Cerpen: Rayuan Perempuan Gila

freepik


Oleh: Qurrotu Inay

Menurutmu, berapa lama lagi kau ‘kan mencintaiku?

Menurutmu, apa yang bisa terjadi dalam sewindu?

Bukan apa, hanya bersiap, tak ada yang tahu, aku takut

Tak pernah ada yang lama menungguku sejak dulu

“Bagaimana, Nimas?” Seorang lelaki bersepatu kulit sedang berdiri dengan sedikit gugup di hadapannya. Sembari menunggu respon si wanita, lelaki itu mengalihkan tatapannya ke arah lain, lalu kembali menatap wanita di hadapannya yang sedang menyesap kretek.

Nimas masih menyesap kretek dengan tenang walaupun tatapan lelaki itu mengisyaratkan agar ia segera memberikan jawaban. Sesaat hening di antara mereka. Kepulan asap kretek masih mengepul perlahan.

“Kau sudah dengar cerita tentangku?” Wanita itu balik bertanya. Ia membuang sisa kretek, menginjaknya begitu saja.

“Tentang apa?”

“Aku tidak yakin kau belum tahu tentangku.”

Lelaki itu terdiam.

Nimas tersenyum, lalu berkata, “Ah, berarti kau sudah tahu.”

Yang terjadi sebelumnya

Semua orang takut padaku

Kerumunan orang berdiri di halaman sebuah rumah joglo dengan penuh tanya. Mereka berduyun-duyun memenuhi halaman rumah itu setelah mendengar teriakan histeris seorang wanita. Dari pintu terlihat seorang wanita meraung-raung di samping mayat seorang lelaki. Namun mereka tak berani mendekat. Wanita yang menangis meraung-raung itu terkenal bertemperamen sensitif.

“Wanita sialan! Akan kutemukan kau untuk kubakar hidup-hidup! Dasar wanita jalang!”

Sumpah serapah mulai terdengar di antara raung tangisnya. Ketika raung dan sumpah serapah berlanjut, seorang wanita berkebaya merah berjalan di antara kerumunan orang. Orang-orang yang mengetahui kehadirannya seketika memberi jarak. Tatapan yang mengisyaratkan rasa takut terpancar jelas dari kedua mata mereka.

“Aku pernah melihatnya berjalan dengan anak lelaki yang malang itu,” seorang laki-laki paruh baya berbisik pada teman di sampingnya.

“Benarkah? Apa ia orang yang membunuhnya?”

Sadar, wanita itu menatap ke arah mereka tanpa ekspresi. Mereka tertunduk seketika.

Memang tidak mudah

Mencintai diri ini

Namun, aku berjanji

Akan mereda seperti semestinya

“Aku tidak peduli apa kata orang, Nimas.” Lelaki itu meraih tangan Nimas, berusaha meyakinkan.

“Siapa yang menyuruhmu?” Nimas menarik tangannya segera.

Ia sedikit terkejut, tapi masih bisa menjawab. “Apa maksudmu, Nimas? Kau meragukanku? Kau tidak percaya padaku?”

Nimas berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Perlahan ia menatap kedua matanya. Diamatinya dengan seksama wajah lelaki itu. Wajahnya rupawan layaknya kaum priyayi, terawat, berseri. Hidung mancung dengan bibir tipis berwarna merah muda. Kemudian ia menelusuri ke arah matanya. Warna bola mata cokelat muda yang belum pernah ia lihat dari lelaki-lelaki lainnya. Bahkan ia dapat melihat refleksinya di sana. Ah, sungguh indah.

“Benar kau menyukaiku?” Nimas berbisik lembut.

Lelaki itu mengangguk dengan yakin.

Seketika Nimas mengulurkan tangannya, menyentuh dagu lelaki itu dengan gemulai. Ia mendekatkan wajahnya, lalu kedua bibir mereka saling mengecup dengan lembut.

Hari berikutnya, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa kedua anak Adam ini sedang dimabuk asmara. Setiap mereka berjalan-jalan, jemari mereka saling terpaut erat, sepanjang jalan. Sesekali —ketika mereka lelah berjalan— mereka akan duduk di bawah pohon rindang yang menghadap ke danau. Kemudian akan terlihat kepala Abiyasa mendarat di pangkuan Nimas. Akan terlihat pula sesekali Nimas memukul lembut Abiyasa sembari tertawa manja. Terkadang di malam hari Abiyasa akan mengunjungi rumah Nimas, lalu siluet keduanya yang sedang berpelukan akan tampak dari balik tirai.

Begitulah setiap hari, saling melempar asmara dari tatapan, kata-kata, maupun sentuhan. Namun asmara tampaknya tak benar-benar bisa bertahan lama.

“Aku tidak mau, Nimas!” Abiyasa bangkit dari tempat tidur di suatu malam. Derit kayu tempat tidurnya memecah keheningan di antara mereka.

Nimas tampak tenang. Ia bangkit dari tempat tidurnya untuk menyulut kretek, menyesapnya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap.

“Apa kau sudah tidak mencintaiku, Nimas?”

Kali ini Nimas berjalan mengambil kebayanya untuk dikenakan kembali. Ia kembali merapikan jariknya dengan hati-hati.

“Katakan! Kau dekat dengan seseorang yang lain, kan? Benar, kan?” Abiyasa mencengkeram lengan Nimas dengan penuh amarah.

Nimas hanya terdiam. Ia menatap mata Abiyasa dengan tatapan kosong. Bibirnya tiba-tiba saja menggumam, “Apa hubungannya denganmu jika aku bersama lelaki lain?”

“Bedebah ini! Jawab aku! Katakan siapa dia!”

Nimas seketika tertawa. Amarah Abiyasa tersulut.

“Dengarkan aku, Abiyasa!” Nimas kembali menyesap rokoknya, lalu mengembuskannya. “Wanita sepertiku sudah bertemu banyak lelaki yang sepertimu. Di hari-hari pertama mereka akan berkata manis penuh cinta, menginginkan tubuh dengan penuh nafsu di kemudian hari, lalu mencampakkan begitu saja ketika sudah puas. Kau ingin begitu, Abiyasa? Kau ingin melihatku menangis, bersimpuh di hadapanmu?”

Abiyasa terdiam.

“Kau terdiam?” Nimas kembali tertawa. “Katakan. Kau mau aku menangis dan bersimpuh di hadapanmu, kan?”

Panggil aku perempuan gila

Hantu berkepala, keji membunuh kasihnya

Penuh ganggu di dalam jiwanya

Sambil penuh cinta diam-diam berusaha

S’lalu tahu akan ditinggalkan

Namun demi Tuhan aku berusaha!

Bau anyir seketika memenuhi rongga hidung Nimas. Disekanya dengan perlahan percikan darah yang mengenai wajah dan badannya yang molek. Ia berjalan menuju kamarnya kembali, lalu mengenakan kebaya merah dari lemarinya. Samar-samar aroma apak menyelinap ke dalam hidungnya. Ah, sudah lama ia tak mengenakan kebaya merah itu. Wajahnya tampak lega setelah mengetahui kebaya merah itu masih sama seperti saat terakhir ia menyimpannya.

Setelah mengenakan kebayanya, ia segera memoles wajahnya yang tirus dengan bedak, pewarna mata, perona pipi, dan kemudian pewarna bibir.

“Kau tampak cantik,” gumamnya pada seorang wanita dalam cermin. Ia lalu terkekeh pelan. “Ah, iya. Aku lupa. Kau adalah aku. Aku memang tampak cantik. Selalu cantik.” Kembali ia terkekeh.

Seusai berdandan, ia berbalik menghadap ke sisi lain di mana tubuh seorang laki-laki bersimbah darah terlihat mengenaskan. Darah segar masih mengucur dari kedua matanya.

“Hiduplah bahagia wanita malang, Nimas. Kau telah melalui banyak hal tak adil dalam hidupmu. Hiduplah bahagia wanita malang, Nimas. Penuhi hidupmu dengan welas asih pada diri sendiri karena tak ada yang benar-benar mencintaimu dengan segenap hati kecuali dirimu sendiri. Hiduplah bahagia wanita malang, Nimas. Hiduplah hingga ribuan belatung menyesap tubuhmu perlahan.”

Keesokan harinya mayat Abiyasa dikerumuni warga dengan keadaan. Seluruh orang mengutuk Nimas, mencarinya dengan penuh amarah dan sumpah serapah. Tak ditemuinya wanita itu. Ia menghilang tanpa jejak.

Memang tidak mudah

Mencintai diri ini

Namun aku berjanji

Akan mereda seperti semestinya.

 

 

Jember – Surabaya, 10 Agustus 2024

*terinspirasi dari lagu Rayuan Perempuan Gila oleh Nadin Amizah  

 

Tentang Penulis

Qurrotu Inay. Asli Situbondo. Entah penulis amatir atau bukan, yang terpenting menulis untuk kewarasan. 

Cerpen: Rayuan Perempuan Gila Cerpen: Rayuan Perempuan Gila Reviewed by Redaksi on November 17, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar