Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials



Oleh: : Agus Hiplunudin
Generasi Millennial
Generasi millennials kini tengah santer diperbincangkan, sebab keberadaan mereka dihadapkan pada dua sisi yang saling berbeda, pada satu sisi mereka menghadapi realitas sosial yang real (nyata) namun di sisi lain mereka dihadapkan pada realitas absurd atau realitas tak nyata yang kemudian diistilahkan sebagai dunia maya.
Dunia maya secara praktis diidentikkan dengan perkembangan teknologi terutama internet. Lantas pertanyaan yang kemudian muncul; siapakah generasi millennials itu?  Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980- 2000-an. Millennials sendiri dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi.
Generasi millennials memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV berwarna, handphone juga internet sudah diperkenalkan. Sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi. Di Indonesia sendiri dari jumlah 255 juta penduduk yang telah tercatat, terdapat 81 juta merupakan generasi millenials atau berusia 17- 37 tahun. Hal ini berarti Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk membangun negaranya. Tapi, kemanakah mereka pergi? Apakah mereka bersembunyi?
Sungguh tidak, jika kita melihat ke dunia sosial media, generasi millennials sangat mendominasi jika dibandingkan dengan generasi X. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi millenials belum banyak yang sadar akan kesempatan dan peluang di depan mereka. Generasi millennials cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial di sekitar mereka seperti dunia politik ataupun perkembangan ekonomi Indonesia. Kebanyakan dari generasi millenials hanya peduli untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme. Memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu idealistis, yang penting bisa gaya (Rumah Millennila.com, 2017).
Demikianlah generasi millennials, dengan perkembangan teknologi iniformasi sehingga generasi millennials berkecenderungan hidup secara invidualis, tidak lagi peka pada lingkungan sosial, mereka terbiasa dengan teknologi internet (akun media sosial yang mereka miliki). Lantas bagaimanakah eksistensi ideologi negara, Pancasila?
Pertanyaan ini cukup menggelitik, ditinjau dari perkembangannya dimana generasi millennials dengan teknologinya berkecederungan hedonis, mereka nyaris tidak ada waktu untuk memikirkan lingkungannya, apalagi memikirkan Pancasila—yang mungkin dirasakan oleh mereka hanya sekedar simbol negara belaka, tentunya hal ini merupakan penanda bahwa rasa nasionalisme pada generasi millennials telah susut atau bahkan terhapuskan. Hal tersebut menandakan bahwa eksistensi pancasila pada generasi melennials teleh luntur atau bahkan hilang.

Pancasila dan Nasionalisme
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, karena ideologi atau ide ideal maka secara otomatis Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari serta Pancasila tertuangkan sebagai sumber dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Pancasila memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyemangati suatu kenyataan kultural; dimana bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam terdiri dari banyak suku sehingga melekatlah reputasi bahwa Indonesia merupakan bangsa multikultural. Namun, dengan semangat kebinekaan yang dipersatukan maka keberagaman itu menjadi satu pula, yakni: NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Sultan Hamengku Buwono X, dalam kumpulan makalah Kongres Pancasila IV menyatakan: Pancasila adalah dasar negara, ideologi bangsa dan falsafah serta pandangan hidup bangsa, yang di dalamnya terkandung nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Selain itu Pancasila sebagai ideologi terbuka setidaknya memiliki dua dimensi nilai-nilai, yaitu nilai-nilai ideal dan aktual. Namun nilai-nilai itu kondisinya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawa globalisasi, sehingga berdampak terjadinya pergeseran peradapan, yang juga membawa perubahan pemaknaan dan positioning Pancasila (Ana, 2017).
Lebih lanjut, dimana internalisasi nilai-nilai Pancasila perkembangannya akan berbarengan dengan tumbuh kembangnya nasionalisme. Dalam hal ini nasionalisme dapat dimaknai sebagai kecintaan pada negara sendiri, dan kecintaan tersebut di atas kecintaan terhadap diri sendiri maupun golongan sendiri.
Nasionalisme berarti juga menyatakan keunggulan suatu kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Menurut Michel Riff, istilah nasionalis dan nasional, berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir”. kadangkala istilah ini tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani etnik. Namun istilah etnik ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Riff, 1995).
Sementara itu, L. Stoddard dan Hans Kohn (Yatim, 2001), menjelaskan bahwa nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa. Nasionalisme baginya bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Pada era millennials dimana generasi saat ini disibukan oleh apa yang terpampang di dalam media digital, terutama media sosial dan sejenisnya. Hal tersebut membuat generasi kita berkecenderungan untuk hidup secara individualis, tidak lagi terserat perasaan saling memiliki sehingga mereka tidak lagi saling bantu atau tolong-menolong. Dalam hal ini paling tidak ada tiga nilai Ideologi Pancasila yang harus dijabarkan dalam kondisi masyarakat yang individualisme yakni nilai gotong royong, tolong-menolong, dan tolernasi. Jadi gotong royong sebagai kegiatan untuk menyelesaikan persoalan secara bersam-sama. kemudian, nilai tolong-menolong berkaitan dengan rasa simpati dan empati sesama warga masyarakat terutama yang menghadapi kesulitan hidup, dan nilai toleransi untuk menjaga keakraban antar sesama warga baik dalam hal suku, ras dan agama.
Karena itulah penanaman nilai-nilai atau internalisasi salah satunya dengan cara memupuk gotong-royong di perkampungan-perkampungan, sehingga nilai-nilai Pancasila dapat tersosialisasi pada masyarakat, yang berdampak menyadarkan mereka sebagai makhlus sosial, bukan makhluk dindividualisme—yang berpandangan bahwa persoalan hidup dapat diselesaikan secara sendiri sendiri, dengan gotong-royong mari kita rajut kembali ke-Indonesia-an kita.


Daftar Pustaka
Riff, Michael A. 1995. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M.
Miftahuddin dan Hartian Silawati. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.

Daftar Rujukan Lain
https://rumahmillennials.com/siapa-itu-generasi-millenials/ akses: 2017
Irhandayaningsih, Ana. Tanpa Tahun:
https://media.neliti.com/media/publications/5021-ID-peranan-pancasila-dalam-menumbuhkan-kesadaran-nasionalisme-generasi-muda-di-era.pdf. Akses, 2017

https://www.suwaibamiruddin-saf.org/stisip-setia-budhi-launching-kampung-pancasila/ akses 2017

Tentang Penulis
Agus Hiplunudin 1986 lahir di Lebak-Banten, adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung sekaligus sebagai Kepala Studi Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Pancasila STISIP Setia Budhi Rangkasbitung-Banten Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni: Politik Gender 2017, Politik Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi 2017, Politik Era Digital 2017, Kebijakan Birokras dan Pelayanan Publik Suatu Tinjauan Kritis Ilmu Administrasi Negara 2017, dan buku Filsafat Eksistensialisme 2017 diterbitkan oleh Graha Ilmu Yogyakarta. Keilmuan yang sekarang ditekuni, yakni; Ilmu Politik, Filsafat, Pelayanan Publik, Ilmu Budaya, Kebijakan Publik dan Kewarganegaraan.
Alamat Sekarang: Perum Persada Banten Blok D3, N0.1. Kelurahan Teritih, RT 06/07 Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Banten. Email : agus.hiplunudin@yahoo.com, Hp : 081-774-220-4, facebook         : Agus Hiplunudin.


Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials Reviewed by takanta on Maret 07, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar