Cerpen: Malam Panjang Naq Kerinying



Oleh: Arianto Adipurwanto

Begitu Naq Kerinying membuka mata tengah malam yang pertama terdengar olehnya adalah suara derit-derit lasah berugak. Suara itu bertahan cukup lama. Ia juga mendengar suara berat seperti napas orang yang sangat kelelahan. Baru ketika suara itu berhenti, ia bisa mendengar suara-suara lain: desau angin dan jerit burung hantu di kejauhan.           

Naq Kerinying diam di tempat tidurnya. Tengadah memandang langit-langit rumah. Gelap. Lampu teplok yang tergantung di dinding telah padam. Tubuhnya entah bagaimana tidak bisa digerakkan. Punggungnya seperti telah melekat dengan dipan tempat tidurnya. Selembar kain yang biasa ia pakai untuk membungkus diri menepis dingin sepanjang malam terlepas dan terbengkalai di sampingnya. Hanya selembar baju tipis, yang telah robek di banyak bagian, dan kain batik-nina yang tidak lebih baik, membungkus tubuhnya. Namun, ia tidak merasakan apa-apa. Dingin atau hangat. Dirinya seperti telah mati untuk sementara waktu.        

Setelah beberapa saat, ketika berhasil menguasai dirinya, ia menolehkan pandangan ke kanan. Di situ, dekat sekali dari dinding rumahnya, terdapat berugak itu. Namun, Naq Kerinying tidak dapat melihat apa-apa. Dinding rumahnya telah menjadi tabir penutup yang tidak tertembus. Ia tahu, di luar gelap gulita. Suara derit lasah dan desahan berat baru saja berhenti. Hanya suara burung hantu yang masih bertahan di kejauhan. Kali ini, lebih kecil, lebih sendirian, dan Naq Kerinying tahu sebentar lagi suara burung itu akan hilang, muncul lagi nanti setelah cukup lama berlalu. Kenyatannya, suara burung hantu itu tetap terdengar, menjadi satu-satunya suara.    

Ketika memandangi dinding dan mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di berugak, bibir Naq Kerinying bergetar. Kepalanya pun seperti telah bertambah besar. Timbul keinginan dalam dirinya untuk bangun dan berjalan keluar, mengatakan apa yang ingin ia katakan. Namun, ia tidak berpindah sedikit pun dari tempat tidurnya, seperti ada sepotong tali tambang yang mengikat kakinya dan ada sebongkah batu kali yang menindih tubuhnya.

Tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba saja pintu rumah yang terletak di dekat kaki dipan terbuka. Tidak keras. Terbuka seperti biasa. Namun, Naq Kerinying merasa terhempas. Sendi-sendinya ngilu dan kepalanya pening. Kerinying, anak perempuannya, masuk dan langsung naik ke dipan. Naq Kerinying memejamkan mata, berpura-pura tidur. Dipan berderit sebentar ketika Kerinying naik, dan berderit lagi ketika Kerinying berusaha memakai selimut. Selama itu, Naq Kerinying ingin berteriak, mengata-ngatai anaknya, atau jika bisa mencakar dan menendangnya, tetapi bahkan ia tidak mampu membuka matanya. Ia sebisa mungkin tidak menggerakkan tubuh, sampai kemudian terdengar anaknya mendengkur halus. Pelan-pelan, sambil melenguh, berpura-pura baru terbangun dari tidur, Naq Kerinying membalik badan, menghadap berugak, membelakangi anaknya.   

Embusan angin masih terdengar di luar, memainkan duan-daun pisang kering di belakang rumahnya. Ada yang terbatuk-batuk di berugak. Tiga-empat kali. Pada saat itu burung hantu di kejauhan bersuara cukup keras dan tiba-tiba berhenti, seperti nun jauh di sana burung itu telah mendengar suara manusia mengancam dan ia harus berhenti bersuara untuk menyembunyikan keberadaan dirinya. Suara batuk yang terdengar dari berugak itu terdengar begitu jelas bagi Naq Kerinying. Bahkan pandangannya seperti telah menembus dinding rumahnya dan ia bisa melihat seseorang tengah berbaring di berugak. Penglihatan itu membuat kata-kata semakin berduyun-duyun mendesak di dalam kepalanya, memaksa untuk dikeluarkan.

Begitu besar gejolak di dalam dirinya sampai ia tidak sadar kembali telentang, dan menengok ke kiri, memandang anaknya yang berbaring di sampingnya, telentang sebagaimana dirinya. Meski tanpa bantuan lampu, ia dapat melihat tubuh anaknya dengan baik, bahkan ia memandangi anaknya seperti tidak ada bagian tubuh anaknya yang tersembunyi. Pertama-tama, memandang payudara anaknya yang membusung di balik selimut. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke bawah, ke selangkangan anaknya. Sekarang ia merasakan jari-jari tangannya ingin mencekik. Namun, sekali lagi ia tidak bisa melakukan apa pun. Meskipun ia melihat dengan jelas batang leher anaknya tempat ia bisa mendaratkan jari-jari tangannya. Tidur anaknya yang begitu pulas menambah rasa tersiksa dalam diri Naq Kerinying. Anaknya seolah tidak pernah melakukan apa pun dan seperti telah berjam-jam lamanya ia berbaring di situ. Hal itu membuat Naq Kerinying benar-benar ingin mencekik, bahkan jari-jarinya menjadi gemetaran. Giginya gemeletuk. Tulang rahangnya mengeras. Dalam gelap kedua matanya mendelik. Tetap saja, ia tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan.   

Terdengar suara batuk lagi dari luar. Naq Kerinying ingin berpura-pura batuk, tetapi ia mengurungkan niatnya. Justru, tanpa benar-benar ia inginkan, ia mulai membayangkan kehidupan mereka berlanjut besok pagi. Mungkin ia akan bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke Sungai Keditan. Mengambil air, pulang memasak, tanpa membicarakan apa pun. Baik dengan laki-laki yang tengah terbatuk-batuk di luar maupun dengan anaknya. Pikirannya melayang semakin jauh. Ia membayangkan beberapa pedagang datang dari desa, dan mereka melihat laki-laki di rumahnya. Lalu ia akan ditanyai tentang sesuatu yang membuatnya kebingungan untuk menjawab. Lalu laki-laki tamunya maupun anaknya dapat menangkap sesuatu dari raut wajahnya bahwa ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan anaknya pun menjadi malu kepadanya. Di luar perkiraannya, besok paginya, ketika ia terbangun dari malam panjangnya, hidupnya ternyata berjalan seperti biasa. Hanya sedikit yang berubah. Perubahan yang hanya ia sendiri yang mengetahuinya.   

Ia bangun pagi, membuka pintu dari anyaman bambu, angin dingin menerpa tubuhnya. Di sudut rumah terdapat sebuah tungku dan seekor anjing meringkuk di bibir tungku itu. Mulanya, Naq Kerinying telah lupa pada apa yang terjadi semalam. Begitu melihat anjing itu, apa yang terdengar semalam terdengar jelas di telinganya. Timbul pertanyaan dalam dirinya, apakah anjing itu tidak mendengar apa-apa tadi malam? Karenanya anjing itu tidak menggonggong.  

Di berugak, laki-laki tamunya, yang ia panggil Em, tengah duduk di atas tikar pandan yang telah berlubang-lubang. Laki-laki itu membungkus dirinya dengan kain. Sedikit dada dan lehernya terlihat. Kepalanya sedikit tertunduk seperti burung sakit. Melihat Naq Kerinying, Em mengangguk sedikit dan berkata, “Dingin sekali.”    

Naq Kerinying tidak langsung menjawab. Ia ingin sekali menjawab dengan ketus. Keheningannya bertahan selama beberapa saat, sampai ia melangkah ke belakang rumah dan menyadari ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari ke situ. Meski sebenarnya sedikit terlambat, ia berkata ketika ia telah sampai di berugak, “Ya, dingin sekali tadi malam.”

Lidahnya berat. Ia rasakan itu. Dan setelah berkata begitu, kata-katanya sendiri mendengung di kepalanya. Terasa ada yang salah. Ia berpikir, seharusnya ia tidak berkata ‘tadi malam’. Lalu ia memandang ke arah laki-laki tamunya, menyelidiki apakah laki-laki itu mengetahui bahwa tadi malam ia terbangun. Namun, tidak ada petunjuk apa-apa. Laki-laki itu justru tetap seperti sedia kala. Naq Kerinying merasa lega. Rasa lega yang kemudian ia sadari sebagai sesuatu yang aneh. Perasaan yang sulit ia pahami. Bayangan dirinya melabrak laki-laki itu seketika menguasai kepalanya.

Matahari telah terbit dan membubuhkan warna keemasan kepada daun-daun kopi saat Kerinying bangun. Ia keluar dengan kain masih membungkus tubuhnya. Rambutnya acak-acakan seperti rumput gelagah musim kemarau yang baru saja dikacaukan puluhan ekor anjing. Begitu keluar dari pintu, Kerinying tersenyum dan tampak hendak mengatakan sesuatu. Di mata Naq Kerinying, anaknya tidak seperti biasanya. Terlalu girang. Tak syak lagi, karena peristiwa tadi malam anaknya menjadi begitu bahagia. Naq Kerinying merasakan ada yang memukul dadanya. Dan ia merasa pusing hingga mau muntah.

Ndak epe masak air?” tanya Kerinying. Masih berdiri di halaman, Naq Kerinying kebingungan lagi untuk menjawab. Ia lupa, biasanya begitu terbangun ia akan menyalakan api di tungku dan menjerang air. Harusnya ia minum kopi, dan sejak beberapa hari ini, ia membuatkan segelas kopi juga untuk tamunya. Laki-laki itu. Em.

“Saya dah yang bikin.” Kerinying tanpa menunggu jawaban langsung berbalik dan masuk ke rumah kecil di samping rumah utama, tempat mereka menyimpan segala perlengkapan masak dan makanan.  

Naq Kerinying hanya terdiam di tempatnya. Beberapa saat kemudian, Kerinying keluar, berjalan ke belakang rumah, kembali membawa beberapa potong kayu bakar, yang ia bawa dengan kedua tangan di depan tubuhnya, sampai kayu bakar itu menekan dadanya. Naq Kerinying memandang anaknya duduk di depan tungku dan sampai kemudian api menyala. Merasa dirinya telah mengawasi anaknya terlalu lama, Naq Kerinying cepat mengarahkan pandangannya ke kejauhan, persisnya ke bukit di timur rumahnya. Seperti baru teringat sesuatu, ia berjalan pelan menuju jebak, dan melihat kebun di sebelah utara rumahnya. Namun, hanya sesaat setelahnya ia berjalan kembali dan langsung menuju rumah kecil itu. Di situ ia menyadari bahwa ia tidak seharusnya ke sana. Kata-kata tidak bisa keluar dari dalam dirinya dan ia hanya memandangi anaknya menyendok kopi dan gula dari toples. Ia terhenyak ketika anaknya bertanya, “Cari apa?”

Naq Kerinying bergumam, memandang sekeliling, dan berkata “Cari parang.” Ia sesungguhnya tidak benar-benar cari parang. Sebab tidak menemukan parang, ia keluar, tergesa-gesa. Laki-laki tamunya telah turun dan tengah berdiri di halaman. Laki-laki itu hanya memakai baju singlet yang tampak kekecilan.

Em datang ke rumah Naq Kerinying tiga hari lalu. Sebenarnya ia datang ke Lelenggo untuk menangkap ikan di Sungai Keditan. Kedatangan pertamanya di rumah Naq Kerinying, ia membawa sebungkus kecil ikan yang masih segar. Sebelum kedatangan Em, Naq Kerinying hanya memakan pakis dan sangat jarang memakan ikan. Apalagi setelah suaminya meninggal, sekadar ikan asin pun tidak pernah mampir di piringnya. Lelenggo terletak jauh dari desa, karena itu pedagang jarang sekali datang. Kalaupun pedagang datang dan membawa ikan, harganya pasti terlalu mahal bagi dirinya. Hanya sekali waktu ia membeli ikan, pada saat ia memiliki uang lebih. Rumah Naq Kerinying juga jauh dari rumah-rumah lain di Lelenggo karena itu tidak ada yang datang membawa lauk untuknya. Melihat ikan yang dibawa Em pertama kali, Naq Kerinying membayangkan akan makan enak setiap hari. Naq Kerinying sering memandang alat setrum yang digunakan Em untuk menangkap ikan dan merasa kagum pada benda itu. Selama hidupnya, ia tidak tahu ada ikan yang besar-besar seperti yang dibawa Em telah hidup di sungai tempat ia biasa mandi setiap hari.

Kerinying keluar dari rumah kecil itu saat Em masih berdiri di halaman. Ia membawa dua gelas yang ditatak dengan piring besi. Ia lantas dengan cepat ke tungku, mengambil air yang telah mendidih. Semua gerakannya terlihat seperti dibuat-buat bagi Naq Kerinying.

“Ngopi dulu,” kata Kerinying setelah kopi selesai diseduh. Naq Kerinying mendekat ke berugak. Juga Em. Mereka duduk bertiga. Setelah menggosok-gosokkan tangan, Em meraih satu gelas kopi, mendekatkan ke mulut, dan menyeruput pelan hingga mengeluarkan suara. Kerinying memandang Em dan melihat bibir laki-laki itu menyentuh gelas ia lantas berkata, “Mulut epe mirip mulut ikan.” Lalu tawa Kerinying meledak, merasa lucu oleh kata-katanya sendiri. Naq Kerinying meraih gelas dengan gerakan seperti hendak mencekik leher seseorang. Jari-jarinya bergetar. Ia mendekatkan gelas ke mulutnya dan meminum kopi yang masih panas itu.

Naq Kerinying rasakan bibirnya melepuh dan lidahnya terbakar.*

 

 

Catatan Kaki:

 

Lasah            : lantai;

Jebak             : gerbang;

Epe                 : Kamu (sopan).

  

 

 

Biodata Penulis

Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram. @Arianto Adipurwa

 

ILUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.

Cerpen: Malam Panjang Naq Kerinying    Cerpen: Malam Panjang Naq Kerinying Reviewed by Redaksi on Januari 22, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar