Cerpen: Rajam

 



Oleh: Aliurridha

Memasuki daerah ini pikiranku langsung dihinggapi perasaan cemas. Ada sesuatu yang tak terjelaskan, di luar kebingunganku tentang mengapa pertemuannya mendadak pindah lokasi ke tempat yang jauh dari pemukiman. Jalan masuknya saja berupa lorong kecil yang dipenuhi belukar dan pepohonan liar. Jalan ini kelihatannya sudah sangat lama sejak terakhir dilewati manusia. Apa yang ada di sini? Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka. Bukankah akan lebih aman jika mereka berbaur di keramaian daripada bertemu sembunyi-sembunyi di tempat seperti ini?

Lebih dua puluh kilometer aku memacu mobilku menembus lorong sempit ini, sebelum kemudian aku dikejutkan oleh suatu pemandangan alam yang menakjubkan. Pantai! Sebuah pantai yang tersembunyi dari dunia luar, dikelilingi tebing-tebing tinggi yang membentuk lingkaran hampir satu putaran penuh. Hal itu membuat pantai ini terlihat seperti teluk kecil yang terasing dari dunia luar. Satunya-satunya jalan masuk adalah lorong sempit yang kulewati tadi. Kecuali itu, tidak ada jalan lain ke sini. Sebenarnya bisa saja jika lewat laut, tapi jika melihat garangnya ombak di sekitar lalu banyaknya batuan karang, tentu saja hal itu terlalu beresiko. Herannya, di pantai ini ombak sangat tenang, seolah tebing-tebing tinggi itu memang berfungsi untuk melindunginya dari dunia luar.

Kudengar suara kendaraan di kejauhan. Suara ini seperti suara motor Alfarizi. Aku berjalan ke arah tebing yang lebih tinggi untuk memastikan. Ternyata itu benar Alfarizi. Dia memarkir motornya tepat di sebelah mobilku.

“Kupikir aku orang yang pertama datang,” teriaknya ketika melihatku turun dari tebing. “Dari mana kamu?”

“Oh, tadi aku aku jalan-jalan,” balasku.

“Kamu selalu datang paling cepat. Mengecek-ngecek lokasi. Kelakuanmu sudah seperti intel saja,” kata Alfarizi. Dadaku rasanya ditohok mendengarnya. Rahangku langsung mengeras mendengarnya.

“Tidak usah panik begitu. Aku hanya bercanda.”

“Bercandamu tidak lucu. Bagaimana kalau mereka mendengarnya dan salah paham, bisa mati aku.”

Dia tertawa terbahak-bahak.

“Apakah Torikh benar-benar akan datang?”

“Tidak ada yang pernah tahu tentang itu.”

Tentu saja. Torikh orang sangat berhati-hati dalam bergerak. Dua hari lalu aku mendapatkan sebuah pesan yang membuat bulu kudukku berdiri hanya karena membaca nama yang muncul di layar ponsel; nama yang membuatku gemetar dan tidak bisa tidur berhari-hari. Torikh menginginkan kami datang ke kota ini. Namun, baru pagi tadi aku diberitahu di mana lokasinya pertemuannya. Bahkan sekarang pun aku tidak tahu apakah dia benar akan datang atau tidak.

“Kalian betul-betul orang yang tepat waktu,” kudengar seseorang berteriak. Bersamaan dengan teriakan itu, tiga orang yang, entah datang dari mana, melangkah ke arah kami. Aku tidak mendengar bunyi kendaraan. Apakah mereka sudah dari tadi berada di sini? Lantas di mana mereka menaruh kendaraan mereka?

Aku memperhatikan ketiga orang itu. Dua orang itu aku kenal. Mereka adalah Ahmed dan Rozak. Meski aku belum pernah bertemu dengan keduanya, aku tahu siapa mereka. Ahmed adalah sepupu dari Alfarizi dan Rozak adalah orang kepercayaan Torikh. Segala informasi tentang pertemuan kami disebarkan olehnya. Lalu siapa sosok berkacamata tebal dengan bingkai cokelat yang berjalan di tengah mereka, apakah itu Torikh?

Mungkin Alfarizi melihat aku yang kebingungan, dia mendekatiku dan berbisik: “Itu Torikh.” Aku terkejut mendengarnya. Dia tidak seperti yang diceritakan. Torikh tidak berjenggot tebal, wajahnya klimis dan struktur wajahnya tegas. Tidak ada kerutan mencolok pada wajahnya. Meski kelihatan tidak muda lagi, dia terlihat sangat tampan dan berkarisma.

Setelah mengucap salam, Torikh mengulurkan tangan kepadaku dan kami bersalaman. Dia menggenggam tanganku erat. Genggamannya mencengkram kuat hingga aku merasa tak akan bisa lepas darinya. “Jika semua jihadis seperti kalian, perang akan kita menangkan,” kata Torikh. Setelah itu Ahmed dan Rozak ikut menyalamiku.

“Sebenarnya ada apa kita sampai perlu berkumpul di tempat ini?” tanya Alfarizi.

“Tentu saja untuk menyambut saudara baru kita.” Torikh kemudian menatapku.

“Tapi mengapa harus di sini? Tempat yang jauh dari mana pun?”

“Untuk memastikan tidak ada pengkhianat.” Saat mengatakan itu, Torikh lagi-lagi menatapku. Jantungku berdebar kencang. Refleks aku menelan ludah. Apakah ia melihatnya atau tidak? Semoga tidak.

Setelah mengatakan itu Torikh membisikkan sesuatu ke telinga Rozak. Hal itu membuat jantungku berdebar tak karuan. Dadaku sampai terasa sesak dibuatnya. Apalagi setelah itu, Rozak pergi meninggalkan kami entah ke mana.

“Apa yang akan kita lakukan jika ada pengianat di antara kita?” tanya Torikh  penuh makna. Dia bertanya sambil mengarahkan pandangannya ke arah kami satu per satu. Debaran di dadaku makin tak terkendali.

“Tentu saja tidak ada toleransi untuk pengkhianat,” kata Alfarizi.

“Kau dengar itu Ahmed.” Torikh menoleh ke arah Ahmed. Wajah Ahmed kelihatan pucat. Dia menunduk menatap butiran pasir yang menempel di sepatunya. Kemudian aku dikagetkan oleh gerakan tiba-tiba dari Torikh yang menendang kaki Alfarizi lalu menghantam tengkuknya. Alfarizi rubuh dan pingsan seketika.

“Ada apa ini?” tanyaku.

“Dia berkhianat. Dia membocorkan informasi tentang kita ke ayahnya,” kata Torikh.

“Pamanku tahu.” Suara Ahmed pelan dan bibirnya bergetar ketika mengatakannya.

“Tidak mungkin. Ini pasti salah paham. Aku mengenalnya, dia tidak mungkin berkhianat,” kataku membela Alfarizi.

Torikh lantas memutar sebuah rekaman Alfarizi yang berbicara dengan ayahnya. Meski tidak terlalu detail, Alfarizi membahas sedikit tentang kami kepada ayahnya untuk membanggakan diri. Ia bercerita kalau ia akan melanjutkan misi pamannya yang dulu gagal. Ayahnya terdengar kagum dalam percakapan itu.

Rozak kembali dengan sedikit berlari, lalu berbisik kepada Torikh. Kemudian Torikh memerintahkan kami untuk menyeret tubuh Alfarizi ke arah tebing sebelah barat. Aku dan Ahmed hanya bisa menurut. Aku menangkap sekelebat rasa takut pada wajah Ahmed. Mungkin seperti itu juga wajahku di matanya.

Tidak jauh di balik batu karang besar dekat tebing sebelah barat, kulihat dua orang yang tidak kukenal sedang menggali lubang dengan sekop. Lubang itu kelihatan dalam. Saat itu aku masih tidak begitu mengerti apa yang mereka rencanakan. Lalu Torikh memerintahkan kami untuk mengubur tubuh Alfarizi dalam keadaan berdiri hingga hanya lehernya saja yang muncul di permukaan.

Tidak mungkin itu, kan?

“Bangunkan dia,” kata Torikh.

Salah satu dari para penggali itu menyiramkan air dari botol mineral ke kepala Alfarizi. Begitu sadar Alfarizi langsung memekik dan mengumpat kepada kami semua. Seolah tidak peduli pada umpatan Alfarizi, Torikh berkata: “Rajam telah ada sejak zaman Nabi. Ini adalah hukuman paling pantas untuk pengkhianat yang membahayakan saudaranya.” Kemudian dia menjelaskan kepada kami laiknya seorang dosen yang sedang menguliahi mahasiswanya. Aku harap dia hanya bercanda. Ternyata tidak. Alfarizi memohon-mohon ketika dilihatnya Torikh mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangannya, lalu dengan wajah dingin dia melempar batu yang menghantam pelipis Alfarizi. Jeritan kesakitan memantul di dinding tebing. Mendengarnya, aku jadi merinding. Kulihat darah segar mengalir dari keningnya, turun ke  mata, hidung, dan mulut.

Setelah itu Torikh meminta kami berganti-gantian melemparnya dari jarak sekitar belasan kaki. Rozak melemparnya hingga suara retakan terdengar di telingaku. Kulihat dia tersenyum puas. Dua lelaki yang menggali lubang itu melempar batu secara bergiliran. Satu mengenai kening Alfarizi, satu lainnya meleset. Ketika yang meleset hendak mengambil batu lainnya, Torikh menahannya. “Ahmed. Tunjukkan kepada kami seberapa besar keinginanmu untuk melindungi saudaramu,” kata Torikh.

Ahmed menatap Torikh lalu pindah ke Alfarizi. “Kumohon Ahmed. Kumohon,” teriak Alfarizi. “Tidakkah kamu ingat ketika kita kecil, aku yang mengajarkanmu naik sepeda,” sambungnya mengiba-iba. Suara Alfarizi serak dan tertahan. Tangan Ahmed bergetar ketika mengambil batu.

“Kamu tidak mungkin meleset kan Ahmed,” kata Torikh.

“Harusnya tidak,” kata Rozak.

Ahmed melemparnya. Suara batu yang menghantam wajah Alfarizi terdengar begitu mengerikan. Jeritan tidak kalah mengerikan, meluncur dari bibir Alfarizi. Kulihat hidungnya patah. Lalu kulit wajahnya, mulai dari pelipis hingga kelopak mata, terkelupas. Darah memenuhi wajahnya yang nyaris hancur. Perutku seperti ditendang dari dalam ketika melihat wajah Alfarizi. Kurasakan asam lambung naik ke kerongkongan. Tapi kuperhatikan Alfarizi belum mati. Dia masih meringis dan memohon ampun. Torikh kemudian mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku menelan ludah.

“Kamu harus membuktikan dirimu. Bisakah kamu menghukum seseorang yang membahayakan saudaramu?”

“Tapi dia juga saudaraku. Bukankah kita semua bersaudara. Ayolah ini cuma salah paham.” Aku menatapnya dengan tatapan memelas. Tapi Torikh tidak menunjukkan belas kasih. Kuambil batu sebesar genggaman tanganku. Alfarizi berteriak tidak jelas. Kulempar batu itu sembarangan dan meleset jauh.

“Jangan bercanda,” kata Torikh. “Ambil lagi,” perintahnya.

Aku menatap wajahnya dan Torikh menatap balik ke arahku. “Aku bisa melihat mana yang benar-benar meleset (ia menatap si penggali yang tadi sempat meleset) dan mana yang pura-pura (lalu kembali menatapku).”

Melihat aku tidak melakukan apa-apa, Torikh mengambil sesuatu dari pinggangnya. Pistol. Dia tidak mengarahkan pistol itu ke arahku. Tapi entah mengapa aku merasa sudah mati. Hawa dingin menyebar di sekujur tubuh. Kulihat batu sebesar genggaman tanganku. Ketika mengambilnya tanganku gemetar. (*)

 

Blencong, Juni 2021

 

 

BIODATA PENULIS

Aliurridha, Pengajar di Universitas Terbuka. Dia menulis fiksi dan non-fiksi. Karyanya tersebar di berbagai mediaCerpennya berjudul “Metamorfosa Rosa” masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2021. Dia tinggal di Lombok dan bergiat di komunitas Akarpohon.

 

ILUSTRATOR

Alexong, Situbondo, 09 September 1999. Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Prodi Pendidikan Seni Rupa. Bahagia membaca, menulis, melukis, dan bejualan buku di Instagram @mellebuku. Ia dapat dihubungi melalui akun Instagram @alex.ong1999.

Cerpen: Rajam Cerpen: Rajam Reviewed by Redaksi on Januari 15, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar