Cerpen: Jejaring Mimpi



 

Adik perempuanku yang masih berumur tujuh tahun sedang merengek karena dipaksa memakan semangkuk sayur bayam, sementara tanpa sepengetahuannya, diam-diam aku memperhatikan layar mimpi yang mengambang di atas kepalanya: Padang rumput. Sesekali angin menggerakkan rambut panjangnya yang tergerai. Ada satu pohon besar. Ia berada di bawahnya. Sekumpulan rusa sedang khidmat memakan rumput. Tak ada singa. Tak ada pemangsa. Terlalu banyak menonton Discovery Channel, pikirku. Adikku menghampiri salah satu rusa. Ingin dilengkapi fitur suara? Tulisan itu terpampang di layar. Bola mataku bergerak ke arah kanan yang berarti mengiyakan.


“Apa kau melihat Kakakku?” tanyanya kepada rusa yang tanduknya bercabang-cabang bagaikan ranting.


“Ia dimakan Bung Singa,” jawab rusa itu datar, kemudian kembali melanjutkan menggigiti rumput.


Layar mimpi mendekatiku yang berada di ambang pintu masuk rumah. Wajah sialan rusa itu makin jelas terlihat. Tubuhku langsung dihempas oleh pelukan kuat adikku. Aku merasa apes karena harus mengakhiri mimpi adikku ketika sudah terlanjur masuk dan menikmati mimpinya.


“Harusnya tadi malam Kakak membacakanku dongeng!” katanya dengan nada ketus. Ia ingin terlihat kesal. Tapi kata orang, mata adalah jendela hati. Dari matanya yang terbuka lebar, bisa kurasakan kalau ia senang bisa meluapkan rasa rindunya. Rindu? Padahal baru satu malam aku tidak pulang.


“Semalam Bejo ulang tahun. Ia mentraktirku dan kawan-kawan di rumahnya,” jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya. Namun sepertinya sia-sia.


“Mengapa tidak pagi-pagi saja ia merayakan ulang tahunnya? Memang ia tak tahu kalau malam hari kakak harus membacakanku dongeng?” cecarnya. Sulit memang melawan adikku yang usianya berbeda lima belas tahun dariku ini. Aku bergeming sambil tersenyum. “Tadi malam di rumah Bejo. Malam sebelumnya di rumah Bedul. Nanti malam di rumah siapa lagi?”


“Nanti malam akan aku bacakan dongeng untukmu.”


Ia nampak puas aku berikan jawaban yang ia inginkan. Ia tak suka aku berkilah. “Dongeng apa untuk malan ini?” tanyanya lagi tanpa melihat mataku yang sudah setengah. Jujur saja aku bukannya tidak ingin melanjutkan percakapan dengannya. Bukan. tetapi tentu saja mata yang setengah membuatku merasa tenagaku ikut-ikutan menguap ke awang-awang.


Untunglah ibu datang menjadi juru selamat setelah tadi sempat berjalan ke dapur. Ia langsung mengambil mangkuk sayur bayam yang dari tadi terabaikan di atas karpet. Janjiku pada adikku yang terdengar olehnya dijadikannya senjata pamungkas. Tak ada dongeng malam ini kalau sayur bayamnya tidak dihabiskan. Ia nyatakan itu dengan nada yang tegas. Adikku kalah. Senjata ibu selalu ampuh. Setelah salim kepada ibuku, aku pamit ke kamar. Aku belum tidur semalaman dan dari tadi kakiku seperti tidak menapak bumi.


***


Aku duduk di pinggir tempat tidur yang tidak bisa aku kenali milik siapa. Aku telanjang. Jantungku berdesir. Di samping kiriku ada seorang wanita dengan pakaian tipis yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Betis dan pahanya yang tidak tertutupi pakaian terlihat mulus. Aku sentuh pahanya. Ia mendesah pelan. Perlahan-lahan ia mendekatiku. Bibir tipis tanpa lipstiknya menghampiri telingaku dan napasnya terasa hangat menyentuh leherku. Aku bergidik geli. Kesetrum keenakan.


“Mari,” bisiknya menggoda.


Dari semua bagian tubuh, adalah perut buncitnya yang paling menarik hasratku untuk langsung memeluk tubuhnya. Ia tengah hamil tua dan entah mengapa ada perasaan bahagia yang menguasai dadaku. Semua nampak sangat jelas dan aku tidak ambil pusing akan kami habiskan berapa ronde untuk pergumulan ini.


Namun demikian, tidak ada ronde. Seperti semua mimpi basah, ketahanan lelaki adalah kemustahilan. Tengah hari aku terbangun dengan celana yang basah. Lengket. Aku suka dengan sirkulasi tubuh yang tidak dibuat-buat. Aku mesem-mesem sendiri kalau mengingat mimpiku itu. Lalu aku ke kamar mandi dan waktu berjalan sebagaimana mestinya. Tak ada yang istimewa hari ini, selain mimpi itu tentunya.


***


Pada malam hari aku membacakan dongeng kepada adikku. Seperti yang sudah-sudah, ia selalu meminta didongengkan tentang hutan atau apa pun yang berhubungan dengan binatang-binatang. Kadang ia meminta cerita tentang laut, gunung, dan keliaran alam lainnya.


“Kakak sedang apa sih di dalam mimpi tadi?” tanyanya tiba-tiba di sela-sela aku mendongeng. Aku agak risih dengan pertanyaannya tentang apa yang terpampang di layar mimpiku. Aku memintanya untuk fokus kepada cerita dongengnya saja. Awalnya ia masih mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan. Mau tidak mau, aku sedikit mengancamnya kalau masih mempertanyakan layar mimpiku maka aku akan pergi ke rumah kawanku. Mau tidak mau ia menurut.


Layar mimpi memang agak merepotkan. Tidak bisa dimatikan. Tidak bisa diapa-apakan. Selalu mengambang dan menyala di atas kepala. Terhubung ke semua orang. Teknologi yang menyebalkan. Jujur saja kalau tidak diwajibkan, aku lebih memilih untuk merahasiakan segala mimpiku. Namun mau bagaimana lagi. Demi keamanan negara, kata ibu suatu waktu. Ia kemudian menambahkan jika banyak orang jahat yang suka menyimpan tujuannya di mimpi mereka. Itu tidak baik. Makanya setiap gerak-gerik di manapun harus diselidiki, tegas ibu. Ya ya ya. Aku mengantuk kalau sedang mengingat penjelasan ibu mengenai keamanan negara dan sebagainya dan sebagainya.


Esok paginya ketika aku sedang menyuapi adikku sayur bayam, Bejo datang tanpa bisa diduga bersama matahari pagi yang mulai meninggi. Baru kali ini ada temanku yang main pada jam-jam segini. Dan sebagaimana tabiat buruknya, ia masuk tanpa salam dan dengan kepercayaan diri yang berlebihan ia memberikan senyum kudanya. Ia menyapa adikku. Adikku cuek-bebek. Aku meminta adikku untuk makan sendiri dan kemudian mengajak Bejo ke bangku taman.


“Anjing! Mimpimu viral, Kawan!” katanya setelah menghisap rokok elektriknya. Aku benci dengan aroma durian yang menjadi favoritnya itu. Seleranya norak.


“Aku tidak sempat memperhatikan Jejaring Mimpi,” jawabku singkat.


“Bodoh memang kau dari dulu. Bodoh memang. Kau terlalu sibuk memanjakan adikmu itu. siapa nama adikmu itu?” tanyanya. Ia memang suka mengalihkan topik pembicaraan seenak dengkulnya. Ia kawan yang doyan melantur ke mana-mana.


“Jelita.”


“Kalau sudah besar pasti cantik,” katanya sambil cengengesan tak jelas. Otaknya memang seperti pagi yang agak miring ke kiri.


“Pulanglah. Nanti malam saja kalau mau main.”


“Aku hanya mampir sebentar. Aku juga belum ingin pulang. Aku ingin ke Koh Asyong.”


“Iya, pergilah ke toko Koh Asyong,” pintaku tanpa peduli ia ingin ke mana.


“Mimpimu viral kawan. Hanya tinggal menunggu waktu dan kau akan masuk TV. Kau akan jadi artis mimpi,” ia betul-betul bersemangat.


“Persetanlah. Pulang sana. Aku tidak menerima tamu di pagi hari.”


Setelah nyengir beberapa detik dan menghembuskan asap aroma durian, ia pamit undur diri.


***


Mataku sakit. Ruangan ini terlalu terang. Dalam ketidaknyamananku, aku terus saja dipaksa mendengar pertanyaan-pertanyaan pewara yang tidak penting, “Mengapa harus perempuan usia 40-an? Terlebih lagi, mengapa harus hamil? Mengapa bukan model seksi?” tanya pewara yang sok introgratif. Sumpah kalau bukan karena sedang butuh uang, aku tidak mau diundang ke acara seperti ini. Terlebih kehadiranku di sini hanya karena mimpiku.


“Mungkin alam bawah sadar saya merasa perempuan hamil selalu lebih cantik dari perempuan yang tidak sedang hamil,” jawabku sekenanya. Si pewara merasa puas dengan jawabanku dan meminta tepuk tangan dari penonton.


“Baiklah pemirsa. Kita masih punya bintang tamu yang juga memiliki hasrat murni dari dalam dirinya yang unik seperti tamu kita yang ini.” Lampu studio berkelap-kelip bergerak berputar menyorot seisi ruangan. “Mari kita sambut: Bejo!” teriaknya yang langsung disambut riuh penonton. Bejo? Kawanku kah itu? Semua lampu berhenti bergerak dan menyorot satu titik. Ia Bejo.


Ia duduk di sampingku. Ia membisiku, “Dari semua yang melihat mimpiku di Jejaring Mimpi, hanya kau yang tak melihatnya.”


Aku mengangguk-angguk meminta maaf kepadanya. Aku katakan kepadanya kalau aku benar-benar tak sempat memperhatikan Jejaring Mimpi akhir-akhir ini. Aku memang sedang ingin fokus menemani adikku.


“Kok bisa, Dik Bejo?” tanya si pewara sambil memiringkan bibir dan alisnya agar terlihat memiliki ciri khas.


“Saya juga tak tahu,” kata Bejo polos.


“Mengapa tidak yang seumuran saja?”


Bejo menaikkan kedua bahunya.


“Apakah anda ingin seandainya bisa menjalin hubungan dengannya?”


“Saya rasa kami sama-sama ingin seperti itu,” kata Bejo sumringah.


Aku menjadi penasaran dengan mimpinya Bejo. Setua apa sih perempuan idamannya? Hampir 60-an kah? Aku mulai memasuki arsip mimpinya dan mencari mimpi yang membuatnya viral. Ketemu. Waduh. Malam hari. Di pinggir kali yang berwarna hitam. Ia telanjang dan tengah meniduri seseorang. Aku belum bisa melihat perempuan itu. Tubuhnya terhalangi tubuh Bejo yang tingginya melebih rata-rata orang dewasa. Ingin dilengkapi fitur suara? Bola mataku bergerak ke kanan. Suara desahan Bejo terdengar sangar. Dan sayup-sayup aku mendengar suara perempuan itu. Gila! Suara anak-anak.


“Enak!” kata suara anak kecil itu. Suara yang tidak asing bagiku.. Lalu dari bahu sebelah kanan Bejo aku bisa melihat wajahnya.


Bajingan! Benar saja. Itu Jelita.


Si pewara masih sibuk bertanya dan kaki kananku langsung menghempas hidung Bejo dengan sekuat tenaga. Bejo terhuyung. Aku langsung memukuli wajahnya. Bibirnya. Matanya. Batang hidungnya dua kali. Si pewara dengan cekatan langsung memiting dan mengunci pergerakanku. Ia seperti menguasai sejenis aliran ilmu bela diri.


“Anjing!” makiku kepada Bejo. Aku ingin terus memukulnya tetapi kuncian si pewara kuat betul.


Ia lemah tak berdaya. Dengan termegap-megap ia berusaha berbicara, “Aku kagum dengan mimpimu yang menghadirkan ibuku yang sedang hamil,” katanya terbata-bata. Hanya karena ia masih menggunakan mikrofon tempel, suaranya yang lirih dapat kudengar. Kemudian ia menambahkan sambil meringis menahan sakit, “Dan aku tidak mematahkan hidungmu.”


“Itu adikku! Dan tidak mungkin ia juga ingin bersamamu!” bentakku. Tentu saja adikku tidak akan memikirkan hal semacam itu, setidaknya di usianya yang sekarang.


Aku rasa Bejo tidak mendengarnya karena ia sudah pingsan tak sadarkan diri. Setelahnya aku dipolisikan dan episode acara itu tak pernah tayang. (*)

 


Mochamad Nasrullah (1993). Bukunya Balada Supri (Penerbit Anagram : 2019). Tinggal di Jember. Bisa dihubungi di nasrullah.burung@gmail.com.

Cerpen: Jejaring Mimpi Cerpen: Jejaring Mimpi Reviewed by takanta on November 08, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar