Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa



Dengan cepat kau menyulut sebatang rokok yang terselip di sudut bibirmu. Sementara layar ponsel di depanmu menyala tapi tidak berbunyi. Barangkali sengaja kau senyapkan.

“Bagaimana?”

Kau membuka pesan di ponselmu dan memulai membacanya tanpa suara.

“Kapan kau akan menikahiku?”

“Jika kau macam-macam, aku akan mengadu kepada orangtuaku!”

Barangkali itu pesan dari kekasihmu, yang sering kau ajak tidur seranjang. Dan kalian sedang dalam masalah yang cukup serius.

“Kok enggak dibalas?”

“Sialan!”

Kau mematikan ponsel tanpa membalas satu pesan pun. Dari caramu itu kau terlihat sangat terbiasa menghadapi masalah tanpa menyelesaikannya. Kau seringkali berpikir mengapa menjadi orang dewasa sangat melelahkan? Padahal jika kau ingin, kau tidak perlu menjadi dewasa, tapi kau harus menanggung akibat dari tidak perlu menjadi dewasa itu, dengan terasingkan dari orang-orang yang kau cintai, dan tentunya kau tidak ingin terasingkan dari orang-orang yang kau cintai, karena kau bukan tokoh yang berkata “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Barangkali karena hal itu kau menerima dengan lapang dada dan menjalani proses menjadi dewasa dengan berusaha mencapai kriteria yang disebut sebagai orang dewasa, seperti; mempunyai pekerjaan dan pendapatan pasti setiap bulan, rumah pribadi, mobil atau motor yang bukan kredit, atau hal remeh-temeh seperti tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.

Terkadang kau mengandai-andai jika waktu dapat kembali ke masa lalu kau ingin hidup di antara usia 5 sampai 10 tahun saja, di mana kau tidak akan terbebani dengan hal apa pun kecuali belajar. Kau membayangkan bagaimana enaknya hidup saat itu, mandi di sungai, main perang-perangan, atau mencuri mangga tetangga. Tapi kau tetap saja goblok walau usiamu sudah 23 tahun. Sudah tahu waktu tidak dapat diputar ulang, tetapi tetap saja kau menghayal hal semacam itu, yang sudah tentu mengabiskan waktumu dengan sia-sia.

Padahal daripada kau menghalayal yang tidak-tidak, lebih baik kau balas pesan kekasihmu itu yang barangkali saat ini menunggu balasanmu dan melihat pada layar ponsel yang tergeletak di atas kasur dengan wajah cemberut.

Pukul satu lewat beberapa menit dan kau masih belum beranjak juga, padahal sudah dini hari. Kau duduk tanpa berbuat sesuatu kecuali merokok dan meminum kopi. Suasana di sekitarmu sudah tampak sepi, hanya beberapa pelayan kafe yang menunggumu dan berharap kau pulang agar bisa mentup kafe, kemudian beristirahat dari pekerjaan yang cukup melelahkan.

Kau saat ini hanya punya satu pilihan: melamar kekasihmu. Jika tidak kau akan merasakan nyeri dalam dadamu, tentu kau tidak menginginkannya bukan? Tapi kekasihmu cukup tabah dengan mengatakan akan menerima dan menemanimu dalam hubungan yang dinamakan pernikahan, walau kau calon sarjana penganguran. Kau terlalu banyak berpikir kehidupan yang ideal, hidup dengan istri yang cantik, rumah yang tidak sempit, dan sepasang anak lucu, padahal kehidupan tidak se-ideal yang ada dalam kepalamu itu. Kau barangkali lupa tentang seorang penulis yang berkata, “Tak ada penderitaan terakhir.” Tapi kau malah selalu memegang teguh prinsip: berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Kau berharap apa yang terjadi saat ini dan apa yang terjadi di masa lalu akan berlalu seiring berjalannya waktu, lalu kau akan berbahagia. Goblok! Setelah bahagia kau akan menderita lagi dan berbahagia lagi. Karena semestinya hidup bergerak dari satu penderitaan ke penderitaaan yang lain.

Pukul satu lewat lima belas menit, kau mematikan rokok pada asbak, menghidupkan ponsel yang beberapa saat telah kau matikan, dan mencoba menelepon kekasihmu.

“Halo, apa kau benar-benar hamil?”

Cukup lama suara di seberang sana tidak membalas suaramu. Sehingga kau mengulanginya lagi.

“Halo, apa kau benar-benar hamil?”

“Ya.”

“Tapi aku belum siap menjadi seorang ayah, tapi tak tahu lah aku benar-benar bingung,”

“Salahmu!” Dia menjawab dengan nada ketus.

“Lah kenapa kau mau?”

Kau terdiam sejenak dalam percakapan telepon itu, juga kekasihmu. Pikiranmu berkerak pada adegan sore itu. Kau dan kekasihmu juga dengan suasana bulan Agustus yang panas di dalam kamar. Tanpa direncakan kau mengecup bibir kekasihmu dan tanganmu bermain-main dengan gumpulan yang mirip tempurung kelapa dibagi dua. Lantas adegan semakin memanas sampai kau dan kekasihmu sama-sama terlentang sambil berpelukan dengan peluh yang bercampur satu sama lain.

“Halo? Kenapa diam?”

Seketika kau tersadar dan mendapati dirimu masih dalam percakapan telepon yang masih belum selesai.

“Ya halo, bagaimana?”

“Aku tidak mau tahu, kau harus bertanggung jawab sebagai seorang lelaki!”

Adakah yang lebih mengerikan dari seorang perempuan? Sebuah makhluk eksotis yang dapat membuat seekor gajah tunduk seperti boneka, seperti kau yang saat ini dipaksa tunduk dengan kata-kata seorang perempuan. Sejarah mencatat tidak sedikit raja jawa yang memilih takluk di tangan perempuan dari pada takluk di tangan musuh, bahkan perang besar dalam epos Mahabharata-Ramayana terjadi karena salah satunya disebabkan perempuan, dan tokoh Rahwana harus meregang nyawa dengan salah satu alasan mempertahankan perempuan yang bernama Shinta. Terlalu banyak kejadian besar di dunia yang terjadi dengan salah satu alsannya adalah perempuan.

Tapi tidak, kau bukan seorang lelaki yang mendeskriminasi perempuan, kau tidak sejahat itu. Kau sangat mencintai kekasihmu. Jika tidak untuk apa saat ini kau begitu stres dengan harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan.

Pukul satu lewat tigapuluh menit, kau masih di tempat yang sama. Kau berpikir sebaiknya kau habiskan kopi yang masih tersisa lalu menyalakan rokok lagi dan pergi setelah membayar pada kasir kafe yang seperti seorang mabuk berat karena katuk.

Kau meminum sisa kopi dalam gelas itu, mengeluarkan sebatang rokok lalu menjepitnya di sudut bibir, menyalakan dengan korek api dan menghisapnya perlahan. Barangkali itu merupakan batang rokok keenam sejak jam duabelas kau duduk di sana. Kau memasukkan ponsel dalam saku samping celana yang terlihat belum dicuci selama beberapa hari terakhir, lalu memakai jaket untuk melundungi tubuhmu dari angin bulan Agustus yang menggigil. Kau beranjak dari tempatmu dan berjalan pada muka kasir dan membayar segelas kopi dengan harga sepeluh ribuh, lalu keluar dari kafe dengan tujuan pulang ke indekos yang sempit membuka selimut lalu tidur dengan nyenyak, berharap ketika kau bangun kau adalah anak berusia sekitar 5 sampai 10 tahun yang tidur dalam pelukan hangat seorang ibu dan ayah di sampingmu.

Belum sampai jarak sepuluh meter kau keluar dari kafe, terdengar suara ponselmu berdering tanda pangilan masuk. Kau mengeluarkan ponselmu dari dalam saku dan menyentuh tombol hijau pada layar dan memulai percakapan.

“Kau di mana?” tanya seorang perempuan dalam telepon.

“Di jalan, mau pulau ke indekost. Ada apa?”

“Aku hamil,” kata seorang perempuan yang bukan menelponmu tadi saat di dalam kafe.

Tanpa menjawab pertanyaan itu kau mematikan panggilan dan berkata; “Sialan! Oke saat ini dua orang perempuan telah hamil dan keduanya tengah menempatkan diri sebagai hakim yang meminta pertanggungjawaban atas diriku.”

Terkadang persoalan cinta serumit mencari jarum yang jatuh dalam tumpukan jerami, bukan? (*)

Situbondo, 02 November 2020

 

Alexong, lahir di Situbondo, 09 September 1999. Kini menetap di mana saja, sedang aktif menulis dan membuat ilustrasi.

 

Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa Reviewed by takanta on November 22, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar