Cerpen: Bersetia



Oleh: Thomas Utomo

Dua pekan lagi ulang tahun pernikahan kami—aku dan Nani—yang kedua. Sejak hampir satu bulan lalu, istriku itu sudah ribut.

“Mas, pokoknya sebelum tanggal ulang tahun pernikahan yang kedua, aku maunya kita udah bikin foto after wedding di studio. Kemarin sih, aku udah tanya-tanya ke temen-temenku. Katanya, di Purwokerto, ada studio yang bagus. Budget dua juta, bisa dapet foto-foto yang keren banget. Nanti deh aku tunjukin foto-fotonya Si Putri sama suaminya.”

Aku tersenyum. Lebih sebagai upaya untuk menetralisir rasa jengah karena berulang kali dikejar permintaan serupa, daripada sebagai tanggapan positif atas rangkaian kalimat Nani.

“Iya, Bun. Nanti ya, kalau ada anggarannya,” sahutku tanpa perhatian penuh.

Alis Nani berkerut. Bibirnya mengerucut. Aku sudah bisa memperkirakan, apa yang akan dia katakan. “Lho kok nanti sih? Ya, sekarang, dong. Soal anggaran, ‘kan aku udah bilang dari jauh-jauh hari. Harusnya Mas udah nyiapin, dong. Gimana, sih! Sayang istri apa nggak. Gitu aja, kok, pelit amat sih!”

Perkiraanku tepat! Tapi rupanya, omelan Nani masih lebih panjang lagi. Aku memutuskan pergi daripada membisingkan rongga telinga dengan kicauan sepanjang Jalan Anyer-Panarukan itu.

Sambil mengayun kaki, otakku berputar. Ya, kukira sudah sepatutnya kalau ulang tahun pernikahan dirayakan dengan penuh rasa syukur. Salah satunya dengan membuat foto after wedding. Aku sendiri—dulu—saat masa-masa awal menikah, pernah berkata pada Nani.

“Tiap kali menjelang ulang tahun pernikahan, kita buat foto after wedding. Lalu kita cetak dan pajang bersisian dengan foto di tahun sebelumnya. Kita bandingkan raut kebahagiaan yang terpancar di muka kita, dari tahun ke tahun. Apakah kita kelihatan semakin bahagia dibandingkan tahun sebelumnya? Atau rona muka kita kian masam dari tahun ke tahun? Nah, lewat media foto itu, kita bisa jadikan sebagai ajang muhasabah, memperbaiki rasa pernikahan dari waktu ke waktu.”

Tentu aku masih ingat betul dengan kalimat yang kukatakan sembari merangkul bahu perempuan yang waktu itu amat aku cinta. Ya, sekali lagi kunyatakan, waktu itu. Sejak pertama kali melihat Nani, aku memang sudah terpikat. Pergaulan kami berikutnya, membuatku ingin makin melekat. Ada semangat untuk mengambilnya sebagai istri. Aku mengira, dia memiliki semua kriteria perempuan idaman versi diriku sendiri: cantik, semampai, berkulit bening, berotak terang, dan lembut. Namun berselang waktu setelah aku menempuh prosesi ijab kabul, aku merasa diri telah berbuat ceroboh. Nani yang sebelum menikah selalu berperangai lembut dengan lantunan kata-kata yang meluluhkan hati, ternyata merupakan pribadi pemberang yang amat mudah disulut api cemburu.

Yang amat kusesalkan, bila pendampingku itu tengah cemburu, dia tidak ingat lagi tentang sopan santun. Tidak akan kulupa, belum dua bulan kami menikah, suatu sore dia menemukan foto diriku bersebelahan dengan rekan kerjaku—perempuan, di media sosial Facebook. Sebetulnya, bukan aku yang mengunggah foto itu, melainkan rekan kerjaku yang mengunggahnya di akun miliknya, kemudian aku ditandai. Dan lagi, kami tidak berfoto berduaan. Melainkan, ada rekan kami lainnya. Pose fotonya pun biasa: bergaya standar di depan lokasi kami melakukan meeting. Tapi, reaksi yang ditunjukkan Nani, sungguh di luar dugaanku. Dengan suara keras, dia melesatkan tuduhan bahwa aku berselingkuh. 

Ngomongnya, pulang telat karena mau meeting. Ternyata mau main-main sama perempuan lain. Dasar laki-laki thukmis. Nggak tau diri!”

Padahal kami masih dalam tahap awal menikah. Namun, lontaran kalimatnya sungguh sangat menyengat harga diri kelaki-lakianku. Rupanya, itu hanyalah awal dari rentetan kecemburuan berlebihan Nani. Aku baru tahu alasan istriku memintaku memberitahu alamat e-mail dan password media sosialku, setelah rentetan pertengkaran kami. Ternyata, dia membukanya untuk mengecek status-status yang kubuat, privat message yang kukirim, atau tanda like maupun komentar yang kuberikan pada teman. Dia pernah muntab dan mengusirku keluar dari kamar gara-gara aku memberi tanda like dan mengomentari foto teman kuliahku yang tengah duduk di pinggir taman. Tentu saja karena temanku itu berjenis kelamin perempuan. 

Hal tidak kalah berlebihan yang dia perbuat adalah memeriksa isi ponselku: kotak masuk atau keluar, juga panggilan yang kulakukan atau kuterima, sepulangku dari kantor. Semua digeledah, termasuk isi tas kerja, dengan ketelitian mata dewa. Luar biasa!

Suatu siang, aku terkaget-kaget melihat Nani berada di kantorku, hanya untuk mencari rekan kerja yang dicurigainya sebagai sekongkolku dalam perselingkuhan. Sebab mulanya karena rekan kerjaku salah mengirim pesan mesra ke ponselku—yang sesungguhnya dia tujukan pada suaminya. Kebetulan huruf depan nama kami mirip, sehingga terletak berurutan dalam daftar kontak rekan kerjaku itu.

Selama dua puluh tujuh tahun aku hidup, belum pernah kualami kejadian serupa. Contoh yang sama juga tidak kujumpai dalam rumah tangga orang tua maupun kaum kerabat. 

Waktu itu, pernikahan kami belum menggapai bilangan satu tahun. Namun rasa jengah, mendekati muak, telah mencengkam batinku. Membuat hatiku pengap dan nyaris meledak.

***

Di luar kecemburuannya yang berlebihan itu, hal lain yang tidak kalah menyebalkan ialah kemalasan Nani dalam melayaniku. Hampir tiap pagi, menjelang aku berangkat ke kantor, dia belum juga rapi. Masih tengkurap di atas kasur dengan rambut awut-awutan. Belum lagi, sarapan tidak ada. Tidak jarang, pakaian dalam atau baju seragam yang harus kukenakan hari itu, belum siap. Masih nguwel di keranjang.

Aku harus menahan kesabaran sambil menggoreng telur mata sapi dan menggosok pakaianku. Kupikir, aku menikah supaya lebih kopen, supaya ada yang mengurusiku. Tapi malahan, aku sering kapiran, harus menyiapkan kebutuhan sendiri. Apa bedanya dengan saat masih bujang!

Kemalasan istriku semakin menjadi-jadi manakala perutnya mulai dihuni calon bayi kami. Pekerjaannya ialah mengunyah makanan yang manis-manis dalam jumlah berkali lipat. Tubuhnya makin menggelembung, macam balon karet. Makin berat untuk digerakkan. Dia lebih suka menggeletak di kasur, mengeluhkan ketidaknyaman yang dirasakan, dengan lenguhan suara menjengkelkan.

Ketika telah hamil tua, Nani sering mengeluhkan perutnya gatal. Maka, tanpa ragu-ragu, dia menggaruk kulit perutnya secara mantap, menimbulkan suara cukup keras. Ibu mertua pernah memarahi Nani karena kebiasaan menggaruknya itu.

“Jangan digaruk-garuk begitu. Nanti berbekas. Tidak bisa hilang. Ibu sudah membuktikannya sendiri. Taburi saja bedak gatal,” tukas ibu mertuaku.

“Habisnya gatelnya nggak ketulungan sih...” dalih Nani. 

“Eeee. Tetap tidak boleh!” tegas ibu mertua.

Nani mengangguk, seolah setuju. Memang, di depan ibunya, dia tidak lagi menggaruk perutnya. Tapi, ketika ibunya pergi, dia kembali mengulangi aktivitas itu. Akibatnya, tepat seperti yang disampaikan ibu mertua. Perut Nani bergurat-gurat cokelat memanjang, bekas garukan. Penampilannya itu kian diperparah dengan selulit di sekitar pahanya.  

Sayang, Nani tidak peduli. 

“Namanya aja orang hamil. Ya tambah gendut. Jadi ada selulitnya juga. Terus kenapa? Mas nggak suka? Mas nggak sayang lagi sama aku karena aku jadi jelek?”

Sebetulnya, aku ingin mengangguk, mengiyakan. Tapi, aku khawatir pecah Perang Dunia Ketiga, sehingga aku justru tersenyum, mengatakan,

“Meskipun kamu tambah gendut, Mas tetep sayang, kok. Malahan rasa sayang Mas makin bertambah. Kamu ‘kan jadi gendut akibat perbuatan Mas. Iya ‘kan, Cinta?”

Nani tersenyum. Aku pun memeluknya. Sekadar untuk berpura-pura.

***

Aku laki-laki. Aku punya kebutuhan lain, di luar makan, minum, berpakaian. Aku punya mata yang selalu haus untuk meneguk pemandangan indah. Setelah penat dengan timbunan pekerjaan kantor, inginku, sepulang dari kantor, aku disambut senyum ramah istriku. Namun yang kutemui seringkali hanyalah muka jutek dan lengkingan suara amarah. Kejadian itu terus berulang. Membuatku makin gemetar meneguhi rasa sabar.

Sampai kurasa, kesabaranku telah mencapai batas limit. Aku ingin mengibaskan semua hal menyebalkan yang kuenyam selama mengarungi hidup bersama Nani. Malangnya, keinginanku mengenyahkan semua rasa menyebalkan itu, hendak kulakukan tanpa partisipasi istriku.

Ya. Malam ini, sepulang meeting di kantor, aku mengiyakan ajakan teman-temanku untuk menyaksikan hiburan penyegar pikiran. Baru kali ini aku ikut, meski sudah diajak sejak lama. Agak deg-degan sebenarnya. Tapi rasa penasaran dan gelegak panas dalam tubuh mendorongku ikut serta.

Hentakan musik keras menyambut kedatangan kami. Sebegitu masuk, mataku terbelalak, menyaksikan suguhan di atas panggung. Tiba-tiba, kerongkonganku tercekat.

“Ssstt. Jangan bengong. Yuk, duduk di sana.” Temanku menyikut lenganku, lalu menggerakkan dagu, mengajak duduk di dekat panggung. Aku mengangguk, mengikutinya.

Untuk kedua kalinya aku meneguk ludah, hendak membasahi kerongkongan yang mendadak kerontang. Mataku tak kunjung berkedip. Sayang melewatkan sajian di atas sana!

Di atas panggung, dua orang perempuan meliuk-liukkan tubuhnya. Diiringi suara musik, perlahan-lahan mereka melucuti penutup tubuh. Kulit tubuh mereka tampak berkilat ditimpa cahaya aneka warna. Musik kian menghentak, degup jantungku makin berdetak. Keras... makin keras...

Tepat ketika dua tubuh itu sudah polos sama sekali, aku merasakan sikutan di lenganku.

Gimana? Asyik, ‘kan? Rugi dari dulu kamu diajakin nggak pernah mau. O ya, kalau kamu mau, penari di atas panggung itu juga bisa diajak ngamar, lho. Asal bayarannya cocok,” ujar temanku lagi. Kulihat wajahnya memerah. Sinar matanya tampak berbeda. Aku tahu, dia pun tengah menahan gelegak panas, sepertiku.

Aku nyaris mengangguk ketika tiba-tiba sebuah petir menyambar ingatanku. 

Sebentar lagi aku punya anak! Apa yang hendak aku lakukan dengan perbuatan semacam ini?! 

Kuteguk kembali air ludah. Kepalaku terasa pusing.

Sorry. Kayaknya, aku mau pulang duluan aja, deh. Pusing!” ujarku.

“Nanti ‘kan pusingnya ilang, kalau udah nyobain itu perempuan,” sahut temanku dengan nada membujuk. Senyumnya tampak menggoda.

Nggak. Aku tetap mau pulang.”

Tanpa mengindahkan temanku lagi, aku bergegas pergi. Sekilas kutengok panggung. Sebersit keraguan melintas. Aku ingin bertahan di tempat. Tapi petir itu kembali menyambar kepalaku.

Sepanjang perjalanan pulang, aku merasakan tubuhku gemetar. Jantungku bertalu-talu. Mataku panas sekali. Keringat panas-dingin, menguyupkan baju. Rasanya sukar mengemudikan kendaraan di tengah gempuran perasaan tidak menentu semacam ini. 

Apa yang sesungguhnya hendak kuperbuat? Kalimat itu terus berdenyar di kepala. 

Ya, apakah sesungguhnya yang akan aku lakukan? Menjerumuskan diri dalam tamasya kenikmataan sesaat, sementara Nani menungguku di rumah dengan kecerewetannya yang telah kukenal?

Rasa bersalah menyeruak. Kukutuk diriku sendiri. Betapa dungunya aku. Suara-suara asing kembali bersahutan, memenuhi ruang kepala.

Nani begitu pencemburu karena dia amat mencintaimu. Apakah pantas kamu membalas cintanya yang sedemikian besar dengan tingkah laku yang tidak saja dapat mencoreng muka Nani, tapi juga anak yang bakal dia lahirkan?

Tanganku kian gemetar memegang kemudi. 

Apakah adil jika ketidaksempurnaan istri dijadikan alasan untuk mengkhianatinya?

Suara itu kembali berdenyar. Air panas menerobos kedua belah mataku.

Ya. Cinta dapat memudar. Tapi setia tidak boleh mengenal kadaluarsa. Mungkin, aku bisa merajut lagi rasa cintaku pada Nani.

Sementara itu, langit kian kelam. Malam bertambah larut. Mudah-mudahan Nani sudah menyiapkan secangkir kopi hangat buatku.

 

 

TENTANG PENULIS

Thomas Utomo, S.Pd. adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga. Dapat dihubungi melalui nomor 085802460851 atau surel utomothomas@gmail.com. Alamat rumah: Jalan Letnan Kusni no. 10 RT 2 RW 6 Bancar Badhog Centre, Purbalingga, Jawa Tengah 53316.

Cerpen: Bersetia Cerpen: Bersetia Reviewed by takanta on Juni 25, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar