Cerpen : Sebuah Hujan dan Guguran Kesedihan Karya Ahmad Zaidi



Oleh : Ahmad Zaidi
Lagi-lagi hujan.
Sebetulnya, aku telah bosan bercerita tentang hujan. Aku jengah tentang kesedihan. Tapi mau bagaimana lagi. Hujan tetap turun tanpa pernah tahu apakah ia membatalkan suatu rencana pertemuan. Lalu menyeruak lagu lama yang isinya selalu sama: kesedihan yang menyesakkan dalam sebuah kenangan.
Ya, aku kembali mengingatmu justru disaat paling bahagia hidupku. Kenangan itu melesak ke dalam tempurung kepalaku. Beragam kejadian terputar di sana. Hujan deras. Gerimis yang terbata. Serta mendung yang menyelisipkan gigil. Semua tentang hujan. Segalanya tentang kesedihan. Kau tahu, apa yang tidak bisa hujan lakukan? Mencegah kepergianmu.
Jadi Yim, dari segala kebahagiaan yang pernah kita lalui, mengapa yang sanggup kuingat justru hal-hal yang meniupkan kesedihan? Mungkinkah karena kita lupa mencatatkan tanggal untuk semua yang menyedihkan lantas ia membalas dengan cara menyakitkan. Seperti melakukan balas dendam. Atau mungkin kita telah bersikap tidak adil untuk kejadian yang kita lewati. Kita mencatat tanggal pertama bertemu. Tapi lupa kapan kali pertama bertengkar. Kita berusaha mengingat yang manis-manis. Namun pada akhirnya yang berhasil kita ingat hanyalah kejadian pahit. Pahit, Yim. Pahit sekali. Entahlah, kesedihan seperti punya cara kerjanya sendiri. Seperti bagimana cara hujan turun.
Tapi baiklah. Akan aku kumpulkan kembali ingatanku. Kupilah. Kususun. Lalu akan kukirimkan kepadamu. Kau boleh membuangnya. Atau menyimpannya. Terserah padamu.
***
Aku mengingat saat terlambat datang menemuimu di kost. Saat itu engkau menunggu di depan. Aku menghampirimu dan hampir saja terjatuh.
"Mengapa lama sekali?"
Kau bertanya, sementara aku masih saja menyeka bulir-bulir hujan yang menempel di wajah.
"Hujan."
"Aku tanya mengapa lama sekali. Bukan mengapa engkau basah."
Bagus. Kau mulai menyebalkan.
"Tadi masih muter-muter. Banyak jalan yang digenangi banjir." Sudah jelas? Aku menatap biji matamu dalam-dalam. Dan kilatan itu... Ah, engkau menggodaku.
"Tutup pintunya!"
Aku tidak mendengar perkataanmu, saat kuseret engkau menuju kamar kost. Aku hanya mendengar napasmu yang teratur itu berangsur patah-patah. Kusentuh bagian tubuhmu yang miskin kerutan.
"Tutup pintunyaa!"
Aku tidak peduli.
"Tutup pinntunyaaah.."
Selanjutnya kau diam. Setelah satu per satu penutup tubuhmu berhasil kutanggalkan. Sesekali kau merintih kesakitan.
"Apakah sakit?"
"Mmm.. pelan-pelan saja."
"Yim."
"Ya."
"Melihatmu telanjang begini, aku jadi ingin menghamilimu." Kukedipkan mata sewaktu mengucapkan kata terakhir.
"Jangan bodoh. Pijat saja yang benar. Setelah ini giliranku."
***
Begitu banyak kejadian yang kita lalui setelah itu. Kita sering membeli martabak di sekitar bundaran di sekitar kantor DPRD kotamu. Atau menyisiri deret toko dan kafe-kafe berjalan kaki tanpa berniat masuk ke salah satu dan engkau marah sewaktu aku membalas senyum mbak-mbak pelayan. Kalau kau bosan, kita duduk saja berdua di kamar kost sambil sesekali digoda ibu kost atau teman-temanmu. Dan, ah. Aku ingat dengan jelas suasana terminal yang menjadi latar bagi perpisahan kita. Kita seperti tokoh kesekian yang memerankan adegan perpisahan di terminal tua dan kelabu itu. Di dalam remang hujan. Seolah kesedihan sengaja mengundangnya untuk memperkeruh suasana.
"Kau jadi pergi sekarang?"
"Ya, Yim."
"Hmm."
"Kenapa?"
"Entahlah. Aku ingin mencegahmu. Tapi aku tak bisa melakukannya."
"Berat memang, Yim. Setelah ini kita tidak akan leluasa saling mengirim kabar."
"Yaa. Aku tahu."
"Sibukkan dirimu. Habiskan waktu bersama temanmu. Lakukan hal-hal menyenangkan. Dengan begitu, empat tahun kepergianku tidak akan terasa begitu lama."
"Aku takut sekali."
"Apa yang engkau takutkan, hm?"
"Masa depan."
"Hadapi saja apa yang akan terjadi. Bukankah dengan ketidak-tahuan kita tentang hari esok, itu justru bagus. Kita jadi berharap, berdoa, berusaha sekuat tenaga. Berharaplah aku lekas kembali."
"Bagaimana kalau aku tidak sanggup menunggu selama itu?"
"Aku tidak akan menyalahkanmu untuk itu. Tapi itu akan menyakitkan sekali."
***
Dan benar, engkau lelah menunggu. Engkau memutuskan menyerah setelah lelaki itu datang mengganggu hubungan kita. Setelah dia berhasil meyakinkanmu untuk membenci jarak. Setelah semua yang kita upayakan bersama, mengapa akhirnya salah satu dari kita bergegas pergi. Aku tidak akan mencegahmu, Yim. Pergilah. Seperti engkau yang tidak pernah mencegahku pergi sore itu di terminal.
Tapi aku akan mengucapkan selamat. Sebab itu hari bahagiamu. Aku mengambil handphone, meneleponmu.
"Yim."
"Ya."
"Selamat menempuh hidup baru."
"Terimakasih."
"Maaf aku tidak datang di hari bahagiamu."
"Tidak masalah. Aku mengerti. Aku akan melakukan hal yang sama bila engkau yang menikah. Aku tidak sanggup melihatmu bahagia dengan orang lain."
"Pada akhirnya engkau harus memilih, bukan?"
"Maafkan aku."
"Maafkan aku juga."
"Ya."
"Sudah, ya."
Telepon kumatikan. Aku menghirup napas dalam-dalam. Menyalakan rokok. Mengambil sebotol bir. Menenggaknya hingga habis. Hingga tandas.
***
Sudah. Kenanganku berhenti di sana. Ingatanku berhenti bekerja. Aku linglung. Aku bingung. Lekas-lekas aku membungkus kenangan ini dan akan kukirimkan secepatnya. Kepadamu.
Maka, Yim. Tertawalah bila engkau  membaca ini. Sebab aku telah bahagia sekarang. Engkau juga sebahagia aku tentunya. Kita telah sama-sama menemukan pilihan dalam hidup. Lantas bertahan sekuat tenaga dengan pilihan itu. Aku tidak berniat mengganggu kebahagiaanmu.
Hanya saja...
Terkadang aku masih kesulitan untuk melenyapkanmu dari ingatan. Apakah engkau juga begitu? Semoga saja tidak.

Terminal Situbondo, 15 Januari 2017
Cerpen : Sebuah Hujan dan Guguran Kesedihan Karya Ahmad Zaidi Cerpen : Sebuah Hujan dan Guguran Kesedihan Karya Ahmad Zaidi Reviewed by Redaksi on Desember 02, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar