Zaidi dan Kisah Seorang Wali



Oleh: Muhammad Badrul Munir*
Zaidi adalah seorang pemuda biasa-biasa saja. Ia tak kaya, pun tak rupawan. Perawakannya tinggi kurus, kulit gelap, dengan rambut gondrong melewati bahunya. Saban hari aktivitasnya hanyalah mondar-mandir ngopi dari rumahnya di Mangaran ke Rumah Baca (RB) Damar Aksara, atau ke kafe Suntree, atau ke Nine Cafe. Kecuali ada undangan acara, begitu-begitu saja rutinitasnya. Tak ada yang istimewa.
Ia dikenal sebagai penulis, meminjam istilah sang adek  Wilda Zakiyah, (yang boleh dikata) penulis nasional. Selain penulis, Zaidi juga dikenal sebagai budayawan muda. Meski muda, ia disebut-sebut menempati maqam yang tinggi di kalangan budayawan Situbondo. Konon maqamnya nyaris mendekati almarhum Mbah Kutunuk, Allahummaghfirlahu. Mungkin jaraknya sedekat hubungannya dengan Wilda Zakiyah, si penulis perempuan muda berbakat yang kabarnya saat ini mendapat ‘bimbingan’ langsung dari Zaidi. Walaupun begitu, status kepenulisan Zaidi ataupun maqam kebudayawanannya yang konon tinggi itu bagi saya tetap biasa-biasa saja. Sekali lagi, tak ada yang istimewa.
Tapi ada satu hal dari Zaidi ini yang menurut saya sangat istimewa. Ia tahan banting terhadap olok-olokan teman-temannya, se-jhubet apapun olokan itu. Tak pernah saya jumpai ada tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Bahkan sejak mengenalnya, saya tak mampu membedakan raut wajah Zaidi saat sedih, bahagia, terharu ataupun marah. Ini olah batin tingkat tinggi!
Zaidi juga tak pernah saya jumpai melakukan counter attack, baik dengan model Tiki-taka yang lambat namun mematikan ala Barcelona maupun Hit and Run yang cepat dan menyengat ala tim-tim Liga Inggris, untuk membalas olok-olokan teman-temannya. Bahkan, jikapun olokan itu menyangkut sesuatu yang sangat menyakiti perasaannya, yaitu kejombloannya yang purba dan akut. Ia tetap tak bergeming, kokoh seperti pertahanan Grendel ala tim-tim Italia. Sikap seperti itu hanya dimiliki orang-orang yang istimewa.
Saya kemudian teringat kisah Syekh Abdurrahman Baljahaban, salah seorang waliyullah di Hadramaut Yaman. Beliau wali yang tak sadar atas kewaliannya. Allah mengangkatnya menjadi wali karena sikapnya menghadapi istri yang cerewet. Setiap hari selama berpuluh-puluh tahun, omelan istrinya yang makjleb dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Tidak sedikitpun beliau membalas sikap istrinya dengan sikap yang sama. Hingga suatu ketika beliau merasa bosan dan ingin cuti dari rutinitas omelan istrinya. Maka beliau mengajukan izin cuti kepada istrinya untuk berkhalwat di suatu tempat yang jauh. Izin diberikan, tentu setelah Syekh Abdurrahman diomeli habis-habisan oleh sang istri. Beliaupun berangkat dengan bekal secukupnya.
Sampai di tempat tujuan, sebuah goa di sebuah gunung yang jauh dari pemukiman penduduk, Syekh Abdurrahman menjumpai dua orang yang sedang berkhalwat di tempat itu. Setiap hari ada pemandangan unik yang terjadi di antara keduanya yang selalu membuat takjub Syekh Abdurrahman. Saat waktu makan tiba, setiap hari bergantian dua orang itu berdoa kepada Allah. Ajaibnya, setiap doa selesai dipanjatkan muncul makanan di hadapan mereka yang kemudian mereka nikmati bersama. Begitu terus-menerus yang terjadi selama beberapa hari.
Sampai suatu ketika, perbekalan Syekh Abdurrahman habis. Karena tak ada pilihan lain, beliau memberanikan diri meminta makanan kepada dua orang yang tidak beliau kenal itu. Keduanya bersedia membagi makanan mereka dengan syarat Syekh Abdurrahman bersedia bergantian mencari makanan dengan mereka. Beliau setuju.
Saat giliran Syekh Abdurrahman tiba, beliau kebingungan bagaimana caranya mendapatkan makanan sedangkan tempat itu jauh dari pemukiman penduduk. Syekh Abdurrahman lantas berpikir untuk melakukan hal yang sama seperti dua rekan khalwatnya. Maka beliaupun berdoa: “Ya Allah, aku meminta sebagaimana yang dua orang ini minta kepada-Mu.” Tiba-tiba muncul makanan dua kali lipat dari biasanya. Beliau nyaris tak percaya. Dua orang teman di sebelahnya tak kalah kagetnya atas apa yang baru saja terjadi di hadapan mereka. Bertanyalah keduanya kepada Syekh Abdurrahman doa apa yang dibaca olehnya. Syekh Abdurrahman menjawab bahwa beliau meminta kepada Allah sebagaimana doa yang biasa mereka berdua panjatkan.
Syekh Abdurrahman lantas balik bertanya pada dua rekannya perihal doa yang biasa mereka panjatkan. Mereka mengatakan bahwa mereka meminta makanan kepada Allah dengan sebab kemuliaan Syekh Abdurrahman Baljahaban yang diangkat jadi wali oleh Allah karena sabar dan ikhlas menghadapi istrinya yang cerewet. Syaikh Abdurrahman kaget bukan main dan tak menduga dirinya adalah seorang wali. Beliau menyampaikan bahwa beliaulah Abdurrahman Baljahban. Singkat cerita, akhirnya beliau memutuskan untuk segera kembali kepada istrinya.
Lantas apa hubungan kisah ini dengan Zaidi? Tunggu tulisan berikutnya. Hehe
*) Penulis merupakan seorang lora yang memilih merawat kenangan sebagai dakwah.


Zaidi dan Kisah Seorang Wali Zaidi dan Kisah Seorang Wali Reviewed by takanta on Agustus 18, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar