Cerpen: Pelabuhan Jangkar dan Kapal yang Dikenang



Oleh: Moh. Imron

Di Pelabuhan Jangkar Situbondo, angin berembus lirih, lembaran ombak  bergulung-gulung, sebagian menerpa penyangga dermaga, senja tampak memudar, memulangkan nelayan yang tengah menangkap ikan, perahunya menepi di dekat pelelangan, berjejer di pinggir pantai.

Pembatas besi dermaga pelabuhan kini berwarna kuning lusuh, sebagian berkarat. Pelabuhan itu memang sudah lama ada, menjadi saksi atas perahu-perahu yang berlayar, lalu berlabuh kembali dengan membawa beberapa ekor ikan. Atau kedatangan dan kepergian orang-orang perantau dari pulau seberang, begitu sebaliknya. Atau menjadi tempat menghibur diri bagi penduduk lokal, untuk melepas rutinitas yang melelahkan.

Dalam cerita lain, terdapat pula kepingan kisah tentang sepasang kekasih yang berpisah di sana.  Ada seorang gadis yang begitu percaya bahwa setiap kapal yang berlayar pasti akan berlabuh kembali.

Ketika kembali, aku akan menikahimu dan membawa hadiah kapal untuk keluarga.”

Malita, anak seorang nelayan, jatuh cinta pada seorang pemuda perantau, berasal dari Pulau Madura. Ia sering memanggilnya Mas Iwo. Sosok lelaki yang cukup ahli dalam membuat perahu nelayan dan kapal. Jarang sekali pemuda seperti Iwo memiliki banyak pengetahuan kapal ataupun perahu. Selain itu, ia juga pandai membuat jaring, bisa pula dikatakan lihai dalam menangkap ikan. Pemuda yang dicintai itu pertama kali bertemu ketika tengah sibuk membuat kapal dengan kontruksi unik milik ayahnya. Digarap dengan memakan waktu selama dua bulan. Ada ukiran ikan-ikan dan karang di bagian belakang perahu. Saat itu, Malita memang tidak terkagum dengan kapal yang dibuat, tapi lebih kepada pembuatnya. Mungkin kisah awal pertemuan sepasang kekasih seperti ini belum ada sebelumnya.

Malita langsung memeluk pemuda itu dengan erat. Seolah kepada pemuda itulah cinta telah dijangkarkan tepat di ulu hatinya. Untuk beberapa saat, pemuda itu pun membalas pelukannya. Padahal sampai kapan pun perpisahan yang dramatis akan selalu disuguhkan iringan tangis. Mungkin begitu kelak pada akhirnya yang akan menimpa gadis itu, meskipun ucapan dan janji manis kerap menunda kesedihan.

“Aku akan menunggumu kembali,” ucap Malita dengan suara serak sembari melepas pelukan.

Di penghujung dermaga, orang-orang masuk ke sebuah kapal, membawa barang-barang. Sebagian dari keluarga mereka masih ada yang menunggu keberangkatan kapal. Ada pula yang melambaikan tangan. Sementara Malita tetap menunggu kapal lenyap dari pandangan.

Di beberapa hari berikutnya, Malita kembali melakukan rutinitas di pelelangan. Ia menunggu kedatangan seorang ayah dari tengah laut, membantu ibunya berjualan ikan. Di sela-sela kesibukan kadang kenangan pandai berkelabat, mengisahkan masa lalu, bisa diputar meski dalam layar ingatan.

“Jika aku menjadi kapal, aku tidak akan berlayar ke mana pun, aku selalu berlabuh di hatimu,” sesekali Malita teringat ucapan Mas Iwo.

Malita kerap sekali mengawasi dan menghampiri setiap kapal yang tiba di Pelabuhan Jangkar. Berharap kekasihnya muncul di sana. 

Di kursi kayu dekat palelangan ikan, Malita sering duduk sendiri ketika sore. Ia selalu membayangkan bagaimana kelak memiliki seorang suami pembuat perahu dan kapal. Mungkin ia akan dibuatkan kapal yang terbuat dari kasih sayang. Ia akan berlayar ke berbagai tempat, menjelajahi lautan berdua. Atau justru dibuatkan sebuah perahu, dan ia benar-benar menjadi istri seorang nelayan, sesekali Malita ikut melalut, menemani kekasihnya.

Bertahun-tahun, pendatang silih berganti. Palabuhan Jangkar juga menjadi salah saksi atas akulturasi budaya; tentang kisah-kisah cinta, para pencari kerja, tentang bahasa, membawa adat istiadat yang juga menyebar di bagian ujung timur Pulau Jawa. Sementara Malita masih sama seperti dermaga di Pelabuhan Jangkar, setia berdiam di sana.

“Sebaiknya kau mencari orang lain,” sahabatnya menyarankan.

“Ah, tak ada yang bisa menggantikan Mas Iwo.”

“Kisah cinta tentang penantian itu kurang dramatis, sudah umum. Jika kau cinta Mas Iwo sebaiknya kau kejar ke pulau seberang.”

“Tentu saja ayah-ibuku tidak membolehkan.

“Maka dari itu, kusarankan dua pilihan yang mungkin menyakitkan, menjadi pilihan yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Tapi percayalah setiap akhir kisah sedih akan hadir pula kisah yang mungkin sangat bahagia.”

Kadang waktu membuat seolah-olah berjalan begitu cepat. Sampai kapan Malita akan menunggu? Setiap beraktivitas di Pelabuhan Jangkar Malita selalu melepas rindu berharap angin selalu membawanya. Seperti dalam lagu "Duh Angin”. Maka ia membayangkan rindu itu akan sampai pada Iwo. Jauh di sana, Malita berharap pemuda yang dirindukan juga merindukannya. Mungkin jauh di sana, pemuda itu masih sibuk menyiapkan kapal yang bisa diselesaikan bertahun-tahun.

Namun ketika ingat akan nasehat sahabatnya. Malita sempat terbesit khayalan untuk pergi menyusul Mas Iwo. Bagaimana jika Malita pergi ke Pulau Madura tanpa sepengetahuan ayah-ibunya? Mungkin  ia tiba di Pulau Madura sendirian lalu bertanya-tanya kepada penduduk tentang nama pemuda lengkap dengan ciri-cirinya, berbulan-bulan dilewati dengan sangat melelahkan, ketika hampir putus asa barulah bertemu dengan Iwo lalu berpelukan seolah tidak ingin dilepasnya lagi. Walau bagaimanapun khayalan selalu lebih meyakinkan tapi ia harus sadar bahwa kenyataan juga memiliki pilihan yang lebih baik.

Setiap kisah selalu memiliki akhir.  Maka beginilah akhirnya. Malita pun tidak menyiakan suatu kesempatan, ketika anak dari Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan pun sering bertemu di pelelangan ikan. Bahkan siap menikahi Malita. Rumah yang akan ditinggali bersama pun akan dibuat kapan saja. Ia memang tidak bisa membuat kapal, tapi bisa membeli puluhan kapal.

“Jadi, bagaimana pendapatmu?” Malita meminta pendapat sahabatnya.

“Tentu saja aku setuju, lelaki itu mempunyai masa depan yang cerah.”

“Cerah? Bukankah masa depan tidak bisa ditebak? ”

“Tapi setidaknya untuk saat ini, dan kupikir lelaki cukup tampan juga.”

Malita pun memlih menikah dengan pemuda itu, entah siapa namanya. Status sosialnya pun semakin naik. Ia berubah menjadi gadis yang menjaga penampilan, tubuh lebih terawat, kulit selembut pasir lautan. Tentu saja tampak lebih cantik. Malita pun menjadi orang penting di Pelabuhan Jangkar. Mempunyai usaha pemasok ikan bagi nelayan. Memiliki rumah besar dan berlantai, di kamarnya terdapat jendela yang dapat melihat apa saja yang terjadi di sekitar Pelabuhan Jangkar.

***

Penduduk di Pelabuhan Jangkar digembarkan dengan munculnya kapal besar. Kapal itu datang ketika sore masih rutin berbagi warna kemerahan pada langit sebelah barat, angin tiba-tiba begitu kencang. Kapal besar mendekat ke Pelabuhan Jangkar. Semua nelayan, pedagang ikan atau semua yang beraktivitas di Pelabuhan Jangkar sempat terhenti, pandangannya tertuju pada kapal. Perlahan kapal itu berhenti setelah sampai di bibir pantai tepatnya di sebelah dermaga. Penduduk perlahan mendekat, ada juga yang berlari kecil. Orang yang melihatnya tampak takjub, terkagum-kagum. Tapi dari ciri khas dan bentuk kapal semua penduduk merasa tidak asing. Seoalah ia kenal dengan pembuatnya.

“Wah besar sekali.”

“Aku belum pernah melihat kapal sebesar ini sebelumnya.”

“Ya, kapal unik.”

“Siapa yang membuatnya?”

“Tunggu saja nahkodanya.”

Kapal itu rupanya tidak membawa penumpang, juga tidak ada nahkoda alias tak bertuan. Tidak ada siapa-siapa. Seolah kapal itu tahu bahwa Pelabuhan Jangkar adalah tempat terakhir untuk berlabuh, dan tidak berlayar lagi untuk selamanya.

Penduduk sekitar rupanya dibuat terpana dengan bentuknya, tidak ada yang tertarik untuk menumpang atau menggunakan kapal itu. Malah mereka justru ingin mempelajarinya. Model-model kapal seperti ini belum ada.

Sepertinya kapal ini cocok untuk dimuseumkan.”

“Setuju.”  

Seperti telah melakukan pelayaran yang sangat jauh sehingga tampak kelelahan. Kapal itu dijangkarkan, didiamkan di dekat pelelangan, terombang-ambing di pinggir pelabuhan. Pemandangan Pelabuhan kini tampak berbeda. Banyak orang-orang yang membicarakan kapal itu. Ada pula yang mengabadikan lewat kamera, menjadi latar tempat foto-foto dan selfie.

Dari jendela, Malita sempat melihat perubahan pemandangan yang berbeda dengan bertambahnya kapal besar. Semenjak perutnya sudah membuncit, mengandung anak kedua, ia sudah jarang keluar kamar. Tapi kali ini suaminya mengajak Malita untuk melihat kapal itu. Malita sempat takjub, pada desain kapal, meskipun warnanya tampak memudar, seperti rongsokan.

“Kapal ini tampak menyedihkan,” kata suaminya.

Lihat! di sela-sela sambungan sirap itu ada air yang mengalir. Mungkin kapal ini dulunya mempunyai kekasih dan berpisah, kata Malita sembari menelunjuk.

Suaminya pun memeluk  dan mengelus perut Malita. “Jangan berpikir konyol, sayang. Mana ada kapal mempunyai kekasih.” []

 

 

Biodata Penulis

Moh. Imron lahir pada suatu senja di penghujung tahun. Menulis buku Putri Tidur (Kumpulan cerpen dan esai) 2018. Menyukai desain grafis.


Cerpen: Pelabuhan Jangkar dan Kapal yang Dikenang Cerpen: Pelabuhan Jangkar dan Kapal yang Dikenang Reviewed by Redaksi on Agustus 22, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar