Lahir: Menjadi Seorang Ayah


“Mas, ketuban pecah,” kata istri.

Rasa kantuk buyar. Hal yang muncul di benak ialah anak saya akan segera lahir.  Rasa khawatir mulai merayap. Meskipun dari jejak hasil pemeriksaan ketika mengandung, semua baik-baiknya, kemungkinan besar bisa lahir normal. Dan itu yang diinginkan istri.

Selama istri mengandung, ia menjadi calon ibu yang super aktif belajar. Mulai mengunduh aplikasi terkait kehamilan, berselancar di google, media sosial, bertanya dengan teman yang pengalaman melahirkan, mencari tahu apa yang harus lakukan dan dimakan untuk kesehatan anak dalam kandungan.

Menjelang tujuh bulan, ia ingin belanja kebutuhan bayi; bedak, pakaian bayi, dan segala macam-macam. Nanti biar gak repot-repot ketika sudah lahir. Termasuk kebutuhan apa saja ketika prosesi melahirkan, mulai dari timba, sampir, dll. Ia juga menyiapkan nama untuk anak seorang laki-laki. Kami mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan ketika USG, seingat saya usia 5 bulan.

“Saya ingin nama Mas dipakai nama belakang anak kita nanti,” kata istri.

“Aku nggak mau. Aku ingin nama kita sama-sama ada dalam nama anak kita.”

Saya dan istri menyusun singkatan dan akronim dari nama lengkap saya dan istri, mana yang lebih cocok disandingkan dengan nama anak laki-laki. Setidaknya ada tiga kata yang sudah disiapkan, salah satu kata itu adalah akronim nama saya dan istri.

Akhirnya nama Azkara—pemberian nama anak dari istri—saya ingin kata tersebut diletakkan di depan, dengan alasan kelak ketika bersekolah, di daftar absen tidak ada di paling tengah dan belakang. Biasanya urutan absen berdasakan urutan huruf abjad di inisial nama murid. Jadi Azkara akan ada di bawah nama seperti Abdul, Ahmad, Ayu dll atau di atas nama yang berinisial huru B. Ketika menunggu panggilan absen atau rapotan tidak terlalu lama.

Hampir setahun kami menjadi sepasang suami istri, waktu berjalan begitu cepat, saya dan istri bersyukur bisa melewati masa kehamilan hingga detik ini. Sepertinya malam ini saya dan istri akan menyandang status seorang ayah ibu.

Lagi-lagi, pikiran saya mulai tak karuan disertai gugup dan takut.

Saya memperhatikan istri sembari mengamati sesuatu di lantai, tampak berair. Malam itu saya dan istri menginap di sebuah bidan. Istri meminta saya untuk menelepon bu bidan. Saya mengabari kondisi istri. Bu bidan menyarankan untuk mengabari mahasiswi magang−sedang istirahat di ruang sebelah. Tak lama kemudian gawai mahasiswi berdering, sepertinya bu bidan tengah meneleponnya. Mereka langsung ke ruang bersalin dimana saya dan istri berada.

Malam itu-sekitar pukul satu dinihari. Saya memilih keluar dari ruang bersalin. Saya bersyukur bu bidan masih menerima pasien di tengah wabah covid yang belum mereda. Saya hanya bisa berdoa, semua akan baik-baik saja dan mampu melewati momen ini.

Saya dipanggil bu bidan untuk masuk ke kamar lagi. Bu bidan dan mahasiswi magang mengenakan sarung tangan.

“Duduk di atas, Mas!” kata bu bidan.

Saya duduk bersila, bantal ditaruk di atas kaki. Istri tidur di pangkuan. Saya memegang pundak istri. Bu bidan memegang kaki istri, memintanya untuk di ke ataskan.

Saya menyaksikan kepala anak saya, disusul tubuh secara keseluruhan keluar dari rahim. Kejadian itu sangat cepat. Saya menghela napas dalam-dalam. Beberapa detik, bayi mungil menangis. Oaaaaa.

Bayi mungil ditengkurepkan di atas tubuh istri. Saya azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri.

Saya tidak akan pernah tahu seperti apa rasa sakitnya melahirkan begitu juga setelahnya, penuh perjuangan. Hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada istri, telah bersedia menjadi istri dan ibu dari anak saya. Alhamdulillah. Selamat datang di dunia, Nak. []

 

 

Penulis

Moh. Imron, lahir dan tinggal di Situbondo, pengurus takantad.id

 

Lahir: Menjadi Seorang Ayah Lahir: Menjadi Seorang Ayah Reviewed by Redaksi on Mei 22, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar