Cerpen: Pagi Sepi




Pada akhirnya, kamu hanya bisa menyambut pagi dengan getir. Dengan gemuruh yang tak terbendung. Pagi tanpa sebuah pelukan hangat, atau kecupan lembut dari sepotong bibir perempuan. Pagi yang teramat sesak. Teramat pilu. Teramat pahit. Pagi yang terisi penuh dengan kenangan.

Kamu beranjak dari kasur menuju dapur. Menjerang air hingga mendidih. Menyeduh kopi dalam dua buah cangkir. Kemudian kamu teringat sesuatu. Cangkir satunya, buat siapa? Kamu membawanya sebuah, meletakkannya di atas meja kayu yang salah satu kakinya rapuh dihajar rayap. Saat kamu duduk, meja sedikit bergetar menyentuh tanganmu. Hampir saja kopi itu tumpah. Kamu melihat permukaan kopi beriak kecil. Sebelum menyesap dan menghirup kepul itu dalam-dalam, kamu memutar pandangan pada cangkir yang kamu tinggalkan di dapur. Untuk semua kesia-siaan yang sialan, pikirmu.

Slrrrp!

Ada rasa hangat yang mejalar masuk ke dalam dadamu melewati tenggorokan. Kamu mencoba tersenyum, dengan terpaksa. Melawan dengan angkuh setiap dingin yang ingin menyentuhmu. Seolah itu semua adalah pisau-pisau tajam yang ingin memenggalmu. Menikam. Mengiris dengan perlahan agar kamu limbung tak bisa bangun meski untuk sebatas menatap langit berwarna kemerah-merahan sewaktu sore. Kamu suka sekali dengan sore. Kamu suka sekali menunggu sore datang. Melihat sinar matahari runtuh di bagian langit paling rendah. Tenggelam dalam bayang-bayang. Bagimu, sore hari adalah perpisahan kecil yang berulang, itu yang tidak kamu suka. Sebuah kutukan yang berulang kali menimpamu. Kamu ingin lelap. Tapi, bukankah kamu baru saja bangun?

Pandanganmu tertuju pada remot televisi di dekat kamu meletakkan cangkir. Semalam kamu lupa meletakkannya kembali di dekat televisi. Setelah tayangan sepak bola berakhir dengan tim yang kamu dukung kalah telak, kamu buru-buru tidur. Ah, kamu ini benar-benar penderita kekalahan yang baik. Tapi sebenarnya kamu juga seorang pejuang yang tangguh. Tangguh menerima kekalahan.
Tiba-tiba ingatanmu mengulang kejadian pada suatu malam. Kamu baru saja sampai di rumah. Duduk di sofa. Di sana, seorang perempuan menunggumu.

“Tadi siang ada yang datang mencarimu. Dia mengatakan semuanya padaku.”

“O, jadi kau sudah tahu.”

“Hmm. Aku juga sudah berkemas. Besok aku pulang ke rumah ibu.”

“Kau tidak ingin membicarakan hal itu terlebih dahulu denganku?”

“Aku rasa tidak perlu. Kau juga semakin jarang bicara padaku akhir-akhir ini.”

“Sekarang kita impas.”

Pagi belum bersejingkat menuju siang. Udara masih dingin. Tubuhmu gigil. Langit seperti menertawakanmu dengan mendung yang bergumpal-gumpal. Sejak tadi kamu hanya mengganti-ganti saluran televisi, tak ada yang menarik! Kamu mematikan televisi. Mengambil buku di rak, membuka-buka halaman demi halaman tanpa berniat membacanya. Kamu mengatupkan buku, meletakkannya kembali ke tempat semula. Kesepian membuatmu didera malas yang luar biasa. Kamu tak bisa lari. Tak bisa pergi. Tak bisa bersembunyi. Sembunyi. Sembunyi dari kesedihan. Sialan, rutukmu.

Waktu membeku. Diam. Tak bergerak. Suara jarum jam tampak seperti suara musik yang menggema dalam kepalamu. Melodi yang berputar. Tubuhmu gemetar. Dadamu seperti ingin meledak. Isinya penuh sesak ingin berhamburan keluar. Belum sempurna betul pijakan ingatanmu, kamu jatuh terjerembab. Gelap. Pekat. Ingatan itu rontok dengan sendirinya.

“Rumah kita baru saja kuganti warnanya dengan merah jambu.”

“O, ya?”

“Kau suka?”

“Tentu saja.”

“Jadi, maukah kau kembali tinggal bersamaku, sayang?”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Aku dan ibu baru saja mengurus surat perceraian.”

Deg!

Setelah semua yang kamu perjuangkan. Menabung dari hasil honor tulisan yang tak seberapa. Mengumpulkannya sedikit demi sedikit, ditambah penghasilan lain yang juga pinjaman dari bank. Lalu bertahun-tahun setelahnya kamu membeli rumah ini. Melamar perempuan itu. Menikah dengannya. Semua itu, hanya untuk sebuah percuma yang menyebalkan.

Kamu gagal menyembunyikan segalanya. Salahmu juga, sih. Bermain api dan terbakar. Kamu gagal sebagai seorang lelaki. Kamu gagal mempertahankan sebuah bangunan yang pondasinya rapuh. Semakin kamu berusaha, itu hanya mempercepat proses runtuhnya tembok-tembok kota yang sedang dalam penaklukan, dalam perang berkepanjangan. Kamu gagal mendayung sebuah sampan untuk menepi pada pantai bahagia. Kamu gagal berenang. Kamu karam. Sampanmu tenggelam.

Apa yang tersisa? Tidak ada.

Tidak ada lagi sarapan penuh kehangatan untukmu. Kamu akan kelaparan karena ini. Tidak ada suara yang memaksamu bangun lebih awal. Tidak ada yang diam-diam akan menyelisipkan bekal ke dalam tasmu sebelum bekerja. Sesampainya di ruang kerja, kamu akan tersenyum dan bersyukur dengan hidupmu yang luar biasa bahagia. Hei! Sudahlah. Semuanya sudah tidak ada. Semuanya berakhir. Salahmu, sih.

Semuanya berlalu begitu cepat. Seperti kilatan petir menyambar reranting asam di belakang rumah. Padahal sebelumnya kamu tahu, hidupmu sudah lumayan enak. Kurang apa lagi? Kemudian kamu ingin bermain-main. Tapi pada akhirnya kamu terjebak dalam kubangan masalah akibat ulahmu sendiri. Kamu menekan tombol, tanpa tahu bagaimana cara kerja mesin penghancur itu. Lambat laun, kehidupan menyenangkanmu retak. Berserakan. Dan kamu terlambat untuk sekadar memungutinya.

Kini kamu hanya bisa tertawa sekeras-kerasnya. Mencerabuti sesak dalam dadamu. Mengerang sejadi-jadinya. Kamu mulai bertanya mengapa sesal seringkali terlambat? Kamu terluka. Kamu bersedih. Kamu merana. Kamu sakit. Kamu menyalakan rokok. Mengisapnya dalam-dalam. Mengirimkan sesak yang lain langsung menuju jantungmu. Melawan sesak sebelumnya. Dan kalah. Tak ada yang benar-benar bisa disembuhkan bahkan oleh ketabahan.

Dari kaca jendela kamu bisa melihat jalan mulai dilalui satu-dua pengendara, beberapa pejalan kaki. Lampu-lampu di sepanjang jalan masih menyala. Musim penghujan membuat segalanya tampak kelabu. Segalanya tampak bisu dan muram. Membentuk sebuah panggung yang miskin dengan suara. Sebuah pantomim kesedihan. Kamu menjadi penonton sekaligus sebagai pelakon. Terjebak dalam satu cerita yang sarat dengan monolog. Kamu berbicara dengan pohon-pohon di taman. Kamu berbicara dengan embun yang menempel di kaca jendela. Kamu bertanya pada gemericik air jatuh dari atap rumah. Kamu sedang berbicara dengan dirimu sendiri. Lihat, kamu berbicara dan terus berbicara dan tak tahu kapan akan berhenti, kapan akan berakhir.

Kopi yang telah mendingin kamu habiskan dengan sekali teguk. Pahit. Kamu lupa menambahkan gula untuk hidupmu yang empedu.

Teet...teet...teet!

Bel di pintu rumahmu berbunyi. Siapa yang datang sepagi ini?
Kamu beringsut malas. Berjalan ke arah dari mana suara itu berasal. Di depan pintu, kamu menemukan seorang perempuan tengah berdiri.

“Hei.”

Kamu terkejut. “Ann.”

“Boleh aku masuk?”

“Tentu. Silakan.”

Perempuan itu mengamati seisi ruangan. “Kamu belum banyak berubah, ya?”

“Aku baru saja....”

“Aku tahu, teman-teman yang bilang. Kamu kesepian, untuk itu aku ke sini.”

“Begitu?”

“Maukah kau berbagi denganku? Aku juga kesepian.”

Seketika kamu tersadar. Ada fragmen baru yang menunggu untuk segera kamu selesaikan.

Di luar gerimis, banyak orang terburu-buru merebut hari mereka. Sementara kamu juga siap menghadapi kenyataan yang ada di depanmu.(*)

Ahmad Zaidi. Lahir dan tinggal di Situbondo. Saat ini sedang berusaha menjual buku-buku bagus di akun @mellebuku.

Cerpen: Pagi Sepi Cerpen: Pagi Sepi Reviewed by takanta on Juli 19, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar