauh dari pengetahuan? Jika pelajar masih terus berdiam atau terlalu asyik dengan gawai atau dengan media sosialnya sebaiknya mulai saat ini kita merayakan kebodohan bersama-sama dan secara gebyar. Kelak, perayaan ini akan menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. Minimal perayaan itu pula yang bisa kita berikan bagi nusa dan bangsa. Sekian.
Membaca atau Merayakan Kebodohan Membaca atau Merayakan Kebodohan Reviewed by takanta on Januari 15, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar