Cerpen: Kirana

 


Langit malam ini begitu gelap, Kira. Lihatlah! Bulan pun terlihat muram tanpa bintang-bintang yang biasanya berlarian di sekitarnya. Bahkan cahaya petromaks yang mulai berkedip-kedip seperti bocah yang sedang mengantuk saat mengaji tak kalah muram dari cahaya bulan di atas sana. Apa kau juga melihatnya? Menepati janji kita yang akan selalu memandangi rembulan sambil saling mengingat satu sama lain di setiap malam. Membayangkan wajah yang terukir di sana dengan sebuah senyuman.

Langit benar-benar gelap, Kira. Apa di sana kau sedang muram seperti bulan malam ini? Barangkali kau sedang sangat merindukanku hingga dadamu sakit sekali lalu dari kedua mata beningmu, kau tak kuasa membendung aliran sungai yang menderas di pipimu. Andai aku memergokimu dalam keadaan seperti itu, mungkin aku akan habis-habisan mengejekmu, betapa cengengnya dirimu. Lalu kau akan merengek marah dengan lucu. Membayangkannya saja membuatku cengengesan seperti orang tidak waras. Ah, aku benar-benar rindu. Andai aku tak pergi merantau untuk mencari pekerjaan layak kala itu, malam-malam kita tak mungkin sesepi saat ini. Namun aku terpaksa harus meninggalkanmu dulu. Bersabarlah, kira. Jika waktunya tiba, aku akan kembali dan segera melamarmu.

Tak terasa malam sudah semakin matang. Entah sudah berapa lama aku memandang bulan yang suram. Di sana, kau mungkin telah terlelap di balik selimut kesayanganmu sejak beberapa jam yang lalu sebab yang aku tahu, tempatku berada lebih lambat 2 jam daripada di tempatmu.

Apa kau sedang bermimpi, Kira? Apakah di dalam mimpimu itu ada wajahku di sana yang sedang tersenyum mesra? Memikirkan kau memimpikanku, aku ingin lekas tidur dan bertemu denganmu saat aku terlelap. Tak apa, bertemu di mimpi saja kurasa cukup untuk menjadi obat rindu yang menggebu. Aku akan memimpikan kita yang sedang berjalan-jalan di pematang sawah sambil bercerita apa saja. Menertawakan hal-hal remeh hingga saling berebut pendapat tentang mana yang lebih lucu antara katak dan kodok setelah menemukan kecebong di parit kecil dekat lincak beratap rumbai sederhana tempat kita melepas lelah setelah berkeliling desa. Sederhana dan terlalu biasa namun bagi kita asal berdua tak masalah. Toh, bahagia lebih sederhana dari yang kita kira.

Baiklah, Kira. Selamat tidur. Semoga mimpimu indah.

***

Selamat malam, Kira. Entah malam ke berapa ratus kuucapkan kalimat itu untukmu, sebab tak pernah kulewati satu malam pun sejak kita berpisah dua tahun lalu. Ah sayang sekali, bulan malam ini tak bisa kulihat. Ia tertutup awan kelabu yang sejak sore tadi tak mau beranjak dari langit seperti tertahan oleh sesuatu padahal aku sangat ingin melihat rembulan malam ini. Barangkali wajah cantikmu bisa terlihat jelas di sana dan aku tak perlu lagi merasa kesepian.

Sayangnya, hingga fajar tiba, awan masih terpaku di tempatnya membuat aku yang sendu bertambah gelisah karena tak bisa menatap rembulan semalaman. Apa di sana juga sama, Kira? Apa langit di sana awan juga menutupi rembulan?

Aihh, semoga malam selanjutnya aku bisa melihat rembulan lagi.

***

Selamat malam kembali, Kira! Aku bersemangat malam ini karena ini malam terakhir aku memandangmu lewat rembulan di atas sana. Esok hari aku akan pulang setelah sekian tahun menetap di kota orang. Apa nantinya kau akan terkejut setelah melihatku tiba-tiba datang? Aku tak sabar melihat ekspresi wajahmu ketika aku menemuimu nanti. Apa kau akan kegirangan dan melompat-lompat seperti anak kecil atau malah menangis meraung-raung karena tak kuasa menahan luapan bahagia? Yang mana pun itu, aku tak peduli. Yang jelas nantinya, aku akan memelukmu erat-erat untuk menuntaskan rindu yang sudah sekian lama mengendap lalu mencium bibirmu yang ranum bagaikan buah yang matang.

Tunggulah, Kira. Aku akan membuatmu lebih terkejut lagi selain kedatanganku kembali. Aku akan melamarmu dengan cincin berhias permata yang sudah kusiapkan khusus untukmu dari uang yang aku kumpulkan selama ini.

***

Aku menginjakkan tanah kelahiranku dengan antusias yang menggebu. Sejujurnya aku ingin lekas berlari menuju rumahmu dan melakukan adegan-adegan yang sudah berkali-kali kubayangkan di sepanjang jalan pulang. Namun, aku menahannya karena etika seorang perantau harus bertemu keluarga terlebih dahulu, bukan? Bersabarlah. Setelah aku menemui kedua orang tuaku, aku akan menemuimu. Biarkan aku meminta restu mereka dulu untuk menikahimu.

Rupanya desa kita lebih banyak berubah dari yang kukira. Jalan yang dulunya hanya jalan setapak dengan tanah dan bebatuan kini sudah beraspal. Bahkan sawah-sawah banyak yang berubah menjadi perumahan. Lahan di sebelah barat tempat biasa kita menghabiskan waktu pun sudah berubah menjadi lahan pertambangan padahal tempat itu adalah tempat ternyaman untuk pertemuan kita.

Sesampainya di rumah, aku disambut kedua orang tuaku dengan haru. Aku mencium tangan mereka dengan takzim lalu memeluk keduanya bergantian. Setelah itu kami berbincang ringan sambil menikmati gorengan dan secangkir kopi yang emak suguhkan. Jujur, aku tak sabar untuk mengatakan bahwa aku akan melamarmu, Kira. Tapi rasanya tak sopan jika aku langsung blak-blakan. Jadi bersabarlah, aku pasti akan menyampaikannya jika dirasa waktunya benar-benar pas untuk menyampaikannya.

“Nak, apa kau sudah mendengar kabarnya anak pak Haji Somad itu?” Bapak memulai percakapan tentangmu. Aku langsung antusias ketika beliau menyinggungmu.

“Belum pak. Rencananya besok sore aku akan silaturahmi ke rumahnya.”

“Dia sudah tidak tinggal di rumah orang tuanya, nak. Dia sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya di sebelah timur lahan tambang. Kau pasti sudah melihat rumah besar sewaktu berjalan kesini, bukan? Itu rumah yang sekarang di tempati Kira dan suaminya”

“Bapak bercanda kan?”

“Untuk apa bapak bercanda. Tak ada untungnya buat bapak. Bapak menyampaikan ini karena takut kau masih mengharapkan perempuan itu.”

Pernyataan bapak benar-benar membuatku seperti dihantam batu besar, Kira. Hatiku sakit sekali. Apa benar kau sudah menikah? Padahal saat berpisah dulu kau telah bersumpah setia untuk menungguku pulang dari tanah rantau. Kau bahkan menangis meraung-raung di pelukanku saking tak inginnya aku pergi. Kita sudah menjalin kasih begitu lama hingga kau berjanji akan menunggu selama apa pun aku pergi. Lalu apa ini? Kau menghianati janjimu itu? Padahal tiap malam tak pernah sekalipun aku tak memikirkanmu. Hatiku hancur, Kira. Tak bisakah kau bayangkan itu?

Kira, izinkan aku menemuimu sekali saja. Aku hanya ingin menuntaskan segalanya agar tak ada dendam yang akan kusesali nantinya.

Pagi-pagi sekali aku melangkahkan kakiku menuju rumah yang dikatakan bapak kemarin. Aku sedikit ragu sebenarnya untuk menemuimu. Bagaimana jika suamimu pencemburu lalu setelah aku menemuimu ia malah menyakitimu? Bagaimana aku bisa menghadapinya? Lebih-lebih bagaimana aku harus bersikap di hadapanmu setelah sekian lama kita tak bertemu dengan perasaan yang masih tak menentu terhadap dirimu?

Sudah lima menit berlalu aku berdiri di balik pagar rumahmu sambil memandangi pintu berwarna coklat susu dengan ragu-ragu. Kakiku seperti terpaku di tanah tanpa bisa aku gerakkan sedikitpun setelah melihat adegan dirimu mengantar suamimu berangkat kerja. Kau mencium tangannya dan tersenyum cerah padanya lalu suamimu mengusap-usap kepalamu dengan lembut lalu mengecup keningmu dengan penuh cinta. Kalian bercakap-cakap sebentar sebelum saling berpamitan. Kau tahu, kira? Adegan itulah yang selalu aku bayangkan bersama dirimu setelah kita menikah.

Seorang bocah melintas di hadapanku. Rupanya ia sedang mengejar bola yang menggelinding tepat di sampingku. Aku memungut bolanya dan memberikan bola itu pada bocah itu. Sebuah ide terlintas di pikiranku.

“hey, Bocah. Siapa namamu?”

“Jeje om.

“Jeje, nama yang imut. Om boleh minta tolong sesuatu?” Jeje mengangguk. Aku mengambil selembar daun mangga yang berserakan di sekitar lalu menuliskan sesuatu di sana dengan pena yang sering kubawa ke mana-mana.

“Tolong berikan ini pada perempuan yang berada di balik pintu itu.” Setelah mendengar perintah, Jeje berlari ke arah rumahmu. Aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh saat kau membuka pintu lalu menerima selembar daun itu dengan heran. Selepas itu aku tak tahu bagaimana ekspresimu setelah membaca tulisanku. Aku berbalik pergi dan berharap kau mau mengabulkan permintaanku.

***

Siang yang terik, namun aku tetap menunggumu di pelabuhan tempat terakhir kenangan kita saat aku memutuskan merantau jauh di kota sana. Aku tak yakin kau akan datang namun dengan bodohnya aku tetap menunggu.

“Mas Ama....

Aku terpaku menatapmu yang tengah berdiri tak jauh dariku. Begitu pun sebaliknya, ada keterkejutan yang tak bisa kau sembunyikan di balik wajah manismu itu. Aku berdiri, mendekat, dan mengajakmu ke suatu tempat yang nyaman untuk berbicara tanpa harus khawatir perhatian orang-orang yang berlalu lalang.

Kita duduk berhadapan untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun lamanya tak bertemu. Kukira pertemuan kita akan penuh haru, rupanya malah kebalikan dari angan-anganku. Apa kau tahu, Kira, aku masih sangat mencintaimu. Aku masih sangat ingin memelukmu dengan erat untuk melampiaskan rindu yang terlanjur mengendap. Aku masih menginginkanmu untuk menemaniku menjalani sisa hidupku. Memiliki anak darimu hingga tua bersamamu. Namun kini hal itu takkan mungkin, bukan?

“Apa kabarmu, Kira? Sudah lama kita tak duduk berhadapan seperti ini ya,ucapku mengawali setelah cukup lama hening di antara kita. Aku lihat kau menunduk sangat dalam hingga aku kesulitan melihat wajah manismu itu. Kau masih terdiam dan membuatku menunggu.

“Maaf. Maafkan aku,ucapanmu terbata-bata. Bahumu bergetar seiring isak yang mulai terdengar jelas.

“Jangan menangis, Kira. Kau tahu aku tak suka melihat air matamu.” Kau menghapus air matamu segera setelah aku mengatakan hal itu. Rupanya kau belum berubah.

“Aku tak apa. Tenanglah. Mari kita tuntaskan ganjalan ini sekarang.

Dengan terbata-bata, kau mulai bercerita dengan isak yang tak bisa kau bendung. Kau tak bisa menungguku karena aku tak pernah memberi kabar kepastian untuk melamarmu dan karena desakan orang tuamu yang menginginkan kau cepat menikah lalu cerita-cerita tentang bagaimana kau bertemu pemuda itu yang kini telah menjadi suamimu; bahwa ia adalah lelaki baik yang selalu ada saat di masa-masa kau sulit. Ceritamu mengalir bersamaan dengan air mata dan isakan yang terus menderas. Berkali-kali kata maaf kau ucapkan di tengah-tengah ceritamu itu. Berkali-kali pula kau tampak merasa sangat bersalah di hadapanku. Namun satu yang kusadari sejak kita bertemu setelah banyak penantian panjangku, binar cinta yang selalu tampak di matamu itu tak lagi tertuju padaku.

Baiklah, aku yang salah karena membuatmu menunggu terlalu lama. Hari ini aku benar-benar melepasmu, melepas sesosok yang wajahnya tertinggal di rembulan dan tak lagi bisa kupandangi. Sosok yang selalu kubayangkan bersamaku sehidup semati.

Semoga kau selalu bahagia, Kirana.

 

Alifa Faradis, pimred cakanca.id.

Cerpen: Kirana Cerpen: Kirana Reviewed by takanta on Agustus 29, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar