Refleksi Harjakasi: Prostitusi Mesti Lenyap dari Kota Santri


pixabay.com
Oleh: Dani Alifian*
Saya tengah iseng mencari rekam jejak digital kabupaten tempat kelahiran ini. Berhubung di grup Info Literasi Situbondo tengah ramai membicarakan tentang Harjakasi (Hari Setengah Jadi) Kabupaten Situbondo, akhirnya saya memutuskan untuk sejenak memberikan refleksi pada segenap elemen masyarakat Situbondo. Saya terkejut tatkala artikel yang muncul teratas berjudul Dinsos Bandung Pantau 12 Gadis yang Dipaksa Jadi PSK Situbondo”. Miris, yang saya temukan tidak sesuai harapan saat melakukan pencarian di google yang keluar justru tentang praktik prostitusi.
Saya ingin bercerita sedikit. Pada masa kolonial, Situbondo terkenal berkat Panarukan sebagai batas jalan beraspal garapan Sir Deandless. Saat ini masyarakat Situbondo menamakan kotanya sebagai kota santri. Hampir setiap sudut Kabupaten Situbondo akan ditemui pesantren, dengan suasan tenang nan Islami begitu yang tampak di mata.
Situbondo, sebagai kota santri tentu memiliki tanggung jawab moral yang berat. Representasi santri harus benar benar tergambar dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula saat didatangi pengujung. Keramah-tamahan menjadi corong utama penguat gelar kota santri.  
Namun, sebutan kota santri nampaknya tercemari akibat berita miring tentang gembong prostitusi tersebut. Memang perlu diakui, perhatian terhadap praktik tersebut di Situbondo sudah dilakukan, meskipun saya rasa masih kurang maksimal.
Beberapa gembong hiburan “malam” yang dikenal luas oleh masyarakat Situbondo seperti diabaikan begitu saja. Masyarakat seolah sudah biasa, bahkan bukan rahasia umum lagi mengenai tempat praktik prostitusi. Tentu jika hal ini diketahui oleh masyarakat luas di luar Kabupaten Situbondo akan menyebabkan citra buruk terhadap gelar Situbondo sebagai kota santri.
Dari hasil penelusuran yang saya dapat ada beberapa eks-lokalisasi yang ternyata masih beroperasi hingga kini. Gunung Sampan, Nyiuran, sebelah pom bensin Tamporah Besuki. Itu yang saya ketahui. Tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa yang lain. Dalam hal ini perlu dipertanyakan mengenai keseriusan berbagai lapis masyarakat Situbondo. Karena masalah sosial prostitusi tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah semata, tetapi perlu adanya keterlibatan dari seluruh masyarakat Situbondo untuk sadar diri akan tanggung jawab moral sebagai kota santri.
Salah satu penyebab merebaknya praktik prostitusi adalah kesejahteraan sosial masyarakat yang kurang terjamin. Pekerja prostitusi bisa jadi adalah pelarian dari ketidaktersedianya lapangan kerja. Jika pemerintah Situbondo membuka lapangan pekerjaan secara luas beserta upah yang layak pada masyarakatnya, tentu akan membantu memperkecil angka praktik prostitusi.
Mengapa Tempat Prostitusi Perlu Ditutup?
Dahulu prostitusi lahir sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Ada keinginan dan kepuasaan dibaliknya. Ada kemiskinan dan ratap tangis dalam kenistaannya. Tapi, harus ada kewajiban elemen masyarakat untuk turut membumi hanguskannya.
Mengingat juga prostitusi bukan pekerjaan, sebab prostitusi adalah pelarian dari ketidakmampuan seorang perempuan untuk mencari pekerjaan. Julie Bendel pendiri Justice for Women berpendapat bahwa bagian dari tubuh perempuan bukanlah tempat bekerja.
Alasan pertama tentu rasa malu pada status yang sudah dikenal luas sebagai kota santri. Kota yang seharusnya bebas dari keadaan sosial kurang tepat, kota yang masyarakatnya harusnya arif dalam berbagai hal. Prostitusi selain memang dilarang dalam agama, juga menjadi gembong dari kehidupun sekuler-liberal. Kebebasan yang seharusnya perlu ditekan agar tidak kelewat batas.
Menutup tempat prostitusi tentu bukan hal mudah. Tempat prostitusi selalu memiliki jalan lain untuk muncul kembali. Memberantasnya tidak bisa pula dengan hanya menggusur tempat dan pemberlakuan kekerasan. Itu tidak akan menimbulkan efek jera. Perlu adanya suatu rehabilitasi yang juga turut melibatkan masyarakat umum, sehingga praktik prostitusi benar benar berkurang bahkan tidak ada.
Disamping itu, peran pemerintah dalam hal ini harus lebih maksimal. Kewajiban untuk memberantas tempat tempat tidak senonoh mesti lebih rapat dilakukan. Karena selama ini yang saya tahu kawasan lokalisasi masih tersebar luas dan pemerintah seolah tutup mata. Beberapa kawasan yang sempat ditertibkan, tidak bertahan lama praktik prostitusi kembali terjalankan.
Solusi terdekat dengan memberikan pekerjaan yang besifat kreatif kepada eks pekerja seks komersial adalah langkah yang paling tepat. Ketika disibukkan kepada hal lain, sedikit demi sedikit nafsu juga turut terkikis. Jika hal ini tidak kunjung jadi perhatian, dan dibiarkan begitu saja, maka bersiaplah kota santri tinggal hanya tinggal nama.
*) Penulis merupakan Redaktur Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP UNISMA.

Refleksi Harjakasi: Prostitusi Mesti Lenyap dari Kota Santri Refleksi Harjakasi: Prostitusi Mesti Lenyap dari Kota Santri Reviewed by takanta on Agustus 16, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar