Cerpen - Bashe



Bashe berlari tergesa, kepalanya menubruk pintu dengan keras. Pintu yang hanya terbuka sedikit kini menganga karena tubrukan itu. Bashe kibaskan ekornya dengan kencang, tubuhnya bergoyang lembut membuat air yang menempel di tubuhnya melompat sedikit demi sedikit. Cukup lama dia melakukan itu lalu mulai melangkahkan empat kakinya dengan berjinjit seperti maling yang mau masuk rumah korbannya. Mata Bashe menatap tubuh yang duduk di bangku. Dia tahu itu adalah tuannya yang memang suka menghabiskan waktu di ruangan ini. Perlahan Bashe mendekati tubuh tuannya, bau yang segar menyengat indra penciumannya. Bashe, masih dengan langkah mengendap coba mendekati tubuh tuannya, tapi belum sampai pada tujuan yang dikehendakinya, seekor tikus berlari cepat di sampingnya. Tanpa aba-aba dan perintah dari siapapun Bashe langsung memburu tikus itu. Memang tikus menjadi mangsa sekaligus musuh bebuyutan Bashe dan sebangsanya, tapi lebih dari itu, dia ingin memberi bukti kepada tuannya bahwa dia masih bisa diandalkan untuk menangkap tikus, agar tuannya kembali percaya kepada Bashe seperti dulu, ketika dia masih sigap dan kakinya kuat untuk berlari dan menangkap tikus-tikus yang ada di rumah itu.
                                                                        ***
“Keparat! Kalau begini terus bukuku habis semua. Kau harusnya tangkap tikus itu,” ucap tuannya sembari menatap Bashe. Mata si tuan merah menyala dibakar marah sembari jari telunjuknya diarahkan kepada Bashe. Dia hanya mengeong menanggapi dampratan dari tuannya. Tubuh Bashe yang semula jingkrung kini tegap ditopang empat kakinya bagai prajurit yang sedang latihan baris di barak. Itu adalah dampratan pertama si tuan kepada Bashe dan hal itu masih jelas melekat dalam ingatan Bashe. Tentu dia tak akan pernah lupa. Bak sebuah rentetan peluru yang berdesing di medan perang, dampratan itu adalah pembuka dari rentetan-rentetan dampratan lainnya.
Kali kedua Bashe dimarahi tuannya terjadi saat Azan Maghrib baru saja berkumandang dan di luar rumah hujan turun dengan deras. Saat itu, dengan pakaian kuyup, si tuan memasuki rumah dan Bashe langsung berlari menghampiri tuannya. Bashe  mengeong menyambut tuannya, Bashe terus saja mengeong yang mungkin saja sebagai tanda bahwa Bashe lapar dan meminta makanan pada tuannya. Tapi semua itu tak dihiraukan oleh tuannya. Bukan makanan atau belaian halus yang Bashe terima dari si tuan melainkan tendangan kaki kanan si tuan yang tepat mengenai lambung Bashe. Tubuh Bashe terpelanting jauh, mentok di salah satu kaki meja ruang depan, Bashe mengeong pelan, menahan rasa sakit yang diterimanya dari si tuan. Tubuh Bashe ditekuk, dia tak kuat untuk berlari. Jangankan untuk itu, hanya berdiri saja Bashe sudah tak mampu lagi saat itu.
                                                                        ***
“Tidak ada makanan hari ini. Cari sendiri sana!” bentak si tuan kepada Bashe. Masih dengan setianya menahan rasa sakit, mata Bashe layu menatap tubuh tuannya yang berlalu dan masuk ruang perpustakaan pribadinya.
Saat mendapatkan rasa sakit itu ingatan Bashe berkeliaran pada masa lalunya yang dilalui bersama tuannya. Dulu, saat pertama kali Bashe dipungut dari jalanan, si tuan sangat baik kepada Bashe. Makanan tak pernah kurang untuk Bashe. Bahkan dulu, Bashe punya kandang dan bantal yang diberikan oleh tuannya. Semua yang ada dan diterima Bashe tidaklah gratis. Satu syarat yang harus dipenuhi Bashe adalah setiap hari harus menangkap tikus dan diserahkan kepada tuannya. Bashe tak tahu kenapa tuannya begitu menginginkan tikus setiap hari. Apa karena memang tikus di rumah ini begitu banyak dan suka merusak benda milik tuannya, sehingga tuannya membenci binatang pengerat itu? pikir Bashe sekali waktu dan hal itu tak terlalu dipedulikan Bashe. Dia hanya tahu bahwa ada tikus yang disetorkan berarti tuannya senang dan tentu saja ada makanan untuknya, namun makanan untuk Bashe bukanlah tikus hasil buruannya.
                                                                        ***
Tikus berlari cepat, belok kanan lalu belok kiri dengan tangkas. Bashe sedikit kalah dalam lari, kakinya sudah tak cukup kuat untuk melakukkan hal itu. Dengan menahan berat badannya dan napas yang terengah tekadnya dikuatkan dan dibentuk selayaknya tubuhnya. Saat mengejar tikus itu, pikiran Bashe berkelindan dengan kata-kata tuannya di hari yang telah lalu.
“Bangun sialan! Cepat tangkap tikus. Kalau kau tidak bisa, enyah saja kau dari rumah ini.” Begitulah, kata-kata tuannya yang jelas diingat Bashe. Bashe tahu itu bukan sekadar ancaman. Pasti tuannya benar-benar mengusir Bashe jika dia tak bisa menangkap tikus. Kata-kata itu seakan terus mengejar Bashe, layaknya yang dilakukan Bashe pada si tikus. Bashe takut jika diusir dari rumah tuannya, dia tak mau jika harus kembali ke jalanan dan harus bersaing dengan kucing-kucing lain yang tentu saja lebih liar dan sigap dalam memburu mangsa.
Bashe terus mengejar si tikus yang dengan cepat berlari dan terus saja bercericit. Cericitan itu dianggap Bashe sebagai hinaan untuk dirinya. Hinaan itu menjadi dendam bagi Bashe dan menambah motivasinya untuk menangkap si tikus, selain itu Bashe juga punya misi supaya tikus itu ditangkapnya. Bashe ingin tuannya kembali percaya bahwa dia masih bisa menangkap tikus.
Tikus masih saja berlari, seakan menjamah setiap inchi lantai ruangan itu. Bashe terus mengejar hingga terpaksa dia harus berhenti. Bukan karena Bashe merasa lelah dan menyerah, melainkan tikus itu masuk ke kolong rak buku yang tepat ada di pojok ruangan itu. Ingin Bashe menerobos dan masuk ruangan itu tapi dia tidak bisa. Tinggi kolong itu kira-kira empat centimeter dan Bashe-meski hanya kepalanya saja tidak bisa masuk ke situ. Tikus yang ada di kolong kian berisik bercericit. Bashe merasa dihina namun tidak ada hal yang bisa dilakukannya selain menunggu agar tikus itu keluar dengan sendirinya. Bashe dengan empat kaki yang tegak terus menunggu agar tikus itu keluar dari tempat persembunyiaannya. Cukup lama Bashe menunggu hingga akhirnya dia merasa lelah. Ingin beranjak pergi dari tempat itu, namun Bashe berpikir itu adalah satu-satunya dan harapan terakhir agar dia tak terusir dari rumah ini. Dia dengan tubuh yang merasa lemas, Bashe memutuskan untuk menekuk empat kakinya dan mengambrukan tubuhnya di lantai. 
                                                            ***
Sinar matahari menyapa tubuh Bashe dan membangunkannya. Kepalanya berputar, matanya melihat sekeliling. Tak ada rak yang penuh dengan buku yang bertumpuk, tak ada tubuh tuannya. Tak ada apapun dan siapapun, karena memang hari-hari Bashe dilaluinya seperti itu sejak dulu, sejak dia dilahirkan dan entah siapa ibu dan bapaknya. Dirasakan Bashe, bukan hidup di luar rumah yang berbahaya dan menjadi ketakutannya, namun hati dan pikiran yang kesepian yang dapat membunuhnya dengan perlahan dan pasti. Sekalipun itu di dalam rumah. []

Ruly R
Tergabung dan aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Literasi Kemuning. Bisa dihubungi lewat riantiarnoruly@gmail.com.


Cerpen - Bashe Cerpen - Bashe Reviewed by takanta on Maret 11, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar