Revolusi Digital dan Keterasingan Sosial: Siapa yang Diuntungkan?
Oleh: Fadhel Fikri
Revolusi
digital telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita berinteraksi,
bekerja, dan berpikir. Teknologi seperti internet, smartphone, dan media sosial
telah mengubah hubungan sosial secara mendasar. Di satu sisi, kita dapat
terhubung lebih mudah dan cepat; namun, di sisi lain, teknologi ini memunculkan
fenomena keterasingan sosial. Apakah kemajuan teknologi ini benar-benar
mendekatkan kita, atau justru menciptakan jarak baru?
Saya
di sini akan mencoba mengeksplorasi dampak revolusi digital terhadap hubungan
sosial, fenomena keterasingan di era teknologi, serta siapa yang sebenarnya
diuntungkan dari perubahan besar ini.
Sebelum
era digital, interaksi sosial lebih banyak terjadi secara langsung. Orang
bertemu di tempat umum, berkumpul dengan keluarga, dan menghabiskan waktu
bersama teman-teman. Namun, dengan kehadiran media sosial dan internet, pola
komunikasi telah bergeser. Kini, banyak interaksi yang terjadi secara digital,
di mana pesan singkat dan video call menggantikan interaksi tatap muka.
Meskipun teknologi memungkinkan kita terhubung dengan banyak orang, hubungan sosial yang terbentuk sering kali lebih dangkal. Media sosial memungkinkan kita untuk melihat "highlight reel" atau momen-momen terbaik dari kehidupan orang lain, menciptakan ilusi hubungan yang akrab. Sayangnya, interaksi ini sering kali tidak menghasilkan kedekatan emosional yang mendalam. Fenomena ini menunjukkan bagaimana hubungan sosial di era digital telah berubah menjadi lebih superfisial, dengan komunikasi yang sering kali minim makna.
Fenomena
Keterasingan di Tengah Keterhubungan
Ironisnya,
meskipun teknologi memungkinkan kita terhubung dengan ribuan orang, banyak
penelitian menunjukkan bahwa perasaan keterasingan dan kesepian justru
meningkat. Studi dari University of Pennsylvania, misalnya, menunjukkan bahwa
penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan perasaan kesepian
dan isolasi sosial. Fenomena ini dikenal sebagai "keterasingan
digital," di mana meskipun kita memiliki banyak "teman daring,"
hubungan tersebut sering kali terasa kurang bermakna.
Perasaan
keterasingan ini terutama dialami oleh generasi muda yang tumbuh di era
digital, di mana komunikasi tatap muka digantikan oleh interaksi online yang
cepat dan sering kali dangkal. Meskipun teknologi menyediakan akses luas untuk
terhubung dengan orang lain, kualitas koneksi tersebut sering kali kurang
mendalam, menciptakan paradoks di mana kita semakin "terhubung" namun
merasa semakin "terasing."
Siapa
yang Diuntungkan?
Di
balik kemajuan teknologi digital, ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan
besar, terutama perusahaan teknologi besar seperti Facebook, Google, dan
Amazon. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya menguasai pasar digital, tetapi
juga mendapatkan keuntungan dari data pribadi pengguna yang dikumpulkan setiap
kali kita mengakses platform mereka. Data ini kemudian dijual ke pengiklan atau
digunakan untuk menargetkan iklan yang lebih efektif, menghasilkan keuntungan
finansial yang besar bagi perusahaan teknologi.
Algoritme
media sosial dirancang untuk meningkatkan waktu layar pengguna, memastikan
bahwa kita menghabiskan lebih banyak waktu di platform tersebut. Semakin lama
kita terlibat dengan platform ini, semakin banyak data yang bisa dikumpulkan,
dan semakin besar keuntungan bagi perusahaan. Dalam ekosistem digital ini,
pengguna sering kali menjadi "produk" yang diperdagangkan, sementara
perusahaan teknologi terus memperoleh keuntungan besar dari data pribadi kita.
Struktur
Sosial dan Ketimpangan Sosial
Revolusi
digital juga memperlebar jurang ketimpangan sosial, terutama antara mereka yang
memiliki akses ke teknologi dan mereka yang tidak. Fenomena ini dikenal sebagai
"digital divide," di mana akses terhadap teknologi tidak merata,
menciptakan perbedaan dalam kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan bahkan akses
terhadap layanan kesehatan. Mereka yang tidak memiliki akses terhadap teknologi
modern cenderung tertinggal dalam hal informasi dan kesempatan, memperkuat
ketimpangan sosial yang sudah ada.
Ketimpangan
akses terhadap teknologi tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari,
tetapi juga menciptakan struktur sosial yang semakin tidak setara. Mereka yang
memiliki akses ke teknologi cenderung memiliki keunggulan dalam pendidikan dan
pekerjaan, sementara yang tidak memiliki akses berisiko semakin terpinggirkan.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa revolusi digital tidak serta merta
menciptakan akses yang merata bagi semua, melainkan memperdalam jurang sosial
yang sudah ada.
Membangun
Kembali Koneksi Sosial yang Lebih Bermakna
Meskipun
dampak negatif teknologi terhadap hubungan sosial nyata adanya, terdapat
beberapa alternatif dan solusi untuk mengurangi efek tersebut. Salah satunya
adalah gerakan "slow-tech," yang mendorong penggunaan teknologi
secara bijak dan tidak berlebihan. Slow-tech menekankan pentingnya mengatur
waktu layar dan menghargai interaksi langsung yang lebih mendalam.
Digital
detox juga semakin populer, di mana individu secara sengaja mengurangi atau
membatasi penggunaan teknologi untuk memperbaiki kualitas hidup dan hubungan
sosial. Dengan mengurangi ketergantungan pada media sosial, orang dapat lebih
fokus pada interaksi yang bermakna dengan keluarga dan teman-teman. Strategi
ini dapat membantu mengurangi efek negatif dari keterasingan digital dan
mendorong masyarakat untuk membangun kembali koneksi sosial yang lebih dalam.
Apakah
Teknologi Mendekatkan atau Menjauhkan?
Revolusi
digital telah membawa perubahan besar dalam cara kita berkomunikasi dan
berinteraksi. Di satu sisi, teknologi memungkinkan kita untuk terhubung dengan
lebih banyak orang di seluruh dunia. Namun, di sisi lain, keterhubungan ini
sering kali bersifat dangkal dan bahkan dapat menyebabkan keterasingan sosial.
Selain itu, keuntungan dari revolusi digital ini tampaknya lebih banyak
dinikmati oleh perusahaan besar yang mengendalikan data dan platform, sementara
pengguna menjadi semakin tergantung pada teknologi yang justru berpotensi
merugikan mereka.
Teknologi
adalah alat yang dapat memberikan manfaat besar jika digunakan dengan bijak.
Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, teknologi justru dapat menciptakan jurang
baru dalam hubungan sosial kita. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita
akan membiarkan teknologi mengendalikan hubungan sosial kita, atau apakah kita
akan mengambil langkah untuk menciptakan koneksi yang lebih bermakna di dunia
yang semakin digital ini?
TENTANG PENULIS
Fadhel Fikri. Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan
pembisnis di Sabda Literasi Palu.
Tidak ada komentar