Cerpen : Ini Kawanku, Namanya Zar Karya Yulputra Noprizal



Oleh: Yulputra Noprizal
Aku datangi Zar yang sedang duduk bermenung di kedai Miki—sebuah kedai kelontong dengan dua buah palanta yang mengapit sebuah meja. Zar nampak murung.
Kapan pulang Zar, kataku. Setelah duduk di palanta, tak jauh dari sisinya.
Zar tak jawab. Ia malah memandang jalan. Lalu, wajahnya tiba-tiba mengiba.
Sebelumnya, aku sudah heran lihat Zar pagi hari hanya duduk bermenung di kedai Miki—kupandang itu dari tokoku. Sekarang heranku bertambah karena wajahnya tiba-tiba mengiba. Bukankah tiga bulan lalu ia berangkat ke Jakarta. Untuk kerja di usaha konveksi kakaknya.
“Ada masalah apa kau, Zar,” kataku.
Namanya Izar. Aku biasa panggil Zar. Wajahnya mirip telur. Kulitnya putih bersih. Tapi rambutnya kurang terawat. Kami berteman sejak dari smp. Zar beda desa denganku. Tapi Zar sering ke rumah waktu sma. Kadang ia bawa hasil ladang ayahnya. Berupa pepaya ke rumah. Tamat sma Zar merantau. 
“Cewek ndak karuan pula terpacari oleh saya,” kata Zar. “Nampak uang saya mulai habis olehnya, ia balik ke mantannya.” 
Kejadiannya di Jakarta, kata Zar. Pas ia kerja di usaha konveksi kakaknya. Baru seminggu di Jakarta, sudah ada cewek naksir sama dia. Zar bangga. Menepuk dada. Sementara nama jalan di Jakarta baru satu ia hapal, cewek sudah ada yang mau lengket. Zar nembak duluan.
Panjang cerita Zar. Akhirnya Zar menyebut (dengan muka sedih), ia dituduh sudah menyetubuhi si cewek oleh sesama pekerja konveksi. Sampai istri kakak Zar marah-marah pada Zar. Dan, mengusir Zar dari rumahnya.
“Sekarang, kau bisa mencarikan aku kerja ndak Bad, di kampung” kata Zar.
Kembali mengiba.
Aku keluarkan sebungkus rokok dari saku celana jins selututku. Mempersilahkan Zar merokok. Nampaknya sudah sedari tadi Zar tidak merokok.
Jam pukul delapan. Pagi yang cerah. Nampak burung pipit terbang kian kemari di semak-semak pohon sikaduduak di tanah kosong sebelah kedai Miki. Di jalan satu-satu kendaraan lewat. Ketika kendaraan lewat, menebarkan deru mesin ke dinding-dinding papan kedai yang sebagian diposteri artis perempuan kenamaan.
Aku pesan dua gelas kopi hitam pada Miki ketika Zar pantik korek gas untuk menyalakan rokok.
“Kau tahu Ujang, Zar,’ kataku.
“Tahu,” kata Zar.
“Dia punya toko p&d. Kini sedang mencari anak buah. Dia sudah punya anak buah sebenarnya. Mau menambah. Kalau mau, kau bisa kerja di sana. Tukang angkat barang.”
“Toko p&d, toko apa Bad?”
“Toko makanan dan minuman. Tapi kalau di kampung lebih ke serba ada. Cuma Uda Ujang grosir dan eceran. Toko barang kebutuhan sehari-hari, Zar. Ada juga sembako.”
Zar berpikir sejenak. Sembari hisap rokoknya.
Lalu, Zar tersenyum.
“Luas juga pergaulan kau di kampung Bad. Terima kasih, Badri. Kawanku.”
“Besok pagi-pagi kau langsung aku antar ke sana. Nanti malam aku telepon Uda Ujang itu,” kataku sembari ambil sebatang rokok.
Dua gelas kopi hitam datang ke meja. Zar, kuperhatikan sudah siap-siap pegang gelas untuk menuangkan isinya ke piring penadah.
***

“Ini kawanku, namanya Zar,” kataku kepada Uda Ujang.
Uda Ujang kawan akrab kakakku yang berjualan pakaian. Orang Pasar Lama. Sudah beristri dan punya anak dua. Denganku juga akrab. Kadang kudatangi ia ke kedai Miis, tempat biasa Uda Ujang duduk di malam hari, untuk bertemu dan ngobrol.
Ndak pernah nampak di kampung,” kata Uda Ujang kepada Zar. “Orang mana?”
“Aku orang Muara Gadang, Da. Tamat sma merantau ke Bangko (Provinsi Jambi). Empat tahun di sana. Akhirnya pulang. Lama juga aku di kampung setelah itu, setahun ada. Terakhir, di Jakarta. Tempat kakak.”
“Tempat kakak di Jakarta?” kata Uda Ujang. “Apa kerja di Jakarta?”
“Kerja konveksi, Da.”
“Mengapa pulang. Masih lama Lebaran?”
Sebelumnya, aku sudah bilang kepada Zar, tidak perlu menceritakan kepada siapa-siapa kisahnya di Jakarta.
“Sedang lengang saja konveksi, Da,” jawab Zar. Wajahnya sungguh-sungguh.
Pagi itu juga Zar mulai kerja di toko. Uda Ujang langsung suruh Zar mengangkat telur dari dalam toko keluar, ke meja. Mengangkut sabun mandi batang dalam kotak. Mengikat belanjaan orang-orang dengan tali rafia. Mulanya Zar nampak kikuk. Tapi lama-lama, sejam lebih aku memperhatikannya, ia mulai bisa menikmati.
Bukan hari pasar. Di pasar, para pedagang godok, pical, kacang panjang, terong, dan lain-lain sudah pada datang ke los.
“Aku tinggalkan kau Zar. Aku sudah harus membuka toko. Sudah terlambat sebenarnya,” kataku kepada Zar sembari memberinya rokok dua batang.
Terlihat gembira Zar sewaktu akan aku tinggalkan.
Ku-starter sepeda motor, keluar pasar. Di jalan menuju tokoku, kuingat Zar. Semoga ia betah kerja di toko Uda Ujang.
***
Sebulan lebih sehari Zar kerja di toko Uda Ujang. Tentu Zar sudah terima gaji, pikirku. Sudah ada uang untuk pegangan. Tiba saatnya aku berkunjung ke rumahnya.
Bukan maksud ingin ditraktir. Aku hanya ingin berkunjung dan ngobrol.
Malam pukul delapan. Sehabis aku tutup toko, aku langsung menuju rumah Zar. Dengan sepeda motor. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin sekali-kali membadai. Sepertinya akan turun hujan.
Aku tiba di pekarangan rumah Zar. Kumatikan sepeda motor. Kudapati pintu rumah Zar terbuka. Aku turun dari sepeda motor dan melangkah masuk. Nampak Zar di kursi ruang tamu duduk sembari merokok. Berteman segelas kopi. Aku sapa Zar. Dan, Zar menyuruhku duduk.
Tidak terlihat ibu Zar. Kutanyakan. “Sedang wirid di masjid,” kata Zar. Lalu, Zar pergi ke dapur. Beberapa menit kemudian, kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas kopi. Untukku
Aku gembira sekali bertemu Zar.
“Aku masih teringat dia Bad,” kata Zar begitu aku sudah duduk dan mencicipi kopi.
“Teringat siapa Zar?”
“Silvi, Bad,” katanya. “Terbayang-bayang.”
Aku mendapati kontradiksi. Dulu, di kedai Miki, ia katakan sudah melupakan Silvi. Karena menganggap cewek itu matre; sudah kembali ke mantannya. Sekarang Zar bercerita kalau ia sulit melupakan Silvi. Terjaga tibur, pikiran tertuju kepada Silvi. Sedang menangkat barang di toko teringat suara Silvi.
Berarti cinta Zar sudah dalam.
Maksudku, semula ke rumah Zar, ingin mengobrol. Tentang suka-duka hidup di kampung. Zar yang bekerja di toko Uda Ujang. Juga, tetek-bengek lainnya. Sudah lama aku tak menghabiskan waktu malam hari di rumah Zar.
Sekarang, perasaanku jadi keruh.
“Aku ndak suka kau cerita cewek sekarang, Zar,” kataku.
“Cepat atau lambat akan bertemu juga, Bad,” kata Zar seperti bergumam.
“Maksudmu?”
“Aku akan kembali untuk Silvi.”
Aku lalu diam.
Sesudahnya aku alih obrolan ke hal lain. Ngobrol sebentar saja. Zar terus-menerus merokok. Sementara aku, berusaha habiskan kopiku.
***
Pagi, matahari bersinar pucat. Udara dingin. Di jalan, anak-anak sekolah berjalan kaki menuju sekolah, pegawai dengan sepeda motor, mobil pribadi satu-satu—kesibukan desa Air Haji di pagi hari. Uda Ujang datang ke tokoku. Tak pernah sepagi ini Uda Ujang ke tokoku. Bola lampu atau kabel Uda Ujang memang sering membelinya di tokoku. Tapi tak pernah pagi hari.
Uda Ujang memarkir sepeda motornya. Setelah duduk, ia berkata: “Ada nampak Izar kau, Bad.”
Aku sedikit kaget.
“Bukannya bekerja di toko Uda?” kataku.
“Sudah tiga hari dia ndak datang ke toko.”
“Datang ke rumahnya, Da.”
“Ke Jakarta kata amak-nya. Nomornya ndak aktif,” terlihat perubahan ekpresi wajah Uda Ujang.
“Itulah. Susah mempercayai orang. Bukannya kita ndak mau hidup orang maju. Tapi susah dipercaya,” katanya lagi.
Aku mulai tahu arah pembicaraan Uda Ujang.
“Sehari aku ndak datang ke toko,” lanjut Uda Ujang. “Hilang uang di kotak delapan ratus ribu. Aku suruh Repi yang jaga kotak sehari itu. Repi waktu itu sedang ke masjid. Maka, tinggallah toko dengan Izar. Habis itu hilang uang.”
“Sudah ditanyakan Repi ke Zar, Da,” kataku.
Perasaanku sudah tidak enak.
Ndak mengaku dia. Kalau Repi ndak mungkinlah. Tahu aku dia. Dari smp dia bekerja dengan aku. Kalau Izar, gajinya nan bulan kemarin sudah aku bayar. Baru bekerja lima hari. Kalau dia terus-terang minta gajinya nan lima hari itu, pasti aku bayar,” kata Uda Ujang. “Besoknya, sesudah uang hilang itu ia ndak datang lagi ke toko. ”
Aku diam. Merasa bersalah.
Dan, mukaku seperti sudah tak ada. Dalam diri, aku begitu malu. Malu pada Uda Ujang. Malu pada diri sendiri. 
Seperti melepas anjing terjepit. Habis dilepaskan, kita yang digigitnya.
Aku menunduk sesaat. Lalu, kupandang muka Uda Ujang.
“Sakit hatiku,” kata Uda Ujang sembari berdiri dengan muka masam.
Lalu, berjalan menuju sepeda motornya. Stater dan beranjak pergi.
***

Yulputra Noprizal, penyuka dan penikmat sastra. Cerpennya sudah dimuat di Singgalang, Haluan, dan Rakyat Sumbar. 


Biodata:
Yulputra Noprizal
TTL: Air Haji, 11 November 1985
Pendidikan Terakhir: -SMU 5 Padang (2000-2003)
                 -Prodi Ilmu Komunikasi
                 Fakultas Ilmu Komunikasi
                 Universitas Padjadjaran (2004-2007, tidak selesai)
Pekerjaan: Karyawan toko
Alamat: Rimbo Panjang, Dusun Koto Panai, Nagari (Desa) Air Haji, Kec. Linggo Sari Baganti, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat ( Kode Pos: 25668).
Cerpen : Ini Kawanku, Namanya Zar Karya Yulputra Noprizal Cerpen : Ini Kawanku, Namanya Zar Karya Yulputra Noprizal Reviewed by takanta on Desember 30, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar