Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam



Oleh: Daviatul Umam

Sumur merupakan fasilitas semesta buatan manusia terdahulu, darinyalah manusia di zaman itu mengharap anugerah Tuhan berupa sumber mata air untuk kelangsungan hidup. Namun, seiring kemajuan teknologi yang serba praktis, buatan manusia lain di era modern menyebabkan sumur telah memasuki kategori “pernah jaya pada masanya.” Pemasangan mesin air, pembangunan tandon air serta berdirinya perusahaan air, telah mengambil alih kedudukan sumur di hati manusia.

Tak bisa dipungkiri, dan harus diakui, hal itu memang sangat membantu aktivitas masyarakat sehari-hari. Hidup mereka jauh lebih nyaman, tak perlu repot-repot lagi menimba air seperti dahulu kala yang sering kali membuat nyeri tulang sendi. Sekarang tinggal memutar jari keran yang terpasang di sejumlah tempat, air akan mengucur memenuhi segala kebutuhan mereka. Segala kebutuhan yang tak bisa lepas dari pemanfaatan air dengan beragam fungsinya sebagai bagian terpenting dari kehidupan.

Akan tetapi, sebagaimana pemberdayaan yang dilakukan dengan adanya temuan-temuan baru lainnya, kemudahan suatu masyarakat dalam memperoleh air rupanya telah menggeser nilai-nilai peradaban yang tersemai di tengah masyarakat itu sendiri. Sudah menjadi hal lumrah bahwa setiap apa yang disebut ‘kemajuan’, di samping memberantas kesengsaraan, keribetan, keterbelakangan, juga merampas kuluhuran budaya yang semula tertanam dalam-dalam.

Dilema memang. Masyarakat tentu saja tidak mau terus-menerus melarat dan tertinggal, di satu sisi. Tapi, di sisi yang lain, ada adat-istiadat yang mau tak mau harus mereka korbankan. Itu pun jika mereka menyadari. Itu pun jika mereka peduli. Toh, jaminan kepuasan yang terbentang luas di masa kini (terlebih masa mendatang), akan membuat mereka terbuai, merasa tertolong dan memang betapa menguntungkan walaupun apa-apa harus bayar. Termasuk air yang bersumber dari bumi yang mereka pijaki.

Kenapa harus bayar? Karena proses pengambilannya sudah beda. Alat yang dipakai juga beda. Begitu pun pengelolanya. Tidak seperti dulu tatkala sumur masih dianggap sebagai pusar bumi yang dikeramatkan. Karena dibangun dan dirawat bersama-sama, orang-orang bisa mendapatkan air dari sumur secara cuma-cuma.

 

Mengenang Sumur

Di kampung saya, di Madura, belasan tahun lampau sumur masihlah tempat spesial sekaligus sakral bagi masyarakat setempat. Saban hari sumur menjadi titik kumpul orang-orang untuk mengambil air secara bergiliran. Mereka mengantre sambil lalu bercakap-cakap satu sama lain. Canda-tawa pun mewarnai keharmonisan mereka selama berada di pinggir sumur.

Di pinggiran sumur tersedia tempat mandi dan cuci pakaian. Biasanya, kaum ibu-ibu membawa satu bak pakaian untuk dicuci sekalian satu ember buat diisi air. Kaum laki-laki pun biasanya menyempatkan mandi dulu sebelum pulang. Itu mereka lakukan, mungkin demi menghemat persediaan air di rumah. Setelah kegiatan itu selesai, barulah kemudian satu-persatu dari mereka pulang membawa hasil penimbaannya. Yang laki-laki memikul, yang perempuan menyunggi.

Tidak melulu menimba air untuk kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Mereka punya tradisi menyumbangkan satu-dua pikul air buat tetangga yang tengah berduka-cita atau menggelar hajatan. Sehubungan dengan itu, orang Madura memang kokoh memegang prinsip gotong-royong. Tolong-menolong antar sesama seolah menjadi kewajiban tersendiri bagi warga Pulau Garam itu, betapa pun berupa pekerjaan-pekerjaan berat, selagi tidak bersangkutan dengan profesi tertentu.

Selain bisa diambil airnya yang tiada henti memancar, sumur juga difungsikan oleh masyarakat Madura sebagai wahana melihat pertanda pergantian musim. Konon, jika bayangan matahari mengapung tepat di tengah-tengah genangan air sumur, itu artinya musim hujan akan segera tiba. Terhitung sejak hari itu, diperkirakan empat puluh hari lagi hujan bakal turun mengobati tanah yang kerontang. Tombhuk, demikian mereka menyebut primbon alam tersebut.

Sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT. serta rasa terima kasih terhadap sumur, penduduk dusun melakukan perawatan intensif setiap tahun sekaligus ritual rokat sumur. Mereka kompak mendatangi sumur di hari dan waktu yang sudah ditentukan. Ada yang mencabuti rumput dan menyapu di sekitar sumur, ada satu/dua orang ahli menuruni kedalaman sumur untuk mengangkat kotorannya, ada pula yang mengaji di tepinya dengan makanan tujuh rupa sebagai sesajen, yang nantinya akan dibagi-bagikan kepada anak kecil yang ikut hadir.

 

Menatap Luka yang Curam

Saya bersyukur bisa menyaksikan sendiri semua fenomena itu. Belakangan ini kenangan dan rasa haru tentang segala hal terkait sumur kembali timbul, saat saya menemukan cerpen Mashdar Zainal yang bertajuk Kota Ini adalah Sumur (Keluarga Kudus, Cerpen Pilihan Kompas 2021). Cerpen tersebut dibuka dengan paragraf yang sangat memikat sekaligus menunjukkan keironian yang teramat memilukan;

 

Bagaimana sebuah kota lahir adalah bagaimana sebuah desa tumbuh. Sebab, sejatinya, kota-kota adalah desa-desa yang telah menjadi dewasa. Di masa silam, kota ini hanya sebuah desa kecil dengan hiruk-pikuk kecil, dan sebelum desa kecil dengan hiruk-pikuk kecil itu lahir, sebuah sumur telah menganga, seperti rahim ibu yang siap melahirkan anak-anaknya. Tuhan berkata: lahirlah! Maka desa itu lahir.

Dengan membaca paragraf awal itu saja, kita dapat menyimpulkan, bahwa sumur-sumur bakal diabaikan atau sudah tidak dilirik lagi, bahkan sudah mati seiring berkembangnya desa-desa yang lantas bereinkarnasi menjelma kota. Itu dapat kita lihat dalam kehidupan nyata, setidaknya saya sendiri tengah mengalami perubahan itu di kampung halaman. Sumur-sumur dibiarkan kesepian, temboknya penuh lumut, tertinggal dan tak terurus, sementara kita kian brutal menggunakan air yang datang melimpah dari mulut keran.

Yang tak kalah memprihatinkan, dalam cerpen itu terdapat sebuah obrolan antara seorang kakek dengan cucunya. Si kakek bercerita mengenai sumur yang terampas kemurniannya, namun cucunya mengira itu sebatas dongeng belaka, “Apakah sumur itu benar-benar ada?” Sepintas, saya merasa masa kecil saya terselamatkan karena punya pengalaman personal perihal sumur, selain juga merasa terpukul membayangkan masa depan yang begitu suram.

Masa dimana kemarau panjang melanda, persediaan air sangat terbatas dan kita dipaksa harus benar-benar hemat, lalu orang-orang berinisiatif untuk menggali sumur lebih dalam lagi, sedangkan penggali sumur telah musnah karena menggali sumur dianggap pekerjaan riskan. Begitulah kondisi tragis yang digambarkan Mashdar Zainal.

Bukan hal yang mustahil kalau suatu hari nanti ‘ramalan’ itu bakal terbukti dan terjadi di negeri kita, berhubung gejala-gejala pemanasan global makin terasa akibat eksploitasi alam yang membabi-buta. Penebangan hutan secara liar, penambangan bukit kapur dan gunung, pencemaran tanah, laut, sungai dan udara, terus saja berlangsung mengundang kekeringan yang tak terkira ganasnya. Sehingga, besar kemungkinan krisis air siap menimpa kita semua.

 

Yogyakarta, 2022

 

 

Tentang Penulis

Daviatul Umam, penulis kelahiran Sumenep, Madura. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kini bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Instagram: @daviatul.umam

 

Ilustrator

Ahmad Zaidi, lahir dan tinggal di Situbondo. Penjaga gawang di lapak @mellebuku

 

 

Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam Reviewed by Redaksi on Februari 01, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar