Cerpen : Asti Karya Sholikhin Mubarok



Oleh :  Sholikhin Mubarok
Senja itu, kita kembali bertemu di Taman Kota yang bersejarah. Tempat awal kita berjumpa, berkenalan, sampai kita punya hubungan khusus. Kau mengirimku pesan singkat agar aku datang sebelum senja tiba, agar kita bisa bersama-sama menyaksikan awal senja hadir hingga ia benar-benar tenggelam.
“Ada apa kok mendadak sekali?”
“Gak ada apa-apa kok, cuma pengen ketemu kamu?” begitu jawabanmu dalam pesan singkat yang membuat diriku penasaran.
“Baiklah, aku kesana nanti.”
Sesampainya di Taman, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari dimana kau menempatkan diri. Dan kurasa itu dirimu, dipojok barat, sedang duduk termangu di kursi panjang terbuat dari bambu.
“Hai Asti...” begitu aku menyapamu yang sedang duduk bersama segelas coklat panas di sampingmu.
“Hai Nan. Silahkan duduk.” Pintamu.
“Ya. Nampaknya enak coklatnya?” Aku mengawali pembicaraan sore itu.
“Hehe, kamu mau?”
“Ahh, nggak kok. Becanda aja, buat kamu aja.”
“Baiklah.”
Sore itu adalah kali pertama kami berjumpa setelah sekitar tiga bulan lebih kami dipisahkan dengan kesibukan masing-masing. Aku sedang sibuk mengurus yayasan sekolahku, dan Asti sibuk dengan usaha butiknya. Aku dan Asti sudah saling mengenal sejak dua tahun yang lalu. Ya di Taman Kota ini kita bertemu, entah bagaimana ceritanya dulu kita bisa saling mengenal. Meski begitu, kami baru punya hubungan khusus satu tahun terakhir. Tiga bulan lagi kami berencana melangsungkan pernikahan.
“Ehh, ngomong-ngomong lama juga ya kita tidak jumpa?” tanyaku pada Asti yang masih duduk pada posisi semula.
“Iya juga ya, kamu sih sibuk terus.”
“Ahh, kamu juga As.”
“Jadi, kita sama-sama sibuk?”
“Hahaha...” kita tertawa bersama.
Kemudian suasana kembali menjadi hening, kita sama-sama memandang ke arah senja yang mulai datang. Memandang dengan tajam, seperti saat aku menatap mata Asti, begitupun Asti yang juga melakukan hal yang sama. Kemudian terdengar lirih suara yang turun dari bibir manis Asti. Suara yang parau dan berat, mungkin sedikit sedu. Tidak seperti biasanya.
“Adnan...” katanya.
“Hemmm, iya. Ada apa As?” jawabku.
“Boleh aku bicara sesuatu padamu?”
“Boleh As. Apaan sih, kok kaku banget gitu?” upayaku mencairkan suasana yang begitu tegang, dan penuh keseriusan.
“Tapi aku yakin kamu akan kecewa dengan apa yang akan aku katakan ini.”
Kemudian aku yang mendadak terdiam, dan berpikir tentang apa yang akan dikatakan Asti. Benarkah apa yang akan dikatakannya membuatku kecewa? Aku mencoba untuk tidak berpikir yang buruk tentang keadaan ini.
“Nan...” kalimat itu tiba-tiba membubarkan lamunanku.
“Ehhh, iya As. Maaf. Sampai mana tadi?”
“Ya, boleh ndak aku bicara?”
“Iya As. Boleh, silahkan.”
“Jadi Nan. Aku tahu kita akan menikah tiga bulan lagi. Tapi aku benar-benar minta maaf Nan. Dua hari yang lalu, aku dilamar oleh anak dari sahabat mamaku, dan aku tak bisa menolaknya. Sebab, dia adalah anak dari sahabat mamaku yang ternyata sudah dijodohkan denganku sejak lama. Nan, kamu berhak marah bahkan membenciku dengan keputusanku ini. Aku ikhlas kalo kamu marah dan benci padaku.” Asti mencoba menjelaskan maksudnya dengan tetap tegar, meski tak dapat ditutupi kesedihan itu nampak dari air mata yang membanjiri kelopak matanya.
Namun mendengar semua itu, tiba-tiba aku merasakan darahku mendadak beku, dingin rasaku. Nadiku serasa tak berdetak lagi. Dan, seperti ada pedang yang menebas leher, hati dan jantungku. Seperti ada halilintar yang menyambar kepalaku. Kemudian aku diam, diam, diam, dan diam.
Setelah sepersekian menit aku terdiam dan membisu. Aku mencoba menarik nafas sedikit dalam, sampai semua metabolisme tubuhku kembali normal. Dan aku mampu merasakan jasadku hidup kembali. Kemudian, aku mencoba menjawab pernyataan Asti.
“As... Kamu kan tahu kita sudah kenal lama, bahkan hanya tinggal menghitung bulan pernikahan kita dilaksanakan. Kenapa kamu memutuskan dengan sepihak seperti ini?” Ku coba menanggapinya dengan jawaban yang sangat berat untuk diucapkan, seperti tertahan bagai merapi yang sedang menahan ledakan magmanya.
Asti semakin sesenggukan menahan tangisnya. Dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tangannya tak henti-hentinya mengusap air matanya.
Belum sempat dia menjawab, aku sudah menimpalinya lagi dengan pertanyaanku.
“Jawab As. Kenapa harus seperti ini? Apa semua tak bisa dibicarakan dahulu?”
Sambil masih menangis sesenggukan, Asti mencoba menjawab pertanyaanku.
“Nan, aku tahu kamu akan kecewa. Aku tahu kamu akan marah. Aku tahu apa yang kamu rasakan, karena sesungguhnya aku juga merasakan hal yang sama Nan.”
“Kalo kamu merasakannya, kenapa kamu lakukan ini, As?”
“Nan, cukup Nan. Aku tak sanggup lagi menjawab semua pertanyaanmu itu. Kelak kamu akan mengerti. Dan, kuharap kamu juga berkenan datang ke resepsiku yang akan dilaksanakan 2 bulan lagi.”
“Secepat itu?” tanyaku.
Asti hanya membisu, seolah sudah tak mau lagi menanggapiku. Hening suasa senja itu. Hanya kicau burung yang berbondong menuju sarangnya yang menghidupkan suasana kami. Semakin dalam, semakin mencekam. Perih dan pedih menahan rindu untuk berjumpa. Namun, justru tebasan pedang yang kuperoleh dari perjuanganku menahan rindu.
“Nan, tenggelamnya senja itu akan menjadi pertanda bahwa hubungan kita sudah berakhir. Setelah itu, kamu bisa meninggalkanku disini. Om dan Tante sudah menunggumu dirumah. Titip salam untuk mereka, dan sampaikan permintaan maafku.”
Itulah ucapan terakhir Asti, sekaligus kalimat penutup yang mengakhiri perjumpaan kami. Aku tidak lagi bicara sepatah katapun padanya, bahkan untuk sekedar mengucap salam. Aku tak mau. Aku benar-benar kecewa dengan keputusan Asti. Namun aku mencoba untuk tidak menampakkan kekecewaan itu. Karena Asti juga berhak untuk memilih.
Selang dua bulan dari kejadian itu, aku kembali datang kerumah Asti. Memenuhi permintaannya untuk hadir di acara pernikahannya. Karena tak kunjung ada undangan untukkku, aku memutuskan datang tanpa tanggal yang pasti.
Sampai dirumah Asti, suasana sunyi dan sepi. Tak nampak ada persiapan atau bahkan suasana pasca acara pernikahan. Tanpa janur, tanpa hiasan apapun.
Aku coba mengetuk pintu, dan mengucap salam. Mungkin lebih dari tiga kali.
Lama tak ada jawaban, hingga kemudian keluar perempuan paruh baya, yaitu mamanya Asti. Tidak banyak bicara, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu. Aku tidak paham maksudnya apa. Aku hanya diam, melihat tante menangis, dan Ayah mencoba menenangkannya.
“Om, Tante. Ada apa kok saya datang malah menangis?” kalimat itu yang akhirnya kuucapkan kepada mereka.
“Nak, sekarang sudah saatnya kamu harus tahu.” Kata mama. “Mungkin dua bulan yang lalu, Asti memberitahumu kalo dia akan melangsungkan pernikahannya bulan ini. Sesungguhnya saat dia mengatakan hal itu padamu, adalah tepat dua bulan sebelum dia meninggal dunia. Tepatnya seminggu yang lalu”.
Dokter telah menyatakan umur Asti tinggal dua bulan semenjak ia di nyatakan mengidap kanker darah stadium 4. Asti hanya pasrah, merasa semua telah sia-sia, dan dia tidak mau membuat kamu bersedih. Sehingga dia terpaksa berbohong dengan mengatakan hal itu kepadamu. Dia juga melarang kami untuk memberitahumu sebelum dia meninggal dunia. Maafkan Asti Nak.
Mendengar penjelasan itu, tak kurasa air mata mulai menetes dari kelopak mataku. Rasa bersalah, menginggapi diriku. Kucoba menenangkan diriku, menarik nafas dan bergumam dalam hati:
“Asti, seharusnya kau tak perlu berbohong tentang semua ini.” []
Cerpen : Asti Karya Sholikhin Mubarok Cerpen : Asti Karya Sholikhin Mubarok Reviewed by Redaksi on Desember 23, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar