Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme


POLITIK AGRARIA DI INDONESIA
Petani Vs Negara dan Neoliberalisme
Penulis : Agus Hiplunudin
Tebal Buku : 164 Halaman
ISBN   : 978-602-51648-3-5
Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki arti yang begitu penting, memiliki nilai ekonomi—dimana tanah adalah sumber produksi. Selain dari itu, tanah memiliki nilai-nilai sosial, budaya, politis, dan juga spiritual. Khusus tentang persemayaman terakhir pada umumnya manusia Indonesia di manapun mereka berada, jika ia mati—mereka berwasiat; bahwa dirinya ingin dikebumikan di tanahnya sendiri.
Adapun temuan penelitian yang dilakukan oleh White, Wirdadi dan kawan-kawan yang kemudian dituangkan dalam buku yang berjudul “Ranah Studi Agraria Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris”: dimana pada permulaan abad ke-20 sudah terdapat suatu tingkat ketunakismaan yang cukup tinggi di daerah Cimanuk: 36% dari rumahtangga tidak memiliki tanah pertanian. Angka ketunakismaan yang paling rendah terdapat di Sumedang (9%) sedangkan yang tertinggi terdapat di Indramayu (50%); angka terakhir akan menjadi lebih tinggi lagi kalau ditambah dengan persentase pemilik tanah di Indramayu yang telah menggadaikan tanah mereka seluruhnya (8%) sehingga secara praktis mereka tidak menguasai tanah lagi.
Begitu pentingnya kepemilikkan tanah itu bagi manusia, sebab manusia perlu ruang untuk hidup, dan perlu rumah tempat bernaung dari panas dan hujan—dan rumah itu notabene didirikan di atas permukaan tanah. Selain dari itu di atas tanah pula aneka tumbuhan ditanam darinya terlahir beranekaragam bahan pangan, begitu pula dalam perut bumi tersimpan aneka keberlimpahan kekayaan yang begitu menakjubkan—emas, minyak bumi, tidur nyenyak di dalam perut bumi itu. Terkait hal tersebut ada cerita menarik dari saya; Suatu ketika kala tengah hari, saya duduk di pos kamling kampungku, tatapan saya tertarik oleh suatu pemandangan yang menurut saya sedemikian janggal; terlihat beberapa perempuan memunguti sampah pelastik di tumpukan sampah pinggir jalan, kemudian saya tanya salah satu dari mereka; Kunaon Ibu Mulungan Runtah Palastik (Bahasa Sunda) =kenapa Ibu memunguti sampah pelastik itu? Dan ia menjawab; hal itu ia lakukan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sampah pelastik itu ia kilo ditukarkan dengan uang. Saya tanya kembali; Kunaon Ibu teu jadi tani bae?= kenapa Ibu tidak bertani saja? Ia menjawab; bahwa ia tak lagi memiliki tanah. Saya menohok, saya tersadar bahwa saat ini banyak penduduk desa yang telah kehilangan tanahnya. Tanah mereka dijual pada para pemilik modal sejalan dengan proses industrialisasi di desa baik perkebunan maupun industri, ada pula karena suatu keperluan—tanah mereka digadaikan (di antaranya ada yang tidak tertebus lalu dilego), atau dijadikan jaminan ke bank-bank yang kini mulai marak di perdesaan (di antaranya karena penduduk desa tak dapat melunasi hutangnya ke bank, dengan terpaksa mereka menjual tanahnya untuk melunasi hutang tersebut). Fenomena kehilangan hak milik tanah di perdesaan bukan hanya membuat para penduduk desa kehilangan sumber rezeki, lambat-laun mereka menjadi kaum tunawisma, mereka tak lagi memiliki rumah tempat bernaung—mereka terusir dari kampung halamannya sendiri atau paling tidak mereka menjadi gelandangan di kampung halamannya sendiri. Tragis memang.
Persoalan yang muncul dan karenanya harus disikapi secara serius yakni menyangkut pengangguran (unemployment) dan kurangnya pekerjaan (underemployment) merupakan dua persoalan paling serius yang sedang dihadapi oleh para perumus kebijakan di Indonesia pada masalalu dan masa kini.
Adapun buku Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme bercerita tentang: Pada Bab 1 Pendahuluan pertama-tama mengupas mengenai Latar Belakang Persoalan, di dalamnya dinarasikan mengenai isu-isu; Agraria, Hak Ulayat dan Masyarakat Adat, Hukum Adat dan ditutup dengan pembahasan mengenai Politik Agraria. Pada Bab 2 membahas tentang Penguasaan Agraria dan Gerakan Petani di dalamnya termuat mengenai Penguasaan Agraria, Gerakan Sosial Petani, Teori Moral Ekonomi Scottian, Teori Kritik Popkin ditutup oleh pembahasan State of Art Hegemoni Kekuasaan. pada Bab 3 dibahas mengenai Reklaiming Petani dan Neolib. Selanjutnya Bab 4 mengupas mengenai Perempuan dan Konflik Agraria dan Bab 5 sebagai penutup dikupas mengenai Agraria di Desa Tanah untuk Rakyat.

Biodata Penulis
Penulis adalah pengarang buku “POLITIK AGRARIA Petani Vs Negara dan Neoliberalisme” sekaligus dosen STISIP Setia Budhi Rangkasbitung. Alamat Sekarang: Perum Persada Banten Blok D3 No.1, Kelurahan Teritih, RT 06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com
Fb : @Agus Hiplunudin
Phone : 081-774-220-4
Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme Politik Agraria Petani Vs Negara dan Neoliberalisme Reviewed by takanta on Maret 30, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar