Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja



Oleh: Amaliya Khamdanah

Kudus memiliki julukan sebagai kota Kretek. Menilik kembali sejarah bagaimana Kudus dan kretek menjadi suatu hal yang saling terkait. Ternyata ada satu buku novel yang menceritakan tentang kejayaan kretek di Kudus, yaitu Sang Raja.

Sang Raja merupakan novel karya Iksaka Banu yang terbit pada tahun 2017 di Penerbit KPG dengan tebal 383 halaman. Novel ini tersedia juga aplikasi baca Gramedia Digital dan perpustakaan digital, iPusnas.

Sang Raja menjadi novel bergenre fiksi sejarah dengan latar tahun 1900-1962. Menggunakan dua sudut pandang yang berbeda, orang pertama dan sudut pandang ketiga serba tahu. Kemungkinan akan sedikit membingungkan bab awal, tapi, setelah bertemu bab dua dan seterusnya, kebingungan tak lagi dirasakan. Setiap penggunaan sudut pandang orang pertama sebagai aku selalu diberi imbuhan keterangan. Kebingungan-kebingungan ini sebenarnya tidak terlalu ketara, apalagi ketika pembaca sudah hanyut dalam narasi hening dan sendu serta rintik hujan yang masih tersisa di atas tanah perkabungan.

Bardiman Sapari seorang wartawan dari Matahari Timur ikut hadir dalam perkabungan. Ada alasan lain mengapa dia rela nimbrung dan berdesak-desakan dalam suasana sendu. Baginya momen seperti itu tidak akan terulang, apalagi banyak orang penting hadir, terutama para petinggi perusahaan rokok. Tokoh yang kehadirannya tidak mendominasi, tetapi menjadi jembatan merah antara tokoh-tokoh penting di masa lampau untuk mengetahui perjalanan panjang Sang Raja, Nitisemito.

Sigareteen Fabriek ‘M. Nitisemito’ atau NV Nitisemito adalah nama perusahaan milik Nitisemito dengan produk rokok kretek Tjap Bal Tiga. NV Nitisemito berlokasi di Kudus, tepatnya di Jongenstraat dan Langgardalem. Kemudian bertambah lokasi lagi di Jati, Kudus. Salah satu bagian cerita dalam Sang Raja menyebut, bahwa Kudus menjadi tanah kelahiran rokok kretek. Melalui tangan Haji Djamhari untuk mengobati sakit sesak napas yang dideritanya, sekitar tahun 1800-an.

Kisah perjalanan Nitisemito dan Tjap Bal Tiga disampaikan melalui dua tokoh yang disebut dalam narasi sebagai ‘seorang pria Jawa dengan surjan lurik cokelat hitam, kain bermotif kawung, serta blangkon Yogya. Dan seorang pria berkulit putih berbaju safari dengan topi pandan berwarna gading’ bernama Goenawan Wirosoeseno dan Filipus Gerardus Rechterhand. Dua sudut pandang aku yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Mereka bukan orang Kudus, melainkan pendatang. Filip seorang Belanda totok yang lahir di Batavia dan Wirosoeseno seorang pribumi Jawa yang lahir di Yogyakarta. Mereka bertemu secara tidak sengaja dalam percakapan sepintas tentang kalium nitrat yang digunakan sebagai bahan penghasil asap untuk melengkapi patung orang merokok yang diletakkan di pintu masuk Divisi Keuangan. Obrolan inilah yang membawa Wiro dan Filip bisa berteman. Kalau meminjam istilah sekarang, mereka teman sefrekuensi yang bisa saling diandalkan.

Menurut penuturan Wiro dan Filip, NV Nitisemito mengalami jatuh bangun berulang kali, dari masa Hindia Belanda berkuasa, serangan flu Spanyol yang melanda, tragedi Perang Dunia II, zaman meleset, kedudukan Jepang, penutupan sementara pabrik yang melanggar aturan pemerintah, sampai hal yang paling mengagetkan dan menyedihkan adalah tergerogoti perlahan dari dalam. Bagaimana kisahnya?

Di masa Hindia Belanda, Tjap Bal Tiga berada di posisi paling atas dengan seorang pemimpin pribumi. Dikabarkan NV Nitisemito bisa memperkerjakan buruh sampai ribuan. Tidak salah jika Ratu Belanda saat itu menyebut Nitisemito atau pemilik nama kecil Roesdi bin Soelaiman sebagai De Kretekkoning atau Sang Raja. Orang-orang berkulit putih alias londo-pun juga gemar ngretek, tapi keadaan menjadi berbeda ketika BAT (British American Tobacco) menginjakkan kaki di Cirebon, rokok putih yang menjadi kegemaran baru wong londo. Ternyata persaingan seperti itu tidak membuat NV Nitisemito kehilangan akal, berbagai cara dari meningkatkan kualitas dan kuantitas serta promosi semakin gencar dilakukan, bahkan memperluas jangkauan edar rokok kretek Tjap Bal Tiga. Dari ikut serta meramaikan acara di tempat-tempat strategis dengan sistem tukar hadiah dengan bungkus Tjap Bal Tiga, menggandeng rombongan stamboel, membuat gedung bioskop rakyat dan saluran radio bernama Koedoes Radio Vereeninging Bal Tiga, memasukkan lokasi pabrik dalam film, sampai menyewa pesawat Fokker F.VIIb bernomor punggung PK-AFC untuk media promosi ke Jawa Barat, Batavia, dan Soerabaya.

NV Nitisemito dalam setiap peralihan zaman selalu ada saja hal besar yang terjadi, berdampak positif maupun negatif. Namun, seperti penuturan Wiro dan Filip, Tjap Bal Tiga masih bisa berdiri dengan gagah. Hal tersebut bisa dilihat jelas ketika dampak Perang Dunia II dan Jepang menduduki Hindia Belanda yang kemudian berubah nama menjadi Indonesia. Layaknya pohon yang daun dan rantingnya mulai berguguran dan tergerogoti.

Melihat Kudus di masa lampau melalui novel Sang Raja memang pilihan tepat, walaupun, tidak semua lokasi terjamah dalam novel ini. Setidaknya pembaca bisa merasakan; bagaimana orang-orang zaman dulu berinteraksi, mengunjungi panggung hiburan yang terletak di alun-alun kota, transportasi sepeda menjadi barang mewah, atau saling jatuh suka lewat sorotan mata dan tersipu malu, kemudian bangunan-bangunan yang masih identik dengan londo atau seperti yang dilakukan Nitisemito, mengkolaborasikan dalam seni-seni yang sempat dipelajarinya. Di halaman 101-102 sempat disinggung melalui sudut pandang Filip. Aku melihat lampu gantung, penyekat ruangan, lemari buku, kursi, dan meja kerja yang digarap dengan campuran antara unsur-unsur pokok Nieuwe Kunst, Cina, dan elemen tradisional Jawa. “Aku suka selera senimu, Tuan.” Kataku pada Tuan Poolman—seorang akuntan yang bekerja di NV Nitisemito yang kelak jadi rekan kerja di bagian Akuntansi—kemudian Poolman menjawab, “Bukan aku. Sejak aku masuk, benda-benda itu sudah ada di sini. Nitisemito memang pandai menggabungkan banyak unsur seni. Indah. Tidak seperti rumah seorang parvenue (orang kaya baru) pada umumnya.” Seperti Rumah Kembar yang terletak di dekat Kali Gelis, Kudus, adalah salah satu peninggalan Nitisemito yang masih bertahan sampai sekarang.

Mirip yang digambarkan dalam buku-buku sejarah sekolah, kedatangan Jepang sangat disambut antusias oleh pribumi. Mereka menyambut orang-orang dari Timur sebagai saudara tua, penyelamat, dan pelindung. Orang-orang bersorak-sorai di kanan kiri jalan, seolah melihat pawai skala besar. Hanya saja, slogan-slogan tersebut tidak berumur panjang, yang terjadi adalah sebaliknya. Termasuk dalam lingkungan NV Nitisemito, salah satu lokasi pabrik dijadikan markas terntara Jepang dan dua akuntan berdarah Belanda yaitu Poolman dan Filip diseret paksa yang kemudian diasingkan. Keadaan semakin mencekam. Kudus yang tenang berubah menjadi menegangkan. Tidak berhenti sampai disitu, kejadian serupa kembali terulang ketika Belanda kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Hanya saja pada saat itu NV Nitisemito meminjamkan salah satu lokasi pabrik untuk markas TNI.

Membaca novel bergenre fiksi sejarah apalagi Sang Raja akan membuat perasaan dan pikiran pasang surut, tapi lewat narasi yang ditulis Iksaka Banu tidak membuatnya terasa tergesa, pembaca akan menikmati setiap halaman. Mendekati epilog, pembaca akan dibawa pada kegiatan ringan khas bapak-bapak pensiunan zaman dulu, salah satunya; empat orang mantan karyawan NV Nitisemito berkunjung ke ndalem Pak Niti yang sampun sepuh. Seperti roda sepeda yang bergerak, pembaca akan merasa ikut memutar kisah per kisah yang dituturkan Wiro dan Filip pada bab-bab sebelumnya, menemui satu titik pusat. Pak Niti tengah duduk di kursi roda, di belakangnya ada pewaris NV Nitisemito, Soemadji.“Lha, itu. Apik. Semangat!” Pak Niti mengacungkan kepalan tangan ke dada. Tak lama, Pak Niti meminta Mas Soemadji mendorong kursi roda ke pintu depan agar beliau bisa melihat kepergian kami berempat. Sampai jauh, kami masih melihat tangan beliau melambai-lambai.

 

TENTANG PENULIS

Amaliya Khamdanah, tinggal di Demak. Pernah menulis buku Suara Hati Tentang Masa Lalu (Teman Nulis, 2019). Gemar memotret hal-hal random di sekitarnya melalui ponsel. Bisa disapa melalui Instagram @AmaliyaKh7.

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja Reviewed by takanta on Juni 19, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar